Minggu, 20 September 2015

RAHASIA SHALAT DAN SEGALA KEPENTINGANNYA

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala pujian bagi Allah yang mengurniakan akan hambaNYA dengan segala nikmat yang halus-halus dan mengurniakan akan hati mereka dengan segala nur agama dan tugasnya, yang diturunkan dari Arasy kebesaran ke langit dunia, dari derajat-derajat kerahmatan, salah satu dari tanda-tanda kasih sayang Allah, yang berbeda dengan raja-raja, serta keEsaan dengan Kebesaran dan keAgungan, dengan menggembirakan makhluk ALLAH untuk bermohon dan berdo’a. Maka berfirman Allah: ”Adakah yang berdo’a, maka AKU terima do’anya itu. Adakah yang meminta ampun, maka AKU ampunkan dosanya”. Berbeda dengan sultan-sultan, dengan membuka pintu dan membuang hijab, maka dimudahkan Allah bagi segala hamba Allah untuk bermunajah dengan shalat-shalat, betapapun bertukarnya keadaan di dalam jama’ah orang ramai dan di tempat-tempat yang sunyi. Tidak dengan memberikan kelapangan saja, tetapi ia dengan lemah lembut mengajak dan memanggil, sedang selain Allah dari raja-raja yang lemah itu tidak memperkenankan berbicara secara sembunyi melainkan setelah menyerahkan hadiah dan suap. Maka Maha Sucilah Allah, Maha Besarlah kedudukan Allah dan Maha kuatlah kekuasaan Allah, Maha Sempurnalah kasih sayang Allah dan Maha Lengkaplah kebaikkan Allah. Rahmat kepada Muhammad Nabi Allah dan wali Allah yang pilihan dan kepada keluarganya dan sahabatnya kunci petunjuk dan lampu kegelapan serta selamat yang sempurna. Adapun kemudian, maka sesungguhnya sholat itu tiang agama dan tonggak keyakinan, pokok segala jalan mendekatkan diri kepada Tuhan dan sinar cemerlang untuk kebaktian kepada Allah. Sesungguhnya, telah kami selidiki dalam ilmu fiqih secara meluas, sedang dan ringkas dari madzhab akan segala pokok dan cabangnya, kami kesampingkan kesungguhan dari ranting-rantingnya yang jarang terjadi dan kejadian-kejadiannya yang hampir tak pernah kejadian, supaya adalah semuanya ini menjadi simpanan bagi Mufti (orang yang mengeluarkan fatwa-fatwa). Dari padanya ia mengambil paham dan berpegang dan kepadanya ia mengadu dan kembali. Kami sekarang di dalam kitab ini, meringkaskan kepada yang tak boleh tidak saja, bagi seorang pelajar fiqih, mengenai segala amal perbuatan zhahiriyah dan segala rahasianya yang bathiniyah. Kami menyingkapkan segala artinya yang halus-halus tersembunyi, mengenai pengertian khusyu’, ikhlas dan niat, hal mana yang tidak berlaku kebiasaan menyebutkannya di dalam ilmu fiqih, kami susun kitab ini kepada 7 bab: Bab pertama : mengenai fadlilah / keutamaan shalat Bab kedua : mengenai pengutamaan amalan zhahir dari shalat Bab ketiga : mengenai pengutamaan amal bathin dari shalat. Bab keempat : mengenai imam shalat dan cara mengikuti imam. Bab kelima : mengenai shalat jum’at dan adabnya. Bab keenam : mengenai masalah yang bermacam-macam yang menjadi bahaya yang merata, yang memerlukan murid kepada mengetahuinya. Bab ketujuh : mengenai amalan sunnah dan lainnya. BAB PERTAMA : Mengenai fadlilah shalat, sujud, berjama’ah, adzan dan lainnya. FADLILAH AZAN Bersabda Nabi saw: "3 orang pada hari qiamat di atas bukit kecil dan kesturi hitam, tiada menyusahkan mereka oleh hisab amalan dan tiada menimpa ke atas diri mereka oleh kegelisahan, sehingga selesailah ia dari segala sesuatu diantara manusia. Orang yang tiga itu ialah: orang yang membaca AIquran karena mengharap akan Wajah Allah 'Azza wa Jalla dan menjadi imam pada sesuatu kaum, di mana kaum itu senang kepadanya, orang yang beradzan pada masjid dan berdo’a kepada Allah 'Azza wa Jalla karena mengharap akan WajahNya dan orang yang berpenghidupan sempit di dunia maka yang demikian itu tiada mengganggukannya daripada berbuat amalan akhirat". Bersabda Nabi saw: “Tiadalah yang mendengar seruan adzan dari orang yang beradzan itu, baik yang mendengar itu jin atau manusia ataupun sesuatu yang lain, melainkan naik saksi ia untuk orang yang beradzan itu pada hari qiamat". Bersabda Nabi saw: “Tangan Tuhan Yang Maha Pengasih itu di atas kepala muadzin (orang yang beradzan), sehingga selesailah ia daripada adzannya”. Ada yang mengatakan mengenai penafsiran firman Allah 'Azza wa Jalla "Siapa yang lebih baik perkataannya dari orang yang memanggil kepada Tuhan dan mengerjakan perbuatan baik" bahwa ayat ini turun mengenai orang‑orang muadzin. Bersabda Nabi saw: "Apabila kamu mendengar seruan adzan, maka ucapkan­lah apa yang diucapkan oleh muadzin itu". Mengucapkan yang demikian itu adalah sunat, kecuali mengenai: "Hayya 'alash‑shalaah" dan "Hayya 'alal‑falaah" maka diucapkan pada yang dua ini ialah: "Laa haula wa laa quwwata illaa billaah" (Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Dan pada ucapan muadzin: "Qadqaamatish shalaah" maka pen­dengar mengucapkan: “Aqaamahallahu wa adaamahaa maa daamatis samaawaatu wal ardl” (Ditegakkan Allah kiranya shalat itu dan dikekalkan Allah selama kekal langit dan bumi). Dan pada tatswib, yaitu: ucapan muadzin pada shalat shubuh: “Ashshalaatu khairum minan nauum” (Shalat itu lebih baik dari pada tidur), maka pendengarnya mengucapkan: “Shadaqta wa bararta wa nashahta” (Benar engkau, telah berbuat kebajikan engkau dan telah memberi nasehat engkau). Ketika selesai dari adzan, maka dibacakan do'a, yaitu: "Ya Allah, ya Tuhanku, yang memiliki do’a ini yang sempuma, dan shalat yang berdiri tegak! Berikanlah kepada Muhammad jalan, kelebihan dan derajat tinggi! Dan bangkitkanlah dia pada tempat terpuji yang telah Engkau janjikan! Sesungguhnya Engkau tiada menyalahi janji". Berkata Said bin AI‑Musayyab: “Barangsiapa mengerjakan shalat pada tanah sahara yang luas, niscaya bershalat di kanannya seorang malaikat dan dikirinya seorang malaikat. Maka jika ia beradzan dan berqamat (iqamah), niscaya bershalat di belakangnya malaikat‑ma­laikat berbaris seperti bukit". FADLILAH/KEUTAMAAN SHALAT FARDLU. Berfirman Allah Ta’ala: "Sesungguhnya shalat itu suatu kewajiban yang ditentu­kan waktunya untuk orang‑orang yang beriman" S 4 An‑Nisaa', ayat 103. Bersabda Nabi saw: "5 shalat diwajibkan oleh Allah kepada segala hamba. Maka barangsiapa mengerjakan semuanya dan tidak menyia‑nyiakan suatupun daripadanya, sebagai meringan‑ringankan haknya, niscaya adalah untuknya pada Allah suatu janji bahwa ia akan masuk sorga. Dan barangsiapa tidak mengerjakan semuanya, maka tiadalah baginya pada Allah suatu janji. Jika dikehendaki oleh Allah niscaya diazabkannya dan jika dikehendaki Allah, niscaya dimasukkannya ke dalam sorga". Bersabda Nabi saw: "Perumpamaan shalat yang 5 itu adalah seumpama sebuah sungai yang tawar airnya yang meluap‑luap, di pintu seseorang daripada kamu. Ia mandi padanya tiap‑tiap hari 5 kali. Apakah pendapatmu tentang orang itu, apakah masih a­da dakinya?" Menjawab para shahabat: “Tak ada sedikitpun! Maka menyambung Nabi saw: "Sesungguhnya shalat yang 5 itu, menghilangkan dosa seperti air menghilangkan daki". Bersabda Nabi saw: "Sesungguhnya shalat‑shalat itu menghapus­kan dosa yang terjadi diantaranya, selama bukan dosa besar". Bersabda Nabi saw: “Diantara kita dan orang-orang munafiq itu terdapat saksi‑saksi gelap dan terang, yang tiada sanggup mereka mempengaruhi kedua saksi itu". Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa menjumpai Allah, sedang dia menyia‑nyiakan shalat, maka tidak diperdulikan oleh Allah sesuatu daripada kebajikan‑kebajikannya". Bersabda Nabi saw: “Shalat itu tiang agama. Barangsiapa mening­galkan shalat maka ia telah meruntuhkan agama. Ditanyakan Rasulullah saw: “Amalah apakah yang lebih utama (afdlal)?". Menjawab Nabi saw: “Shalat pada awal waktunya". Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa memelihara shalat yang 5 itu dengan menyempurnakan bersuci dan waktunya, niscaya jadilah shalat itu nur baginya dan pembuktian pada hari qiamat. Dan ba­rangsiapa menyia‑nyiakannya, niscaya dibangkitkan ia beserta Fir'aun dan Haman". Bersabda Nabi saw: "Kunci sorga itu shalat ". Dan bersabda Nabi saw: “Tiada diwajibkan oleh Allah kepada makhuk Allah sesudah tauhid yang lebih menyukakan kepada Allah selain daripada shalat. Jikalau adalah sesuatu yang lain, yang lebih menyukakan kepada Allah dari shalat, niscaya telah beribadah dengan dia para malaikat Allah. Para malaikat itu, sebahagiannya ruku', se­bahagian sujud, sebahagian berdiri dan duduk ". Bersabda Nabi saw: "Barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja, maka kufurlah dia", artinya: hampir tercabut daripada Iman dengan terbuka talinya dan jatuh tiangnya. Sebagaimana dikatakan bagi orang yang telah mendekati suatu kampung, bahwa ia telah sampai ke kampung itu dan telah memasukinya. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja maka terlepaslah ia dari tanggungan Muhammad saw". Berkata Abu Hurairah ra: “Barangsiapa berwudlu, maka membaguskan wudlunya, kemudian ia keluar dengan sengaja untuk shalat maka sesungguhnya dia di dalam shalat yang sengaja ia kepada shalat itu. Dan dituliskan baginya dengan salah satu dari dua langkahnya kebajikan dan dihapuskan daripadanya dengan langkah yang satu lagi, kejahatan. Apabila mendengar seorang kamu akan qomat maka tidak wajarlah baginya mengemudiankan. Karena yang terbesar pahala bagi kamu ialah yang terjauh rumah daripada kamu" Bertanya mereka: "Mengapa begitu wahai Abu Hurairah?". Menjawab Abu Hurairah: "Dari karena banyaknya langkah. Diriwayatkan: "Bahwa yang mula pertama diperhatikan dari amal­an hamba pada hari qiamat ialah shalat. Kalau terdapat shalat itu sempurna, niscaya diterima shalat itu daripadanya dan amalannya yang lain. Dan kalau terdapat kurang, niscaya ditolak shalat itu daripadanya dan amalannya yang lain". Bersabda Nabi saw: "Hai Abu Hurairah! Suruhlah keluargamu dengan shalat! Sesungguhnya Allah mendatangkan rezeqi bagimu dari tempat yang tidak kamu sangka”. Berkata setengah ulama: "Orang yang mengerjakan shalat itu adalah seumpama saudagar yang tidak memperoleh keuntungan sebelum kembali pokoknya. Demikian juga orang yang mengerjakan shalat, tidak diterima yang sunat sebelum ditunaikannya yang fardlu”. Abu Bakar ra berkata: "Apabila telah datang waktu shalat, maka pergilah ke apimu yang telah kamu nyalakan, lalu padamkanlah api itu ! FADLILAH MENYEMPURNAKAN RUKUN. Bersabda Nabi saw: “Shalat fardlu itu adalah seumpama neraca. Siapa yang mencukupkan, niscaya memperoleh cukup". Berkata Yazid Ar‑Riqasyi: "Adalah shalat Rasulullah saw itu sama seolah‑olah sudah ditimbang". Bersabda Nabi saw: "Sesungguhnya dua orang dari ummatku, keduanya berdiri kepada shalat, di mana ruku' dan sujud keduanya itu satu. Dan diantara shalat keduanya itu adalah diantara langit dan bumi". Diisyaratkan Nabi saw dengan sabdanya itu untuk "khusyu"'. Bersabda Nabi saw: "Allah tiada memandang pada hari qiamat kepada hamba yang tiada menegakkan tulang sulbinya diantara ruku' dan sujudnya". Bersabda Nabi saw” "Tidakkah takut orang yang memutarkan mukanya di dalam shalat, akan diputarkan oleh Allah mukanya menjadi muka keledai?". Bersabda Nabi saw: "Barangsiapa mengerjakan shalat pada waktu­nya dan melengkapkan wudlunya, menyempurnakan rukunya, sujudnya dan khusu’nya, niscaya shalat itu naik dengan warna yang putih bersih, seraya mengatakan: "Kiranya Allah menjaga engkau sebagaimana engkau telah menjaga aku (sholat)!”. Barangsiapa mengerjakan shalat pada bukan waktunya dan tidak melengkapkan wudlunya, tidak menyempurnakan rukunya, sujudnya dan khusyu’nya, niscaya shalat itu naik dengan warna yang hitam gelap, seraya mengatakan: “Disia‑siakan oleh Allah kiranya engkau, sebagaimana engkau telah menyia‑nyiakan aku (sholat)" Sehingga kalau dikehendaki oleh Allah­ apabila shalat itu, dilipatkan sebagaimana dilipatkan kain buruk, maka dipukulkanlah dengan shalat itu mukanya". Bersabda Nabi saw: "Sejahat‑jahat manusia mencuri ialah orang yang mencuri dari shalatnya". Berkata Ibnu Masud dan Salman ra: "Shalat itu alat penyukat. Maka barangsiapa menyempurnakan, niscaya ia menerima sempurna dan barangsiapa menipu di dalam sukatan, maka tahulah ia apa yang difirmankan Allah, mengenai orang‑orang yang menipu pada sukatan/timbangan. FADLILAH SHALAT JAMAAH. Bersabda Nabi saw: "Shalat jama’ah itu melebihi dari shalat sendirian dengan 27 derajat". Diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Nabi saw tidak melihat orang pada sebahagian shalat, lalu bersabda: "Sesungguhnya aku bercita-­cita menyuruh seseorang menjadi imam yang mengimami shalat orang banyak. Kemudian aku sendiri mencari orang‑orang yang meninggalkan shalat berjamaah itu Ialu aku bakar rumah‑rumah­nya”. Pada riwayat yang lain: "Kemudian aku mencari orang‑orang yang meninggalkan shalat jama'ah itu, maka aku suruh mereka. Lalu kalau meninggalkan juga, maka rumah mereka dibakar dengan unggunan kayu api. Jikalau tahulah seseorang dari mereka bahwa akan memperoleh tulang yang berminyak atau dua kuku hewan, niscaya dihadirinya", yakni: "shalat 'Isya". Berkata Usman ra, dimana perkataannya itu adalah suatu hadits marfu': "Barangsiapa menghadiri shalat jama'ah 'Isya, maka sea­kan‑akan ia bangun setengah malam dengan ibadah. Dan barang­siapa menghadiri shalat jama'ah Shubuh, maka seakan‑akan ia ba­ngun semalam‑malaman dengan ibadah". Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa mengerjakan suatu shalat de­ngan berjama'ah, maka ia telah memenuhkan dadanya dengan ibadah". Berkata Sa’id bin AI‑Musayyab: "Tiadalah seorang muadzin mela­kukan adzan semenjak 20 tahun yang lampau, melainkan saya ada di dalam masjid”. Berkata Muhammad bin Wasi’: “Tiada aku rindukan dari dunia, selain dari tiga: teman, jikalau aku bengkok, maka diluruskannya; makanan dari rezeki yang aku peroleh dengan mudah tanpa menu­ruti kata orang dan shalat berjamaah yang tak aku melupakannya dan dituliskan bagiku keutamaannya". Diriwayatkan bahwa Abu 'Ubaidah bin Al‑Jarrah pada suatu kali menjadi imam shalat dari suatu kaum. Tatkala mau pergi, maka ia berkata: "Terus‑menerus setan tadi padaku, sampai setan itu me­nampakkan kepadaku bahwa aku mempunyai kelebihan dari orang lain. Dari itu, aku tidak mau menjadi imam shalat selama‑lamanya". Berkata Al-Hasan: "Janganlah engkau bershalat di belakang orang yang tiada bergaul dengan ulama". Berkata An‑Nakha'i: "Orang yang menjadi imam shalat dari orang banyak tanpa ilmu, adalah seumpama orang yang menyukat air di dalam laut, tidak mengetahui tambahannya daripada kekurangannya”. Berkata Hatim AI‑Asham: "Tertinggal aku suatu shalat dari berja­ma'ah, maka diratapi aku oleh Abu Ishak AI‑Bukhari sendirian. Dan jikalau meninggallah anakku, maka diratapi aku oleh lebih dari 10.000 orang, karena bahaya yang menimpakan agama dipan­dang manusia lebih mudah daripada bahaya yang menimpakan dunia". Berkata Ibnu Abbas ra: "Siapa yang mendengar suatu penyeru (suara muadzin) dan tidak menjawabnya, maka adalah dia tidak menghendaki kebajikan dan kebajikanpun tiada berkehendak kepadanya". Berkata Abu Hurairah ra: "Adalah lebih baik bagi anak Adam, telinganya penuh dengan timah hancur, daripada mendengar adzan yang tidak dijawabnya". Diriwayatkan bahwa Maimun bin Mahran datang ke masjid, Ialu orang mengatakan kepadanya bahwa orang ramai sudah pulang (karena shalat jama'ah sudah selesai), maka Maimun menjawab: “Innaa lillaahi wa innaa illaihi raaji’uun! Sesungguhnya keutamaan shalat ini (shalat jama'ah), adalah lebih baik bagiku daripada men­jadi wali negeri Irak". Bersabda Nabi saw: "Barangsiapa mengerjakan shalat 40 hari dalam jama'ah, yang tidak tertinggal padanya suatu takbiratul‑ihram, maka dituliskan oleh Allah baginya dua kelepasan: “kelepasan dari nifaq dan kelepasan daripada neraka". Ada yang mengatakan bahwa pada hari qiamat dibangkitkan dari kubur suatu kaum, wajahnya berseri‑seri seperti bintang yang ber­kilau‑kilauan. Maka bertanya malaikat kepada mereka: “Apakah amal perbuatan kamu dahulu?". Menjawab mereka: "Adalah kami apabila mendengar adzan, lalu bangun bersuci dan tidak diganggu kami oleh yang lain". Kemudian dibangkitkan dari kubur suatu golongan, wajahnya se­perti bulan, maka menjawab golongan ini sesudah ditanya: “Adalah kami berwudlu sebelum masuk waktu". Kemudian dibangkitkan suatu golongan, wajahnya seperti matahari, maka golongan ini menjawab: "Adalah kami mendengar adzan di masjid”. Diriwayatkan bahwa ulama‑ulama terdahulu (salaf) adalah mera­tapi dirinya 3 hari, apabila tertinggal takbir pertama pada shalat jama'ah. Dan meratapi dirinya 7 hari, apabila tertinggal shalat jama'ah. FADLILAH SUJUD. Bersabda Rasulullah saw: “Tiadalah seorang hamba mendekatkan dirinya kepada Allah dengan sesuatu, yang lebih utama daripada sujud yang tersembunyi (tidak di muka umum)". Bersabda Rasulullah saw: "Tiadalah seorang muslim bersujud ke­pada Allah dengan satu sujud, melainkan ia diangkatkan oleh Allah satu tingkat dan dihapuskan daripadanya satu kejahatan dengan sebab sujud itu”. Diriwayatkan: "Bahwa seorang laki‑laki meminta kepada Ra­sulullah saw: “Berdo'alah pada Allah kiranya dijadikan Allah aku diantara orang yang memperoleh syafa'atmu dan diberikan Allah aku rezeki mengawani engkau dalam sorga". Maka menjawab Nabi saw: "Tolonglah aku dengan berbanyak sujud". Ada yang mengatakan: "Yang paling dekat seorang hamba kepada Allah, ialah bahwa ada ia seorang yang sujud", itulah maksud fir­man Allah Ta’ala: "Wasjud waqtarib". (Dan sujudlah dan dekat­kanlah diri kepada Allah). S 96 Al ‘Alaq, ayat 19. Dan berfirman Allah Ta’ala: "Di muka mereka ada tanda‑tanda bekas sujud" S 48 AI‑Fath, ayat 29. Ada yang mengatakan, yaitu apa yang tersentuh dengan mukanya dari bumi ketika sujud. Ada yang mengatakan, yaitu nur khusyu', yang menembus cemerlang dari bathinnya kepada zhahir. Inilah yang lebih benar. Dan ada yang mengatakan, yaitu cahaya gemilang yang ada pada mukanya di hari qiamat dari bekas wudlu. Bersabda Nabi saw: "Apabila anak Adam membaca ayat sajadah (ayat yang disunatkan sujud sesudah membacanya), lalu ia sujud, maka pergilah setan sambil menangis dan berkata: "Alangkah celakanya aku! Orang ini disuruh sujud, lalu ia sujud maka baginya sorga. Aku disuruh sujud, lalu aku durhaka, maka bagiku neraka". Diriwayatkan dari Ali bin Abdullah bin Abbas, bahwa ia bersujud tiap‑tiap hari 1000 sujud. Dan orang banyak menggelarkan Ali ini dengan gelar "As‑Sajjad", artinya: orang banyak sujud. Diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul‑'Aziz ra tiada melakukan sujud selain atas tanah. Dan Yusuf bin Asbath berkata: "Hai para pemuda! Bersegeralah mempergunakan ketika sehat sebelum sakit! Maka tiadalah tinggal seseorang yang aku gemari, selain orang yang menyempurnakan ruku'nya dan sujudnya dan telah terdindinglah diantara aku dan ruku' sujud itu (karena telah lanjut umurnya)" Berkata Sa'id bin Jubair: "Tiada aku meminta tolong pada sesuatu di dunia ini, selain kepada sujud". Berkata Uqbah bin Muslim: "Tiada suatu perkarapun pada hamba yang lebih disukai oleh Allah selain daripada orang yang menyukai berjumpa dengan Dia. Dan tiadalah dari Sa’at kehidupan hamba yang lebih dekat kepada Allah, selain dari Sa'at di mana ia' tersungkur bersujud kepada Allah ". Berkata Abu Hurairah ra: "Yang lebih mendekati seorang hamba kepada Allah 'Azza wa Jalla, ialah apabila ia sujud, lalu memba­nyakkan do'a ketika itu”. FADLILAH KHUSYU Berfirman Allah Ta'ala: “Kerjakanlah shalat untuk mengingati AKU ! S 20 Thaa Ha, ayat 14. Berfirman Allah Ta’ala: “Janganlah engkau termasuk orang‑orang yang alpa". S 7 Al A'raaf ayat 205. Berfirman Allah 'Azza wa Jalla: "Janganlah kamu hampiri shalat ketika kamu sedang mabuk, sampai kamu mengetahui apa yang kamu katakan". S 4 An Nisaa' ayat 43. Ada yang mengatakan: mabuk dari banyak angan‑angan. Dan ada yang mengatakan: mabuk dari cinta kepada dunia. Berkata Wahab: "Yang dimaksudkan dengan mabuk itu secara zhahirnya saja. Yaitu memperingati kepada mabuk dunia, karena diterangkan oleh Allah sebabnya, dengan firmanNya: "Sampai kamu mengetahui apa yang kamu katakan". Berapa banyak orang yang bershalat yang tidak minum khamar, padahal dia tiada mengetahui apa yang dibacanya dalam shalat. Bersabda Nabi saw: "Barangsiapa mengerjakan shalat dua rakaat, di mana ia tidak berbicara dengan dirinya dalam dua rakaat itu mengenai sesuatu urusan duniawi, niscaya diampunkan baginya apa yang telah Ialu daripada dosanya". Bersabda Nabi saw: "Sesungguhnya shalat itu menetapkan hati, menundukkan diri, merendahkan hati, merapati bathin, menyesali diri. Dan engkau meletakkan dua tangan engkau seraya membaca: "Ya Allah ya Tuhanku! Ya Allah, ya Tuhanku!” Barangsiapa tiada berbuat demikian, maka shalat itu penuh kekurangan‑kekurangan”. Diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam kitab‑kitab yang dahulu: "Tidaklah tiap‑tiap orang yang mengerjakan shalat itu, AKU terima shalatnya. Hanya AKU terima shalat orang yang meren­dahkan diri karena kebesaranKu, tiada menyombong dengan hamba‑hambaKu dan memberi makanan kepada orang miskin yang lapar karena Aku”. Bersabda Nabi saw: "Sesungguhnya diwajibkan shalat, disuruh mengerjakan hajji dan thawaf dan disuruh syiarkan segala ibadah hajji itu, adalah karena menegakkan dzikir (mengingati) Allah Ta'ala". Apabila tidak ada dalam hatimu untuk yang tersebut tadi, yang mana itulah yang dimaksud dan yang dicari, karena kebesaran dan tidak kehebatan, maka apakah harganya dzikirmu itu ?". Bersabda Nabi saw kepada orang yang diberinya wasiat: "Apabila engkau mengerjakan shalat, maka bershalatlah sebagai shalat orang yang mengucapkan selamat tinggal". Artinya: Mengucapkan selamat tinggal kepada dirinya, kepada hawa‑nafsunya dan kepada umurnya, berjalan kepada Tuhannya, sebagaimana berfirman Allah 'Azza wa Jalla: "Hai manusia! Sesungguhnya engkau mesti bekerja keras dengan sesungguhnya (menuju) kepada Tuhan, kemudian itu kamu akan menemui Allah " S 84 AI‑Insyiqaaq ayat 6. Berfirman Allah Ta’ala: "Bertaqwalah kepada Allah ! Allah menga­jar kamu" S 2 AI‑Baqarah ayat 282. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan bertaqwalah kepada Allah dan keta­huilah bahwa kamu akan menemui Dia ". S 2 Al‑Baqarah ayat 223. Bersabda Nabi saw: ”Barangsiapa tidak dicegah oleh shalatnya daripada per­buatan keji dan munkar, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh”. Shalat itu adalah munajah dengan Allah. Maka bagaimanakah ada munajah itu serta kelalaian ? Berkata Bakr bin Abdullah: "Hai anak Adam! Apabila engkau bermaksud masuk kepada Tuhanmu tanpa izin dan berbicara de­ngan Dia tanpa juru bahasa, maka masuklah!”. Lalu orang bertanya: “Bagaimanakah yang demikian itu?. Maka menjawab Bakr bin Abdullah: "Engkau lengkapkan wudhumu dan engkau masuk ke mihrabmu. Apabila engkau telah masuk kepada Tuhanmu dengan tanpa izin itu, maka berbicaralah dengan Dia tanpa ada juru bahasa!”. Dari Aisyah yang mengatakan: "Adalah Rasulullah saw bercakap‑cakap dengan kami dan kamipun bercakap‑cakap dengan beliau. Maka apabila datang waktu shalat, lalu seolah‑olah beliau tidak mengenal kami dan kamipun tidak mengenal beliau", karena selu­ruh jiwa raga tertuju kepada kebesaran Allah. Bersabda Nabi saw: "AIlah tidak memandang kepada shalat, di mana orang itu di dalam shalatnya tidak menghadirkan hatinya serta badannya". Adalah Nabi Ibrahim as apabila berdiri kepada shalat, lalu terde­ngar detak jantungnya pada jarak 2 mil. Dan adalah Sa'id At­ Tunukhi apabila mengerjakan shalat, maka tiada putus‑putusnya air mata dari dua pipinya ke atas janggutnya. Rasulullah saw melihat seorang Iaki‑laki bermain‑main dengan janggutnya dalam shalat, maka beliau bersabda: "Jikalau khusyu’lah hati orang ini, niscaya khusyu'lah anggota‑anggota badannya ". Diriwayatkan bahwa Al Hasan memandang kepada seorang laki‑laki yang bermain‑main dengan batu dan berdo'a: "Ya Allah, ya Tuhan­ku! Kawinkanlah aku dengan bidadari!”. Maka berkata Al-Hasan: "Buruk benarlah pelamar yang semacam ini! Engkau melamarkan bidadari, sedang engkau bermain‑main dengan batu". Ditanyakan kepada Khalf bin Ayyub: "Tidakkah diganggu engkau oleh lalat dalam shalat engkau, sehingga perlu engkau usir lalat itu?". Menjawab Khalf bin Ayyub: "Tidak aku biasakan bagi diriku sesuatu yang merusakkan shalatku". Maka ditanyakan lagi: “Bagaimanakah engkau bisa tahan yang demikian itu?". Menjawab Khalf bin Ayyub: "Orang menceriterakan kepadaku bahwa penjahat‑penjahat tahan dari pukulan cemeti‑cemeti sultan, supaya dikatakan: "Bahwa si Anu itu tahan menderita". Lalu mereka itu merasa bangga dengan demikian. Adapun aku berdiri dihadapan Tuhanku, maka patutkah aku bergerak karena seekor lalat?". Diriwayatkan dari muslim bin Yassar, bahwa apabila ia bermaksud mengerjakan shalat, maka ia berkata kepada keluarganya: "Bercakap‑cakaplah kamu sesama kamu, sedang aku tidak mendengar percakapanmu itu!”. Diriwayatkan dari Muslim bin Yassar tadi, bahwa pada suatu hari ia mengerjakan shalat di masjid jami’ Basrah. Maka robohlah suatu sudut dari masjid itu. Lalu berkumpullah manusia ke sana. Sedang Muslim tadi tiada mengetahuinya sama sekali, sehingga selesailah ia daripada shalatnya itu. Adalah Ali bin Abi Thalib ra apabila datang waktu shalat, maka gementarlah badannya dan berobahlah warna mukanya. Lalu ia ditanyakan orang: "Apakah yang menimpakan kepada engkau wa­hai Amirul mu'minin?". Ali menjawab: "Telah datang waktu amanah yang didatangkan oleh Allah kepada langit, bumi dan bukit, maka semuanya ini eng­gan menerimanya dan merasa berat daripadanya. Dan aku menerimanya”. Diriwayatkan dari Ali bin Al-Husain, bahwa apabila ia mengambil wudlu maka pucatlah warna mukanya. Lalu bertanyalah keluarga­nya: “Apakah yang menimpakan kamu ketika berwudlu?". Maka menjawab Ali bin Al-Husain: "Tahukah kamu dihadapan Siapa aku mau berdiri?". Diriwayatkan daripada Ibnu Abbas ra bahwa ia berkata: "Berdo'a­lah Nabi Dawud as dalam munajahnya: "Wahai Tuhanku! Siapa­kah yang mendiami rumah Engkau dan dari siapakah yang Engkau terima shalatnya?". Maka diturunkan Allah wahyu kepada Dawud as: "Wahai Dawud! Sesungguhnya yang mendiami rumahKU dan yang AKU terima sha­lat daripadanya, ialah orang yang merendahkan diri karena keagung­anKU, menghabiskan siangnya dengan mengingati AKU, mencegah dirinya dari hawa nafsu karena AKU, diberinya makanan kepada orang yang lapar, diberinya tempat kepada orang yang merantau dan dikasihaninya orang yang mendapat mushibah. Itulah orang yang bercahaya nurnya pada segala langit laksana matahari. Kalau ia berdo’a kepadaKU niscaya AKU terima dan kalau ia meminta kepadaKU niscaya AKU berikan. AKU jadikan baginya di dalam kebodohannya, akan kasih sayang, di dalam kelalaiannya akan peringatan dan di dalam kegelapannya akan nur yang terang ben­derang. Dia dalam kalangan manusia, adalah laksana sorga firdaus pada lapisan sorga yang paling tinggi, tiada kering sungainya dan tiada berobah buah‑buahannya". Diriwayatkan dari Hatim AI‑Ashamm ra bahwa ditanyakan orang mengenai shalatnya, maka ia menjawab: ”Apabila datang waktu shalat, maka aku lengkapkan wudlu dan aku datangi tempat, di mana di situ aku bermaksud mengerjakan shalat. Maka aku duduk pada tempat itu, sehingga berkumpullah segala anggota badanku. Kemudian aku berdiri kepada shalatku, aku jadikan Ka’bah diantara dua keningku, titian Ash‑Shiraathal mustaqim di bawah tapak­ku, sorga di kananku, neraka di kiriku, malikul‑maut di belakangku, aku menyangka shalat ini penghabisan shalatku, kemudian aku berdiri diantara harap dan cemas. Aku bertakbir dengan penuh keyakinan, aku membaca bacaan dengan bacaan yang baik, aku ruku' dengan merendahkan diri, aku sujud dengan khusu' hati, aku duduk atas punggung kiri dan aku bentangkan belakang tapak kiri, aku tegakkan tapak kanan atas ibu jari kaki dan aku ikutkan keikhlasan hati. Kemudian aku tiada mengetahui, apakah shalatku itu diterima atau tidak". Berkata Ibnu Abbas ra: "Dua raka'at shalat dengan sempurna tafakkur, adalah lebih baik daripada mengerjakan shalat semalam suntuk, sedang hati itu lupa". FADLILAH MASJID DAN TEMPAT SHALAT. Berfirman Allah Ta’ala: "Hanyalah yang berhak meramaikan masjid‑masjid Allah, ialah orang‑orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”. S 9 At Taubah ayat 18. Bersabda Nabi saw: "Barangsiapa membangun masjid karena Allah Ta’ala walaupun sebesar sarang burung, niscaya didirikan oleh Allah baginya sebuah mahligai di dalam sorga". Bersabda Nabi saw: "Barangsiapa hatinya sayang kepada masjid, niscaya ia disayangi Allah Ta’ala”. Bersabda Nabi saw: "Apabila masuk seorang kamu ke dalam masjid, maka hendaklah ia ruku' (mengerjakan shalat) dua raka’at sebelum duduk". Bersabda Nabi saw: "Tak ada shalat bagi orang yang bertetangga dengan masjid, melainkan dalam masjid". Bersabda Nabi saw: "Malaikat‑malaikat itu berdoa kepada sese­orang kamu, selama ia masih pada tempat shalatnya, di mana ia mengerjakan shalat pada tempat itu, dengan doa: "Ya Allah, ya Tuhanku! Berikanlah rahmat kepadanya! Ya Allah, ya Tuhanku! Kasihanilah dia! Ya Allah, ya Tuhanku! Ampunilah dosanya, selama dia tidak bercakap‑cakap atau keluar dari masjid itu!”. Bersabda Nabi saw: "Akan datang pada akhir zaman, segolongan manusia daripada ummatku yang mendatangi masjid, Ialu duduk di dalamnya berlingkar‑lingkaran. Pembicaraan mereka adalah dunia dan mencintai dunia, maka janganlah engkau duduk bersama mere­ka! Tiadalah suatu hajat dengan mereka bagi Allah". Bersabda Nabi saw: “Berfirman Allah Ta’ala pada sebahagian kitab‑kitab: "Bahwa rumahKu (rumah tempat menyebut nama Allah dan mengingati Allah) di bumiKU ialah masjid. Orang‑orang yang berziarah kepadaKU di bumiKU ialah orang‑orang yang meramaikan masjid‑masjid. Maka selamatlah bagi hambaKU yang bersuci di rumahnya, kemudian menziarahi AKU di rumahKU. Maka sebenar­nya atas yang diziarahi (dikunjungi) memuliakan yang berziarah (yang mengunjungi)”. Bersabda Nabi saw: ”Apabila kamu melihat orang yang biasa ke masjid, maka naik saksilah baginya dengan keimanan!”. Berkata Sa'id bin AI‑Musayyab: “Barangsiapa duduk di dalam masjid, maka sesungguhnya ia duduk bersama Tuhannya. Maka tiada berhak ia mengatakan melainkan yang baik". Diriwayatkan dalam perkataan shahabat (atsar) atau dalam hadits Nabi saw bahwa: “Berbicara di dalam masjid itu memakan segala kebajikan, sebagaimana binatang ternak memakan rumput". Berkata An‑Nakha'i: "Adalah mereka berpendapat bahwa berjalan dalam malam yang gelap ke masjid adalah mewajibkan sorga”. Berkata Anas bin Malik: “Barangsiapa memasang lampu dalam masjid, niscaya senantiasalah para malaikat dan pemikul 'Arasy meminta ampun baginya selama masih ada cahaya lampunya di dalam masjid itu". Berkata Ali ra: "Apabila meninggal dunia seorang hamba, maka ia ditangisi oleh Musholahnya dari bumi dan oleh pembawa naik amalannya dari langit". Kemudian Ali membaca ayat. "Langit dan bumi tiada menangisi mereka dan merekapun tiada diberi tangguh ". S 44 Ad Dukhaan ayat 29. Berkata Ibnu Abbas ra: "Bumi menangisinya 40 pagi". Berkata 'Atha' Al‑Khurasani: "Tidaklah seorang hamba yang ber­sujud kepada Allah satu sujud pada suatu pelosok dari pelosok‑pe­losok bumi, melainkan pelosok itu naik saksi baginya pada hari qiamat dan menangisi kepadanya pada hari ia meninggal dunia". Berkata Anas bin Malik: "Tiadalah suatu pelosok yang disebutkan nama Allah padanya dengan shalat atau dengan dzikir melainkan pelosok itu membanggakan diri dengan pelosok‑pelosok lain diseki­tarnya. Dan merasa gembira dengan mengingati Allah 'Azza wa Jalla sampai kepada lapisannya yang paling penghabisan dari 7 lapisan bumi. Dan tiadalah seorang hamba yang bangun berdiri mengerjakan shalat melainkan terhiaslah bumi karenanya". Dan ada yang mengatakan: "Tiadalah suatu tempat yang di tempati pada­nya suatu kaum, melainkan jadilah tempat itu berdo'a kepada mereka atau mengutuknya". BAB KEDUA: Tentang cara mengerjakan amalan zhahir dari shalat, permulaan dengan tak­bir dan yang sebelum takbir. Seyogialah bagi orang yang mengerjakan shalat (mushalli), apabila telah selesai dari wudhu, dari bersuci daripada najis pada badan, tempat dan pakaian, dari menutupi aurat dari pusat sampai kepada lutut, bahwa ia tegak berdiri menghadap qiblat dan merenggangkan diantara kedua tapak kakinya, tidak dirapatkan keduanya. Cara yang demikian itu, termasuk diantara yang menunjukkan kepada adanya pengertian dari seseorang. Dan: "Dilarang oleh Nabi saw daripada "ash‑shafan" dan “as‑shafad" dalam shalat. Ash‑Shafad: yaitu merapatkan kedua tapak kaki. Di dalam AI‑Quran tersebut firman Allah Ta’ala: “Mereka (orang‑orang yang berdosa itu) terikat bersama‑sama dengan rantai". S 14 Ibrahim ayat 49. Ash‑Shafan: yaitu mengangkatkan salah satu daripada dua kaki. Di dalam AI‑Quran tersebut firman Allah Ta’ala: "Kuda-kuda yang jinak tenang waktu berhenti dan amat kencang larinya”. S 38 Shaad ayat 31. Inilah yang dijaga oleh orang yang mengerjakan shalat mengenai kedua kakinya ketika berdiri. Dan dijaga mengenai kedua lututnya dan tulang belakangnya de­ngan lurus. Dan mengenai kepalanya, kalau ia mau, maka dibiar­kannya tegak lurus dan kalau ia mau, maka ditundukkannya sedikit. Menundukkan kepala itu adalah lebih mendekatkan kepada khusyu' dan lebih memincingkan kepada mata. Dan hendaklah matanya tertuju kepada mushallanya (tempat sha­latnya), di mana ia mengerjakan shalat padanya. Jikalau ia tiada mempunyai tikar mushalla, maka hendaklah, ia mendekati dinding atau menggariskan suatu garis dihadapannya. Karena dengan demi­kian, memendekkan jaraknya penglihatan dan mencegah daripada bersimpang‑siurnya pikiran. Dan hendaklah ia menahan penglihatannya daripada melampaui tepi tikar mushalla dan batas garis. Dan hendaklah berdiri tetap seperti itu sampai kepada ruku' tanpa berpaling ke mana‑mana. Inilah adab berdiri !. Apabila telah berdiri lurus, menghadap qiblat dan menundukkan kepala seperti yang tersebut itu, maka hendaklah ia membaca: “Katakanlah ! Aku berlindung dengan Tuhan (Pemimpin) manusia", untuk bermohon pada Tuhan penjagaan diri daripada setan”. Kemudian hendaklah ia Qamat. Dan dalam ia mengharap akan ke­datangan orang yang akan mengikutnya, maka hendaklah ia adzan lebih dahulu. Kemudian, hendaklah ia niat, yaitu: niat shalat Dhuhur umpamanya dan mengatakan dengan hatinya: "Aku menunaikan fardlu Dhuhur karena Allah", untuk membedakan dengan katanya: "Aku menunaikan shalat qodo, Dan dengan fardlu untuk membedakan daripada sunat. Dan dengan Dzuhur, untuk membedakan daripada 'Ashar dan lainnya. Dan hendaklah pengertian kata‑kata itu ada pada hatinya. Yaitu, itulah niat. Dan kata‑kata itu adalah yang mengingatkan dan yang menjadi sebab untuk adanya niat itu. Dan diusahakannya supaya yang demikian itu tetap sampai kepada akhir takbiratul‑ihram, tidak hilang‑hilang. Apabila telah ada pada hatinya yang demikian itu, maka hendaklah ia mengangkat kedua tangannya sampai setentang/sejajar dengan kedua bahunya setelah dilepaskan lebih dahulu kedua tangan itu, di mana setentang dengan kedua tapak tangannya akan kedua bahunya dan dengan kedua ibu jarinya akan kedua ujung bawah telinganya. Dan dengan kepala anak-­anak jarinya akan tepi atas kedua telinganya. Supaya adalah yang demikian itu menghimpunkan segala maksud hadits‑hadits yang datang mengenai itu. Dan adalah orang yang mengerjakan shalat itu menghadap dengan kedua tapak tangannya dan dengan kedua ibu jarinya ke qiblat. Dan membuka segala anak jarinya, tidak menggenggamkannya. Dan tidak memaksakan pada anak‑anak jari itu dengan merenggangkan dan menggenggamkan, tetapi membiar­kannya menurut biasanya saja, karena dinukilkan menurut atsar­ melepaskan dan menggenggamkan. Dan yang tersebut di atas tadi, adalah dia diantara keduanya (diantara melepaskan dan menggenggamkan). Maka itulah yang lebih utama. Apabila telah tetap kedua tangan pada tempatnya itu, maka mulai­lah bertakbir serta melepaskan keduanya dan menghadirkan niat. Kemudian meletakkan kedua tangan itu di atas pusar dan di bawah dada. Dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri karena memulia­kan kanan, sehingga ia dipikul oleh yang kiri. Telunjuk dan jari mati/jari tengah dari tangan kanan dilepaskan di atas sepanjang lengan. Dan digenggam dengan ibu jari, kelingking dan jari manis di atas pergelangan tangan kiri. Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa takbir itu serta mengang­katkan kedua tangan, serta tetap keduanya dan serta melepaskan. Semuanya itu tak ada salah padanya. Dan saya berpendapat dengan melepaskan kedua tangan itu, adalah lebih layak. Takbir itu adalah kata‑kata untuk pengikatan ('aqad). Dan mele­takkan salah satu daripada kedua tangan di atas yang lain adalah dalam bentuk pengikatan itu. Permulaan pengikatan itu ialah mele­paskan kedua tangan ke bawah dan kesudahannya meletakkan kedua tangan (di atas pusar dan di bawah dada). Permulaan takbir itu alif dan penghabisannya ro. Maka sepantasnya­lah dipelihara penyesuaian diantara perbuatan dan pengikatan itu. Dan mengangkatkan tangan itu adalah merupakan muqaddimah bagi permulaan ini. Kemudian, tidaklah seyogianya mengangkatkan kedua tangan itu ke depan sebagai pengangkatan tangan ketika takbir. Dan tidaklah menolakkan kedua tangan itu ke belakang kedua bahu dan tidaklah menghempaskan kedua tangan itu ke kanan dan ke kiri, apabila ­telah selesai daripada takbir. Dan melepaskan kedua tangan itu, dengan pelan‑pelan, kemudian di mulai meletakkan yang kanan keatas yang kiri setelah dilepaskan itu. Pada setengah riwayat, bahwa Nabi saw: "Adalah, apabila telah bertakbir, Ialu melepaskan kedua tangannya. Dan apabila hendak membaca maka diletakkannya tangan kanan ke atas tangan kiri”. Kalau riwayat ini shah (benar), maka adalah ini lebih utama dari pada yang kami sebutkan itu. Adapun takbir, maka seyogialah ha pada pengucapan Allah itu dibaris‑depankan, yaitu Allahu, dengan suara ringan, tanpa bersa­ngatan. Dan tidak masuk antara ha dan alif, yang menyerupakan u (yaitu suara panjang), hal ini terbawa kalau dibacakan hu itu de­ngan suara keras. Dan tidak masuk antara ba ak ‑ ba – r dan ra‑nya itu alif, seolah-­olah dibacakannya ak ‑ baa ‑ r (dengan panjang suara pada ba). Dan dimatikan baris ra takbir itu, tidak dibaris‑depankan. Inilah cara, takbir dan hal‑hal yang menyertai takbir itu. PEMBACAAN. Kemudian, dimulainya dengan membaca "doa iftitah " (do'a pembukaan shalat). Dan baiklah dibacakan setelah membacakan "Allahu akbar" itu: (Allaahu akbar kabiiran wal hamdu, lillaahi katsiiraa, wa subhaanal­laahi bukratan wa ashiila. Wajahtu wajhia) ‑ sampai kepada ‑ wa ana minal muslimiin". Artinya: ”Allah Maha Besar, segala pujian sebanyak‑banyaknya bagi Allah. Maha Suci Allah pagi dan petang. Aku hadapkan wajah­ku " ‑ sampai seterusnya kepada ‑ pembacaan, yang artinya: dan aku adalah sebahagian daripada kaum muslimin. Kemudian, dibacakannya "Maha Suci Engkau wahai Tuhanku dan dengan memuji Engkau dan bertambah‑tambahlah keagungan nama Engkau, maha besarlah pujian kepada Engkau dan tiadalah yang disembah selain Engkau". Supaya dengan pembacaan yang tersebut tadi, dapat menghimpun­kan diantara yang berpisah‑pisah dari apa yang datang pada bebera­pa hadits. Jikalau ia mengerjakan shalat di belakang imam, hendaklah diring­kaskannya, apabila imam itu tiada lama diam sesudah bertakbir, dengan membaca di dalam diamnya itu. Kemudian, dibacakan: "Aku berlindung dengan Allah daripada setan yang kena kutuk ". Kemudian, dibacakan "surat AI‑Fatihah", dimulai dengan ‑"Bismil­laahir rahmaanir rahiim", dengan menyempurnakan tasydid dan hu­rufnya. Dan diusahakan benar‑benar membedakan diantara dlad (tebal) dan dlad (tipis). Dan dibacakan "aamiin " pada akhir surat AI‑Fatihah serta dipanjangkan pembacaan "Aamiin ". dan janganlah sekali‑kali disambung "Aamiin" dengan "wa ladl dlaalliin". Dan dikeraskan pembacaan (jhr) pada shalat Shubuh, Maghrib dan'Isya', kecuali kalau ia pengikut imam (ma'mum). Dan dikeraskan membaca: "Aamiin". Kemudian dibacakan surat atau sekedar tiga ayat atau lebih daripada Alquran. Dan tidak disambung akhir surat yang dibaca itu dengan takbir berpindah untuk ruku'. Tetapi dipisahkan diantara keduanya sekedar pemba­caan "Subhaanallaah". Dan dibacakan pada shalat Shubuh surat‑surat yang panjang dan pada shalat Maghrib, surat‑surat yang pendek dan pada Dhuhur, 'Ashar dan 'Isya' seperti surat: ”Wassamaa‑i dzaatil buruuj" dan yang mendekati panjangnya. Dan pada shalat Shubuh di dalam musafir, dibacakan: "Qul yaa ayyuhal kaafiruun " dan "Qul huwallahaahu ahad" Dan seperti itu pula pada dua raka'at shalat sunat Shubuh sunat thawaf dan sunat tahiyyah masjid. Orang yang mengerjakan shalat tadi pada semua itu, terus berdiri dan meletakkan kedua tangannya sebagaimana yang telah kami terangkan pada permulaan shalat dahulu. RUKU' DAN SEGALA YANG BERHUBUNGAN DENGAN RUKU Kemudian ia ruku,' dan dijaga pada ruku' itu beberapa perkara. Yaitu: bahwa ia bertakbir bagi ruku', mengangkatkan kedua tangan serta takbir ruku' & memanjangkan takbir itu sampai kepada ruku'. Meletakkan kedua tapak tangan atas dua lutut pada ruku' di mana segala anak jarinya dilepaskan menghadap arah ke qiblat atas sepan­jang betis. Bahwa ia menegakkan kedua lututnya, tidak dilipatkan. Bahwa ia memanjangkan punggungnya dengan lurus dan adalah lehernya dan kepalanya lurus menyamai dengan punggungnya seperti sebilah papan. Tidaklah kepalanya lebih rendah dan tidak lebih tinggi. Bahwa ia merenggangkan kedua sikunya daripada kedua lembungnya. Dan bagi wanita merapatkan kedua sikunya kepada kedua lembungnya. Dan dibacakan pada ruku' 3 kali (Subhaana rabbiyal 'adhiim) Artinya: Maha Suci Tuhanku Yang Maha Besar". Dan dilebihkan sampai 7 dan 10 adalah baik, jika ia bukan imam. Kemudian ia bangkit daripada ruku' kepada berdiri kembali dan mengangkatkan kedua tangannya, seraya membaca: (Sami'allaahu liman hamidah): "Didengar oleh Allah akan siapa yang memujiNya” Dan berkeadaan tetaplah (berthumaninah) pada itidal itu, seraya membaca. (Rabbanaa lakalhamdu mil‑us samaawaati wa mil‑ul ardli wa mil‑u maa syi'‑ta min syai‑in ba'du)."Hai Tuhan Kami ! Bagi Engkau segala pujian, memenuhi segala langit, memenuhi bumi dan memenuhi apa yang Engkau kehendaki dari sesuatu sesudahnya". Dan tidak melamakan berdiri i'tidal ini, selain pada shalat Tasbih, shalat Kusuf (shalat gerhana matahari dan bulan) dan shalat Shu­buh. Dan dibacakan qunut pada shalat Shubuh pada rakaat kedua sebelum sujud, dengan kalimah‑kalimah do'a yang diperoleh dari hadits-­hadits. SUJUD. Kemudian ia turun kepada sujud dengan bertakbir. Maka diletak­kannya kedua lututnya di atas lantai. Dan diletakkannya dahinya, hidungnya dan kedua tapak tangannya dengan terbuka. Ia bertak­bir ketika turun kepada sujud. Dan tidak mengangkatkan kedua tangan pada bukan ruku'. Dan seyogialah, yang mula‑mula jatuh ke atas lantai itu, kedua lututnya. Dan diletakkannya sesudah kedua lutut itu, kedua ta­ngannya, kemudian mukanya. Dan diletakkannya dahi dan hidung­nya atas lantai dan direnggangkannya kedua sikunya daripada kedua lembungnya. Dan wanita tidak berbuat demikian (artinya tidak merenggangkan kedua sikunya daripada kedua lembungnya). Dan direnggangkan diantara kedua kaki dan wanita tidak berbuat demikian. Dan pada sujud itu, bagi laki‑laki berbuat "takhwiyah" di atas lantai dan bagi wanita tidak berbuat "takhwiyah". Takhwiyah, yaitu: mengangkatkan perut daripada kedua paha dan menjarangkan diantara kedua lutut. Dan diletakkan kedua tangan di atas lantai setentang dengan kedua bahu dan tidak dijarangkan diantara anak‑anak jari kedua tangan itu, tetapi dirapatkan. Dan dirapatkan ibu jari kepada kedua tangan itu. Dan jika tidak dirapatkan pun, tiada mengapa. Dan tidak didudukkan kedua lengan di atas, lantai seperti duduk­nya anjing, karena yang demikian itu dilarang. Dan dibacakan (Subhaana rabbiyal‑a’laa). 3 X Artinya: "Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi” Kalau dilebihkan dari tiga kali, adalah baik, kecuali ia imam. Kemudian, bangkit daripada sujud, Ialu duduk dengan tenang (thuma'ninah) dan lurus. Ia mengangkat kepala dari sujud dengan bertakbir dan duduk di atas kaki kiri serta menegakkan tapak kaki kanan dan meletakkan kedua tangan di atas kedua paha. Dan segala anak jarinya, terlepas (tidak tergenggam), tidak diberatkan mera­patkannya dan tidak merenggangkannya. Dan membaca: “Rabbighfirlii warhamnii warzuqnii wahdinii wajburnii wa ‘aafinii wa’ – fu ‘annii” Artinya: "Hai Tuhanku. Ampunilah aku, kasihanilah aku, berikanlah aku rezeki, berikanlah aku petunjuk, tutupkanlah kekuranganku, berikanlah aku kesehatan dan maafkanlah aku!”. Dan tidak dilamakan duduk ini, kecuali pada sujud shalat sunat tasbih. Dan dikerjakan sujud kedua seperti yang tadi juga. Dan duduk dengan lurus sebentar untuk istirahat pada tiap‑tiap raka'at, yang tidak duduk tasyahhud di belakang raka'at itu. Kemudian setelah duduk sebentar tadi, maka bangun berdiri dengan meletakkan tangan di atas lantai. Dan tidak mendahulukan salah satu daripada kedua kakinya ketika bangun berdiri itu, serta memanjangkan takbir sampai habis, diantara tengah‑tengah dari bangkitnya daripada duduk sampai kepada tengah‑tengah bang­kitnya kepada berdiri, di mana "ha" dari ucapannya "Allahu” adalah ketika duduknya sudah lurus. Dan "kaff" dari “Akbar” ketika ia bertekan dengan tangan untuk berdiri dan "ra" dari "akbar" pada tengah‑tengah bangkitnya kepada berdiri. Dan di­mulainya pada tengah‑tengah bangkitnya kepada berdiri, sehingga jatuh takbir itu pada tengah‑tengah perpindahannya. Dan tidak terlepas daripada takbir selain kedua tepi perpindahan itu (permu­laan perpindahan dan penghabisan perpindahan dari sujud kepada berdiri). Dan cara yang demikian adalah lebih mendekati kepada meratakan pembacaan ibadah. Dan dikerjakan rakaat kedua seperti raka'at pertama dan diulangi pembacaan "A’uudzu billaah”, seperti pada permulaan shalat. TASYAHHUD. Kemudian membaca tasyahhud pada raka’at kedua yaitu, tasyah­hud pertama. Kemudian membaca selawat kepada Rasulullah saw dan kepada keluarganya. Dan meletakkan tangan kanan ke atas paha kanan dan menggenggamkan segala anak jari kanan selain dari telunjuk. Dan tiada mengapa melepaskan ibu jari juga. Dan diisyaratkan dengan telunjuk kanan saja ketika Mengucapkan "illallaah ". tidak ketika mengucapkan “Laa ilaaha”. Duduk ia pada tasyahhud ini di atas kaki kiri seperti duduk dian­tara dua sujud. Dan pada tasyahhud akhir, disempurnakan doa yang diterima dari Nabi sesudah membaca selawat kepada Nabi saw. Sunat‑sunat pada tasyahhud akhir, adalah seperti sunat‑sunat pada tasyahhud pertama. Hanya pada tasyahhud akhir itu, duduk ia di atas punggung kiri, karena ia tidak bangun lagi untuk berdiri tetapi terus tetap menyiapkan shalatnya. Dan ditidurkannya kaki kirinya yang keluar dari bawah dan dite­gakkannya kaki kanannya serta diletakkan ujung ibu jari kakinya itu ke arah qiblat kalau tiada sukar. Kemudian membaca "Assalaa­mualaikum wa rahmatullaah" dan berpaling ke kanan, kira‑kira keli­hatanlah pipi kanannya dari belakang dari sebelah kanan. Dan ber­paling ke kiri, begitu pula dan membaca salam kedua. Diniatkan keluar dari shalat dengan salam itu. Dan diniatkan de­ngan salam itu memberi salam. kepada siapa yang ada di kanannya, dari para malaikat dan kaum muslimin pada salam pertama. Dan diniatkan begitu pula pada salam kedua. Dibacakan salam itu dengan dimatikan huruf akhirnya dan tidak dibacakan dengan suara panjang. Begitulah sunnah Nabi saw. Inilah caranya shalat seorang diri. Ditinggikan suara dengan segala takbir perpindahan (takbir intiqalat), yaitu sekedar yang dapat didengar oleh dirinya. Pada shalat jamaah, imam itu meniatkan imamah (menjadi imam shalat) supaya memperoleh kurnia Allah. Jikalau tidak diniatkan­nya, maka shalat orang ramai yang di belakangnya syah, apabila mereka itu meniatkan ikut imam (menjadi ma'mum). Dan mereka memperoleh pahala berjama'ah. Dan dibaca dengan suara halus (sirr) doa iftitah dan taawwuz (A'uudzu billaah) seperti orang yang bershalat seorang diri. Dan dibaca dengan suara keras (jahr) al‑fatihah dan surat pada shalat Shubuh, dua raka'at pertama dari shalat 'Isya' dan Maghrib. Dan orang yang bershalat seorang diri membacanya begitu juga. Dan dikeraskan membaca "A a m i n " pada shalat yang dijahrkan (shalat Shubuh, 'Isya'. dan Maghrib). Dan begitu pula ma'mum. Dan disamakan oleh ma’mum membaca aaminnya, bersama‑sama dengan aamin imam, tidak beriring‑iring. Dan berdiam diri imam sebentar sesudah al‑fatihah, supaya nafasnya normal kembali. Dan ma'mum dapat membaca al‑fatihah shalat yang dijahrkan (shalat jahriyah) pada ketika imam berdiam diri itu, agar ma'mum dapat mendengar pembacaan imam. Pada shalat jahriyah, ma'mum tidak membaca surat, kecuali apabila ia tiada mendengar suara imam. Imam membaca "Sami ',allaahu liman hamidah " ketika mengang­katkan kepalanya daripada ruku'. Dan demikian juga ma'mum. Dan imam tidak melebihkan dari tiga kali membaca tasbih ruku' dan tasbih sujud. Dan tidak menambahkan bacaan pada tasyahhud pertama sesudah membaca "Allaahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'alaa ali Muhammad " Dan meringkaskan pada dua rakaat akhir atas al‑fatihah saja, tidak memperpanjangkan, karena menyusahkan bagi para ma'mum. Dan imam tidak menambahkan do'a pada tasyahhud akhir mele­bihi dari sekedar tasyahhud dan selawat kepada Rasulullah saw. Dan meniatkan ketika salam, memberi salam kepada orang banyak yang menjadi ma'mum dan kepada para malaikat. Dan orang banyak pun meniatkan dengan salamnya, menjawab salam imam. Imam itu tetap pada tempat duduknya sekejap, sehingga selesai orang ramai dari salam dan ia menghadap kepada mereka itu de­ngan wajahnya. Yang lebih utama, imam itu tetap di situ dahulu, kalau di belakang ma'mum laki‑laki ada ma'mum wanita, supaya kaum wanita itu pergi sebelum bangun imam. Dan tidak seorangpun dari ma'mum bangun berdiri, sebelum bangun berdiri imam. Imam itu pergi keluar dari sebelah mana yang disukainya, dari sebelah kanan atau sebelah kiri. Dan menurut pendapatku, dari sebelah kanan adalah lebih baik. Tidaklah imam itu menentukan do'a untuk dirinya saja pada qunut Shubuh, tetapi hendaklah ia membaca: "Allaahummah dinaa", artinya: "Ya Allah, ya Tuhanku! Tunjukilah kami". (Tidak Allaahummah dinii yang artinya Ya allah ya Tuhanku ! Tunjukilah aku ! ). Imam itu membaca qunut dengan suara keras dan para makmum mengaminkan, dengan mengangkatkan tangan setentang dada dan menyapukan muka ketika selesai dari doa qunut. Demikian menurut hadits yang diriwayatkan tentang itu. Kalau tidak karena hadits, maka secara qias (analogi), tangan itu tidaklah diangkatkan seperti pada akhir tasyahhud. LARANGAN‑LARANGAN. Dilarang oleh Rasulullah saw "ash‑shafan" dan "ash‑shafad" di da­lam shalat dan sudah kami terangkan arti keduanya dahulu. Dan dilarang dari “ Iq’a ” dari "sadl", dari "kaff” dari "ikhtishar", dari “shalb” dari "muwashalah", dari "shalat al‑haqin", dari "haqib", dari "hadziq", dari "shalat orang lapar", dari "shalat orang marah" dan dari "shalat orang yang menutup muka". Adapun itqa , yaitu menurut ahli bahasa artinya: duduk di atas kedua punggung, menegakkan kedua lutut dan meletakkan kedua tangan ke atas lantai seperti duduk anjing. Dan menurut ahli hadits ­ialah: duduk di atas kedua betis dan tiada yang di atas lantai, selain dari ujung anak‑anak jari kedua kaki dan kedua lutut. Adapun sadl, yaitu menurut madzhab ahli hadits ialah berselimut dengan kain dan memasukkan kedua tangan dari dalam, lalu ruku' dan sujud, dalam keadaan yang demikian. Cara yang begini ialah cara Yahudi di dalam sembahyangnya. Maka dilarang daripada menyerupakan dengan Yahudi. Baju kemeja searti juga dengan kain itu, maka tidaklah wajar ruku' dan sujud, sedang kedua tangan di dalam selimutan kemeja. Ada yang mengatakan arti sadl, ialah meletakkan tengahan kain sarung di atas kepala dan melepaskan kedua pinggirnya, dari kanan dan kiri tanpa meletakkannya ke atas dua bahu. Arti yang pertama tadi adalah lebih mendekati kepada benar. Adapun kaff, yaitu mengangkatkan kain dari muka atau dari bela­kang, apabila mau sujud. Kadang‑kadang kaff itu pada rambut kepala. Dari itu, janganlah dikerjakan shalat, di mana ia menyang­gul rambutnya. Larangan ini adalah terhadap laki‑laki. Pada hadits tersebut: "Disuruh aku supaya sujud dengan 7 anggota badan dan tidak aku mengangkatkan rambut dan kain waktu sujud” . Ahmad bin Hambal ra memandang makruh berkain sarung di atas baju kurung panjang di dalam shalat dan dipandangnya sebahagian dari kaff. Adapun ikhtishar ialah meletakkan kedua tangan pada pinggang. Adapun shalb, ialah meletakkan kedua tangan pada pinggang, pada waktu berdiri dan merenggangkan antara kedua lengan pada waktu berdiri itu. Adapun muwashalah (menyambung), maka ada lima: Dua atas imam yaitu: imam itu tiada menyambung bacaannya dengan takbiratul‑ihram dan tiada menyambung rukunya dengan bacaan­nya. Dua atas mamum yaitu: ma'mum itu tiada menyambung takbir ratul‑ihramnya dengan takbiratul‑ihram imam dan tiada me­nyambung salamnya dengan salam imam. Dan satu lagi di atas keduanya, yaitu: tidak menyambung salam fardlu (salam pertama) dengan salam kedua. Dan hendaklah dipisahkan diantara kedua salam itu. Adapun shalat al‑haqin, yaitu shalat orang yang mau buang air kecil (mau kencing). Dan haqib, yaitu shalat orang yang mau buang air besar (mau berak). Dan hadziq, yaitu orang yang mengerjakan shalat di dalam alas kaki (muza) yang sempit. Semuanya itu adalah mencegah daripada khusyu. Dan searti dengan yang di atas, ialah orang yang sedang lapar dan susah. Dipahami larangan shalat bagi orang yang sedang lapar, dari sabda Nabi saw: "Apabila datang makanan malam dan di qamatkan shalat, maka mulailah dengan makanan malam!” Kecuali sempit waktu atau hatinya tenang. Pada suatu hadits tersebut: "Janganlah seorang kamu melakukan shalat, sedang pikirannya terganggu. Dan janganlah bershalat seorang kamu, di mana dia sedang marah ". Berkata Al‑Hasan: "Tiap‑tiap shalat yang tidak hadir hati pada­nya, maka shalat itu lebih mendekati kepada siksaan". Pada suatu hadits tersebut: "7 perkara dalam shalat adalah dari setan: keluar darah dari hidung, datang ngantuk, datang ke­sangsian hati (waswas), menguap, menggaruk, berpaling muka dan bermain‑main dengan sesuatu". Dan ditambah oleh setengah mere­ka: "Lupa dan ragu ". Berkata setengah salaf "4 perkara di dalam shalat termasuk bahagian tiada disukai berpaling muka, menyapu muka, merata­kan batu tempat shalat dan engkau mengerjakan shalat pada jalan orang yang melalui dihadapan engkau". Dan juga dilarang didalam shalat menjerejakkan/membunyikan anak‑anak jari atau memukulkan anak‑anak jari supaya berbunyi atau menutup muka atau meletakkan salah satu daripada kedua tapak tangan ke atas tapak tangan yang satu lagi dan memasukkan kedua tapak tangan itu diantara kedua paha pada ruku'. Berkata setengah shahabat ra: "Adalah kami berbuat demikian, maka dilarang kami daripadanya". Dan dimakruhkan juga menghembus ke lantai ketika sujud untuk membersihkan lantai itu. Dan dimakruhkan juga meratakan batu dengan tangan, karena segala perbuatan tersebut tadi tidak diper­lukan. Dan tidak diangkatkan salah satu dari kedua tapak kaki, lalu dile­takkan ke atas paha. Dan tidak bersandar ke dinding waktu berdiri. Kalau bersandar sehingga jikalau dinding itu ditarik, niscaya ia jatuh, maka pendapat yang lebih kuat batal (tidak syah) shalatnya. Wallaahu allam ‑ Allah yang Maha Tahu. MEMBEDAKAN FARDLU DAN SUNAT. Sejumlah apa yang telah kami sebutkan itu, melengkapi kepada fardlu, sunat, adab dan cara dari hal‑ihwal yang sewajarnya dipe­lihara seluruhnya oleh seorang murid yang menuju jalan akhirat. Maka yang fardlu, berjumlah 12 perkara: niat, takbir, berdiri betul, al‑fatihah, membungkuk pada ruku, sehingga kedua tapak tangannya sampai kepada kedua lututnya, serta thumaninah, i'tidal dari ruku' di dalam keadaan berdiri betul, sujud serta thumaninah dan tiada wajib meletakkan dua tangan, itidal dari sujud dengan duduk betul, duduk untuk tasyahhud akhir, membaca tasyahhud akhir, selawat kepada Nabi saw padanya dan salam pertama. Adapun niat keluar dari shalat, maka tiada wajib. Selain dari yang 12 itu, tiada wajib, tetapi adalah sunat dan menjadi hai‑ah (cara) pada melakukan yang sunat itu dan pada melakukan yang fardlu. Adapun sunat, maka yang termasuk bahagian perbuatan adalah 4: mengangkat kedua tangan pada takbiratul‑ihram, pada ketika turun kepada ruku, pada ketika bangun kepada berdiri dan duduk untuk tasyahhud pertama. Adapun apa yang kami sebutkan, mengenai cara membuka anak-­anak jari dan batas mengangkatkannya, maka itu adalah cara ( sunat hai‑ah) yang mengikuti sunat di atas tadi. Mengenai tawarruk (duduk dengan punggung ke lantai pada duduk tasyahhud akhir) dan iftirasy (duduk di atas tumit kaki kiri pada duduk tasyahhud pertama dan lainnya) adalah hai‑ah yang mengi­kuti bagi duduk itu. Menundukkan kepala, dan meninggalkan berpaling muka adalah hai‑ah bagi berdiri betul. Membaguskan bentuk dan duduk istirahat, tidaklah terhitung sebahagian daripada pokok‑pokok sunat di da­lam perbuatan shalat. Karena dia adalah sebagai pembaikan bagi cara (hai‑ah) bangun dari sujud kepada, berdiri betul. Dan tidaklah dimaksudkan untuk istirahat itu sendiri. Dari itu tidak kami asing­kan menerangkannya. Adapun yang sunat dari bacaan‑bacaan (adz‑kar), maka yaitu: do'a iftitah, kemudian membaca Auuzu billah (ta'awwudz), ke­mudian membaca aamin, maka itu adalah sunat Muakkadah (sunat yang lebih dikuatkan dari sunat lainnya), kemudian membaca surat Alquran, kemudian takbir‑takbir intiqalat (takbir yang dibacakan waktu berpindah dari rukun ke rukun), kemudian dzikir (pemba­caan tasbih) pada ruku', sujud dan i'tidal dari keduanya, kemudian tasyahhud pertama dan selawat padanya kepada Nabi saw, kemudian doa pada penghabisan tasyahhud akhir, kemudian salam kedua. Walaupun semuanya yang di atas tadi, kami kumpulkan di dalam nama sunat, tetapi mempunyai derajat yang berlebih‑kurang. Kare­na empat daripadanya ditempel dengan sujud sahwi (sujud karena lupa) kalau terlupa mengerjakannya. Adapun yang sunat dari perbuatan shalat, maka adalah satu. Yaitu duduk pertama pada tasyahhud pertama. Maka duduk pertama ini, adalah membekaskan pada tata‑tertib susunan shalat pada pengli­hatan orang yang melihatnya. Karena dengan duduk pertama itu, dikenal apakah shalat itu termasuk 4 raka'at atau tidak. Lain haInya dengan mengangkat dua tangan. Maka tidaklah membekas­kan pada perobahan susunan shalat. Dari itu, disebut sunat yang menjadi sebahagian dari shalat (sunat ab‑'adl). Dan dikatakan, sunat ab‑'adl itu ditempel dengan sujud sahwi apabila terlupa mengerjakannya. Adapun sunat bacaan‑bacaan (adz‑kaar) itu, maka seluruhnya tidak berkehendak kepada sujud sahwi, selain 3: qunut, tasyahhud pertama dan selawat kepada Nabi saw, padanya. Lain halnya dengan takbir intiqalat, dzikir pada ruku', pada sujud dan pada i'tidal daripada keduanya. Karena ruku' dan sujud di dalam bentuknya, sudah menyalahi daripada kebiasaan. Dari itu tercapai maksud ibadah dengan ruku'dan sujud itu, walaupun berdiam diri daripada membaca dzikir dan bertakbir intiqalat. Maka tidak adanya dzikir-­dzikir itu, tidaklah merobah bentuk ibadah. Adapun duduk bagi tasyahhud pertama, maka adalah perbuatan biasa. Dan duduk ini tidak ditambahkan melainkan karena memba­ca tasyahhud. Dari itu, meninggalkan duduk tasyahhud ini, terang benar membekasnya. Adapun doa iftitah dan membaca surat, maka meninggalkannya tiadalah membawa pengaruh apa‑apa, di mana berdiri itu sudah terbentuk dengan membacakan al‑fatihah. Dan sudah dapat dibeda­kan dari berdiri biasa, dengan al‑fatihah itu. Begitu pula doa pada tasyahhud akhir dan qunut, adalah amat jauh daripada ditempel dengan sujud. Tetapi disuruh melamakan Itidal pada shalat Shubuh karena qunut itu. Maka adalah melamakan Itidal tadi seperti melamakan duduk istirahat. Karena duduk istirahat itu dengan melamakannya serta membaca tasyahhud, menjadi duduk tasyahhud pertama. Maka tinggallah ini menjadi berdiri yang dilamakan, yang biasa, di mana tak ada padanya dzikir wajib. Tentang melamakan berdiri itu adalah menjaga dari bukan shalat Shubuh. Dan tentang kosongnya dari dzikir wajib, adalah menjaga dari pokok berdiri didalam shalat. Kalau anda bertanya bahwa: membedakan sunat daripada fardlu, adalah dapat dipahami. Karena hilangnya syah shalat dengan hi­langnya fardlu. Tidak dengan hilangnya sunat. Dan dihadapkan kepada siksaan dengan tidak adanya fardlu, bukan dengan tidak adanya sunat. Adapun membedakan sunat dari sunat dan semuanya disuruh atas jalan sunat dan tak ada siksaan dengan meninggalkan segala yang sunat itu. Dan pahala itu ada dengan mengerjakan se­muanya. Maka apakah artinya itu?. Maka ketahuilah bahwa berserikatnya fardlu dan sunat pada pahala, siksa dan disukai, tidaklah menghilangkan adanya berlebih‑kurang pada keduanya. Marilah kami terangkan kepada anda yang demiki­an itu dengan, contoh. Yaitu: bahwa manusia tidaklah bernama manusia, yang ada, lagi sempurna, melainkan dengan pengertian bathin dan anggota zhahir. Pengertian bathin ialah: hidup dan roh. Dan zhahir ialah segala anggota tubuhnya. Kemudian, sebagian daripada anggota tubuh itu, adalah manusia menjadi tidak ada dengan tidak adanya seperti: hati, jantung, otak dan semua anggota yang hilang hidup dengan hilangnya. Dan sebahagian, tidaklah hilang hidup dengan hilangnya, tetapi maksud hidup yang hilang Seperti: mata, tangan, kaki dan lidah. Dan sebahagian, tidaklah hilang hidup dan maksudnya, tetapi yang hilang ialah kebagusan, seperti: dua alis mata, janggut, bulu mata dan kebagusan warna kulit. Dan sebahagian lagi, tidaklah hilang sebab kecantikan dengan tidak adanya, tetapi yang hilang ialah kesempurnaan kecantikan seperti: melengkung dua alis mata, hitam bulu janggut dan bulu mata, bersesuaian bentuk anggota dan bercampur merah dengan putih pada warna kulit. Maka ini semua­nya adalah bertingkat‑tingkat, yang berlebih‑kurang. Maka seperti itu pulalah ibadah mempunyai bentuk yang dibentuk oleh Syara' dan kita berbuat ibadah dengan mengusahakan bentuk itu. Maka nyawa dan hidup bathinnya ialah: khusyu' ' niat, hadir hati dan ikitlas, sebagaimana akan diterangkan nanti. Dan sekarang kami terangkan bahagian‑bahagian zhahirnya. Maka ruku, sujud, berdiri dan rukun‑rukun lainnya daripada shalat adalah merupakan hati, kepala dan jantung. Karena tidak adalah wujud shalat dengan tidak adanya yang tersebut tadi. Dan segala sunat yang telah kami sebutkan, dari mengangkatkan kedua tangan, do'a iftitah dan tasyahhud pertama daripada shalat adalah merupakan dua tangan, dua mata dan dua kaki. Dan tidak­lah hilang syahnya shalat dengan tidak adanya sunat‑sunat itu, sebagaimana tidak hilangnya hidup dengan hilangnya anggota‑ang­gota tadi. Tetapi jadilah orang dengan sebab hilangnya, mempero­leh cacat, dicela dan tidak disukai. Maka seperti itu pulalah orang yang menyingkatkan kepada yang sedikit dari yang mencukupi daripada shalat, adalah seperti orang yang mempersembahkan kepada Maharaja, seorang budak yang hidup tetapi tidak bertangan dan berkaki. Adapun hai‑ah, yaitu yang bertingkat di belakang sunat. Maka ada­lah merupakan sesuatu yang membawa kepada kecantikan, seperti dua alis mata, janggut, bulu mata dan kecantikan warna kulit. Adapun tugas dzikir pada sunat‑sunat itu, adalah menyempurnakan kecantikan seperti: melengkungnya dua alis mata, membulatnya janggut dan lainnya. Maka shalat pada ketika itu, adalah merupakan pendekatan dan persembahan kehadirat Raja‑Diraja, seperti persembahan yang dipersembahkan oleh orang yang mencari kedekatan diri, kepada sultan‑sultan. Persembahan itu dipersembahkan kepada Allah 'Azza wa Jalla, kemudian dikembalikan kepada kita pada hari pertemuan akbar. Maka terserahlah kepada kita, untuk membaguskan bentuknya atau menjelekkannya. Kalau kita baguskan, maka adalah untuk kita sendiri dan kalau kita jelekkan, maka adalah di atas kita sendiri. Dan tidaklah layak anda mengambil bahagian daripada mempela­jari fiqih, untuk membedakan diantara yang fardlu dan yang sunat. Lalu tiada yang melekat pada paham anda tentang ciri‑ciri sunat itu selain daripada boleh meninggalkannya, lalu anda tinggalkan. Karena yang demikian itu, serupalah dengan kata dokter bahwa kerusakan mata tidaklah melenyapkan adanya manusia. Tetapi kerusakan mata itu menolak dibenarkan untuk diterima oleh sultan, apabila datang kepadanya membawa hadiah yang akan dipersembahkan. Maka begitulah hendaknya dipahami tingkat‑tingkat sunat, hai‑ah dan adab. Sehingga tiap‑tiap shalat yang tidak disempurnakan ruku' dan sujudnya, menjadi musuh pertama kepada yang empunya shalat itu di mana shalat mengatakan: "Disia‑siakan oleh Allah kiranya engkau, sebagaimana engkau telah menyia‑nyiakan aku". Maka perhatikanlah benar‑benar, segala hadits yang telah kami bentangkan mengenai kesempurnaan rukun‑rukun shalat, supaya jelaslah bagimu keadaan yang sebenarnya BAB KETIGA: Mengenai syarat‑syarat bathiniyah dari pada amal perbuatan hati. Hendak kami sebutkan pada Bab ini, hubungan shalat dengan khusyu' dan kehadiran hati. Kemudian kami sebutkan segala pe­ngertian bathin, batas‑batasnya, sebab‑sebabnya dan obatnya. Ke­mudian hendak kami sebutkan perincian apa yang sewajarnya harus timbul pada tiap‑tiap rukun dari rukun‑rukun shalat. Supaya patut untuk perbekalan akhirat. Penjelasan: pensyaratan khusyu' dan kehadiran hati: Ketahuilah kiranya bahwa dalil‑dalil yang demikian itu banyak. Diantaranya firman Allah Ta’ala: “Dirikanlah. shalat untuk mengingati AKU“ S 20 Thaahaa ayat 14. Yang jelas dari perintah (amr) ialah wajib. Dan lengah itu berla­wanan dengan mengingati. Orang yang lengah (lalai) dalam keselu­ruhan shalatnya, bagaimanakah ia mendirikan shalat untuk mengi­ngati Tuhan? Dan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah engkau termasuk orang‑orang lengah". S 7 Al raaf ayat 205 adalah suatu larangan, dan dhahiriyahnya menunjukkan kepada pengharaman. Dan firman Allah 'A zza wa Jalla: "Sampai kamu mengeahui apa yang kamu katakan" S 4 An‑Nisa ayat 43. adalah alasan bagi larangan meminum minuman yang memabukkan. Dan memabukkan itu sering terjadi pada orang yang alpa, yang karam dengan kesangsian dan pikiran‑pikiran duniawi. Dan Sabda Nabi saw: "Sesungguh nya shalat itu ialah ketetapan dan kerendah­an hati", adalah pembatasan dengan adanya alif dan lam pada kata‑kata shalaatu itu (yang berarti adanya shalat itu, terbatas dengan adanya ketetapan dan kerendahan hati). Dan kata‑kata innamaa (sesung­guhnya), berarti: penegasan dan penguatan. Dan dipahami oleh para ahli fiqih dari sabda Nabi saw: "Sesungguhnya syufah ialah pada benda yang tiada dapat dibagikan". adalah itu pembatas­an, itsbat (positif) dan nafi (negatif). Dan sabda Nabi saw: "Barangsiapa tidak dicegahkan oleh shalat­nya dari perbuatan yang keji dan mungkar, maka tidaklah ia ber­tambah dekat, kepada Allah melainkan bertambah jauh" . Dan shalat orang yang Ialai itu, tidaklah mencegah daripada kekeji­an dan kemungkaran. Bersabda Nabi saw: "Berapa banyak orang yang menegakan shalat, memper­oleh letih dan payah saja daripada shalat ". Dan tidaklah dimaksudkan oleh Nabi saw dengan ucapannya itu, melainkan orang yang alpa. Bersabda saw: “Tiadalah bagi hamba daripada shalatnya, melainkan yang ada akal pikirannya pada shalat itu". Dan yang diyakini bahwa orang yang mengerjakan shalat itu adalah bermunajah dengan Tuhannya 'Azza wa Jalla, sebagaimana yang tersebut pada hadits. Dan berkata‑kata dengan alpa, tidaklah sekali-kali dapat dinamakan munajah. Jelasnya, bahwa zakat kalau alpalah manusia daripadanya umpamanya, maka zakat itu sendiri adalah menyalahi bagi hawa‑nafsu dan berat atas diri seseorang. Demikian juga puasa, yang memaksakan bagi kekuatan, menghancurkan kekuasaan hawa‑nafsu yang menjadi alat bagi setan musuh Allah. Maka tiadalah jauh bahwa berhasil maksud daripada zakat itu serta alpa. Begitu pula hajji, segala amal perbuatannya adalah sulit dan berat. Di dalamnya dari mujahadah, diperoleh kesakitan, adakah hati itu hadir beserta segala perbuatannya atau tidak? Adapun shalat, maka tak ada padanya selain daripada dzikir, baca­an, ruku', sujud, berdiri dan duduk. Adapun dzikir adalah bercakap‑cakap dan bermunajah serta Allah Ta’ala. Maksud daripadanya, adakalanya berhadapan dan bercakap­-cakap. Atau dimaksudkan daripadanya huruf‑huruf dan suara‑suara, sebagaimana ujian bagi lisan dengan amal perbuatan. Sebagaimana diuji perut dan kemaluan dengan menahan (imsak) pada puasa. Dan sebagaimana diuji tubuh dengan segala kesulitan waktu mengerja­kan hajji. Dan diuji hati dengan kesulitan mengeluarkan zakat dan melepaskan harta yang dirindukan. Dan tak ragu lagi bahwa bahagian ini batal. Sesungguhnya mengge­rakkan lisan dengan kelengahan, alangkah ringannya kepada orang yang alpa. Sebab, tak ada padanya ujian dari segi perbuatan. Tetapi yang dimaksudkan ialah huruf‑huruf dari segi ia diucapkan. Dan tidaklah itu dinamakan ucapan, kecuali apabila melahirkan apa yang terkandung di dalam hati (dlamir). Dan tidak ada itu dilahir­kan, kecuali dengan kehadiran hati. Maka apakah artinya: "Ihdinash shiraathal mustaqiim" (Tunjukilah aku jalan yang lurus), apabila hati itu alpa? Apabila tidak dimaksudkan untuk merendah­kan diri dan berdo'a? Maka manakah kesulitan pada menggerakkan lisan untuk membacanya serta alpa itu? Apa lagi kalau sudah dibi­asakan!. Demikian, mengenai dzikir‑dzikir itu. Bahkan aku mengatakan, jikalau bersumpahlah seseorang dengan mengatakan: "Demi Allah, aku akan mengucapkan terima kasih kepada si Anu, aku puji dia dan aku mintakan sesuatu keperluan padanya". Kemudian berlaku­lah kata‑kata yang menunjukkan kepada maksud‑maksud itu, dengan lidahnya waktu ia sedang tidur, maka tidaklah ia terkena dengan sumpah itu. Dan jikalau berlaku kata‑kata itu dengan lidah­nya di dalam gelap dan si Anu itu hadir di situ, sedang ia tidak mengetahuinya dan tidak melihatnya, maka tidaklah ia terkena dengan sumpahnya. Karena tidaklah kata‑katanya itu ditujukan dan dituturkan kepada si Anu, selama dia itu tidak hadir di dalam hati‑nya. Jikalau kata‑kata itu keluar pada lidahnya dan si Anu itu hadir, pada siang hari, di mana yang mengucapkan itu sedang alpa, karam di dalam kerusuhan, dengan beraneka macam pikiran dan tak ada maksudnya menghadapkan kata‑kata tadi kepada si Anu itu ketika mengucapkannya, niscaya tidaklah ia terkena pada sumpahnya itu. Dan tidak syak lagi bahwa yang dimaksud daripada pembacaan dan dzikir‑dzikir itu ialah: pujian, sanjungan, tadlarru' (merendahkan diri) dan doa. Dan yang dihadapi dengan pembicaraan itu ialah Allah 'Azza wa jalla. Dan hati orang itu dengan hijab kealpaan, adalah terhijab daripada Allah Ta’ala, tiada melihat dan tiada menyaksikan ALLAH, bahkan ia alpa daripada Yang Ditujukan itu. Lidahnya bergerak adalah disebabkan kebiasaan saja. Maka alangkah jauhnya ini daripada yang, dimaksudkan dengan shalat yang disuruh oleh Agama untuk mengasah hati, membarukan ingatan kepada Allah Ta’ala dan meneguhkan ikatan iman kepada ALLAH. Inilah hukum bacaan dan dzikir!. Kesimpulamya, maka inti ini tiada jalan untuk menentangnya pada pembacaan dan membedakannya daripada perbuatan. Adapun ruku' dan sujud, maka yang dimaksudkan dengan kedua­nya itu, ialah mengagungkan semata‑mata. Jikkalau bolehlah meng­agungkan Allah 'Azza wa Jalla dengan perbuatan, sedang ia alpa daripada ALLAH, maka boleh pulalah ia mengagungkan Patung Yang terletak dihadapannya, sedang ia alpa daripadanya. Atau menga­gungkan dinding tembok yang ada dihadapannya, sedang ia alpa daripadanya. Dan apabila keluar daripada adanya pengagungan itu, maka tidaklah tinggal, selain daripada semata‑mata gerakan pung­gung dan kepala. Dan tak ada padanya kesukaran yang dimaksud­kan oleh ujian padanya. Kemudian dijadikan semua itu tiang agama dan pemisah diantara kufur dan Islam. Dan didahulukannya dari hajji dan ibadah‑ibadah lain dan diwajibkan bunuh dengan sebab meninggalkannya pada khususnya. Dan aku tidak melihat bahwa kebesaran yang demikian agung seluruhnya untuk shalat itu, dari segi amal perbuatan dhahiriyahnya, melainkan karena ditambahkan kepadanya maksud munajah itu. Maka yang demikian itulah yang mendahulukannya daripada puasa, zakat, hajji dan lainnya. Bahkan daripada segala pengorbanan dan kurban, yang menjadi mujahadah dengan hawa nafau dengan pengurangan harta. Berfirman Allah Ta’ala: "Tidak akan sampai daging dan darahnya itu kepada Tuhan, hanya yang sampai kepada Tuhan ialah taqwa (kepatuhan menjalankan kewajiban) dari kamu". S 22 Al‑Hajj ayat 37 artinya: suatu sifat yang menguasai hati, sehingga membawanya kepada menuruti segala perintah yang dituntut. Maka bagaimana urusannya mengenai shalat itu, apakah tiada tuju­an pada segala amal perbuatannya? Inilah yang menunjukkan tentang arti disyaratkan kehadiran hati itu! Kalau anda mengatakan, bahwa jika kita tetapkan dengan batal shalat dan kita jadikan kehadiran hati itu menjadi syarat pada shah shalat, niscaya kita telah menyalahi ijma' ulama fiqih. Karena me­reka itu tiada mensyaratkan kehadiran hati, selain ketika takbira­tul‑ihram. Maka ketahuilah kiranya bahwa telah diterangkan pada Kitab ilmu dahulu, bahwa ulama‑ulama fiqih itu tiada mengurus mengenai bathin dan tiada membuka persoalan hati dan jalan akhirat. Tetapi mereka membangun yang dhahir dari hukum‑hukum Agama, pada yang dhahir dari perbuatan‑perbuatan anggota badan. Dan perbu­atan‑perbuatan dhahir itu, adalah mencukupi untuk tidak dihukum bunuh dan tidak disiksa oleh sultan (penguasa). Adapun tentang bermanfa'atnya di akhirat, maka ini tidaklah ter­masuk dalam perbatasan ilmu fiqih, sehingga tidak memungkinkan untuk didakwakan ijma'. Telah dinukilkan dari Bisyr bin Al‑Harits, menurut yang diriwayatkan Abu Thalib AI‑Makki dari Sufyan Ats­Tsuri, bahwa Sufyan Ats‑Tsuri berkata: "Siapa yang tiada khusyu', maka tidak shah shalatnya". Diriwayatkan dari Al Hasan, bahwa Al Hasan berkata: "Tiap‑tiap shalat yang tidak hadir padanya hati, maka shalat itu lebih mence­patkan kepada siksaan". Diriwayatkan dari Ma'az bin Jabal: “Barangsiapa mengenal orang di kanannya dan di kirinya dengan sengaja, sedang ia di dalam sha­lat, maka tak ada shalat baginya". Dan diriwayatkan pula oleh Ma'az suatu hadits musnad, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Bahwa hamba untuk mengerjakan shalat, tidaklah ditu­liskan baginya 1/6 dari shalat itu dan tidak 1/10 nya. Hanya dituliskan bagi hamba itu daripada shalatnya, apa yang di pergunakan, akalnya daripadanya". Dan Ini kalau dinukilkan dari orang lain, tentu telah dijadikan madzhab. Maka bagaimanakah tidak menjadi perpegangan? Berkata Abdul‑Wahid bin Zaid: "Telah Ijma’ (sepakat) para ulama, bahwa tiada bagi hamba daripada shalatnya, selain apa yang diper­gunakannya akal padanya. Lalu pendapat itu dijadikan ijma". Apa yang dinukilkan dari sejenis ini, daripada para ulama fuqaha yang wara' dan para ulama akhirat, adalah lebih banyak daripada dapat dihinggakan. Yang benar, ialah kembali kepada dalil-dalil syari'at, hadits dan atsar yang jelas mengenai syarat ini. Tetapi kedudukan fatwa mengenai taklif yang dhahir itu, diukur menurut ukuran kesanggupan manusia. Maka tidak mungkin disyaratkan kepada orang banyak, untuk menghadirkan hatinya di dalam keseluruhan shalat. Karena yang demikian itu, adalah seluruh manusia lemah daripadanya, kecuali jumlah yang sedikit. Apabila tidak mungkin disyaratkan meratanya kehadiran hati itu, karena kesulitan tersebut, maka tiada jalan keluar selain daripada disyaratkan sekedar nama kehadiran hati itu, walaupun pada masa sekejap saja. Dan masa sekejap yang paling utama itu, ialah detik takbiratul‑ihram. Dari itu, kita singkatkan taklif (dimestikan) de­ngan yang demikian. Dalam pada itu, kita mengharap bahwa tidak adalah keadaan orang yang alpa di dalam keseluruhan shalatnya, seperti keadaan orang meninggalkan kehadiran hati itu secara keseluruhan. Karena orang yang alpa itu umumnya, tampil mengerjakannya pada dhahir dan menghadirkan hatinya sekejap mata. Bagaimanakah tidak demikian? Orang yang mengerjakan shalat, serta berhadats (tidak berwudlu), karena lupa, maka shalatnya itu batal pada sisi Allah Ta’ala. Tetapi baginya pahala sekedar perbuatannya, keteledoran dan halangan yang dihadapinya. Dan beserta harapan yang di atas tadi, maka ditakuti keadaan orang yang alpa itu lebih memburuk dari keadaan orang yang meninggalkan kehadiran hati. Bagaimana tidak? Orang yang datang melakukan pengkhidmatan dan berbuat sembrono tiba dihadapan, berkata ‑kata dengan kata‑kata orang alpa, yang hina, adalah lebih buruk keadaannya dari orang yang tidak melakukan pengkhidmat­an sama sekali. Dan apabila berlawananlah diantara sebab takut dan sebab harap dan jadilah hal itu berbahaya pada dirinya, maka terserahlah kepada kita kemudian, memilihnya diantara berhati‑hati dan mempermu­dah‑mudahkan. Dan dalam pada itu, tidak diharapkan menyalahi ulama fiqih, yang berfatwa shahnya shalat serta alpa itu. Karena yang demikian adalah sebahagian daripada yang penting difatwakan, sebagaimana telah diperingatkan dahulu. Siapa yang mengenal kunci rahasia shalat niscaya mengetahui bah­wa kealpaan itu berlawanan dengan shalat. Tetapi telah kami sebut­kan pada "Pada bab Perbedaan antara ilmu Bathin dan ilmu Dhahir", pada Kitab Qaidah‑qaidah 'Aqidah, bahwa kurangnya kesanggupan manusia adalah salah satu sebab yang mencegah daripada penegasan segala apa yang terbuka dari rahasia syariat. Maka kami ringkaskan pembahasan sekedar ini karena mencukupi­lah kiranya bagi murid yang menuntut jalan akhirat. Tetapi bagi orang membangkang yang berniat buruk, maka tiadalah maksud kami menghadapinya sekarang. Pendek kata, bahwa kehadiran hati adalah nyawa shalat. Dan sekurang‑kurangnya yang membuat nyawa itu tidak keluar, ialah hadir­nya hati itu ketika takbiratul‑ihram. Maka kurang dari itu adalah membinasakan. Dan semakin bertambah lagi, maka semakin mengembang nyawa itu di dalam segala bahagian shalat. Berapa banyak orang yang hidup yang tidak dapat bergerak lagi, yang mendekati kepada kematian. Maka shalat orang yang alpa itu, didalam keseluruhannya selain ketika takbir, adalah seumpama orang hidup yang tak ada geraknya lagi. Kita bermohon kepada Allah akan pertolong­an yang baik!. PENJELASAN: pengertian bathin yang menyempurnakan kehidupan shalat. Ketahuilah, bahwa semua pengertian itu, banyaklah kata‑kata yang ditujukan kepadanya. Tetapi dapat dikumpulkan oleh 6 patah kata‑kata, yaitu: kehadiran hati, pemahaman, pengagungan, kehe­batan, harap dan malu. Maka haruslah kami terangkan pengurai- an ­nya, kemudian sebab‑sebabnya, kemudian cara pada mengusaha­kannya. Adapun penguraiannya, maka yang pertama, ialah Kehadiran hati. Kami maksudkan dengan kehadiran hati, ialah bahwa hati itu ko­song dari yang lain, dari apa yang dilaksanakan dan yang dibicara­kannya. Maka adalah pengetahuannya dengan perbuatan dan perkataan itu, menyertai dengan keduanya. Dan tidaklah pikirannya, menerawang kepada yang lain. Manakala pikirannya itu berpaling dari yang bukan apa ia di dalamnya, dan adalah di dalam hatinya ingatan bagi apa yang ia di dalam­nya dan tak ada pada hati itu kealpaan dari keseluruhannya, maka sesungguhnya telah berhasillah kehadiran hati. Tetapi pemahaman arti dari kata‑kata yang dibacakan, adalah suatu hal di balik keha­dliran hati. Kadang‑kadang hati itu hadir bersama kata‑kata dan tidak hadir bersama arti dari kata‑kata itu. Maka melengkapnya hati atas pengetahuan dengan arti dan kata‑kata yang dibacakan, itulah yang kami maksudkan dengan pemahaman. Dan ini, suatu kedudukan yang berlebih‑kurang manusia padanya. Karena tiadalah bersekutu manusia tentang memahami segala arti AI Quran dan tasbih‑tasbih. Berapa banyak pengertian‑pengertian yang halus, yang dipahami oleh orang yang mengerjakan shalat (Mushalli), waktu sedang shalat dan tidak terlintas di hatinya yang demikian sebelumnya. Dari segi inilah, shalat itu adalah pencegah dari perbuatan keji dan Mungkar. Karena shalat memberi pemahaman hal‑hal, sudah pasti mencegah dari perbuatan keji. Adapun pengagungan, yaitu suatu hal, di balik kehadiran hati dan pemahaman. Karena orang yang berbicara dengan budaknya sesuatu pembicaraan, adalah hatinya hadir pada pembicaraan itu dan memahami artinya, sedang ia tidaklah mengagungkan budak itu. Maka pengagungan itu menambahkan kehadiran hati dan pemahaman arti. Adapun kehebatan, maka menambahkan atas pengagungan. Bahkan kehebatan itu adalah ibarat dari ketakutan, yang timbuInya dari rasa pengagungan. Karena orang yang tidak takut, maka tidaklah dinamakan dia orang yang merasa kehebatan. Ketakutan kepada kalajengking dan kejahatan budi seseorang dan sebagainya, dari sebab‑sebab yang mengejikan, tidaklah dinamakan takut kehebatan. Tetapi takut kepada sultan yang diagungkan, itulah yang dinama­kan takut kehebatan. Kehebatan, ialah takut yang sumbemya pengagungan. Adapun harap, maka tak ragu lagi, adalah suatu tambahan. Berapa banyak orang membesarkan seseorang raja; ia takut kepadanya atau takut akan kekuasaannya. Tetapi ia tiada mengharap akan pembalasannya. Dan hamba sewajarnyalah mengharap dengan shalatnya itu, akan pahala daripada Allah 'Azza wa Jalla, sebagaimana ia takut dengan keteledorannya akan siksaan Allah 'Azza wa Jalla. Adapun malu, maka adalah suatu tambahan pada umumnya. Kare­na sandarannya ialah perasaan keteledoran dan sangkaan berdosa. Dan tergambarlah pengagungan, takut dan harap, dengan tanpa malu, di mana tidak ada sangkaan teledor dan berbuat dosa. Adapun sebab‑sebab daripada pengertian yang 6 itu, maka ketahuilah kiranya bahwa kehadiran hati, sebabnya ialah cita‑cita. Hati kita mengikuti cita‑cita kita. Dia tidak hadir, kecuali menge­nai apa yang kita cita‑citakan. Manakala ada sesuatu hal yang men­jadi cita‑cita kita, maka hadirlah hati padanya, dengan kehendak atau tanpa kehendak. Hati itu terpaksa dan tunduk patuh kepada­nya. Apabila hati itu tidak hadir di dalam shalat, bukanlah dia itu menganggur, tetapi menerawang pada cita‑cita yang datang kepada­nya dari hal‑ikhwal duniawi. Dari itu, tiada daya dan cara untuk menghadirkan hati, selain dengan menjuruskan cita‑cita kepada shalat. Dan cita‑citanya itu, tidak menjurus kepadanya, selama belum nyata bahwa maksud yang dicari terpaku padanya. Yang demikian itu ialah iman dan membenarkan bahwa akhirat, adalah lebih baik dan kekal abadi. Dan shalat adalah jalan kepadanya. Apabila ini ditambahkan kepada pengetahuan yang sejati dengan kehinaan dunia dan kepentingannya, niscaya secara keseluruhan, berhasillah kehadiran hati itu di dalam shalat. Dan dengan alasan yang seperti ini, hati anda itu hadir apabila anda berada dihadapan sebahagian pembesar, yang tidak sanggup memberi kemelaratan dan kemanfa'atan kepada anda. Apabila hati itu tidak hadir ketika berMunajah dengan Raja‑Diraja, di mana di dalam tangan ALLAH alam al‑Mulki dan alam al‑malakut, kemanfa'atan dan kemelaratan, maka janganlah kiranya anda me­nyangka ada sesuatu sebab yang lain baginya, selain dari kelemahan iman. Maka bersungguh‑sungguhlah sekarang menguatkan iman itu! Dan caranya akan dibahas secara mendalam, tidak pada tem­pat ini. Adapun pemahaman, maka sebabnya setelah kehadiran hati, ialah ketekunan berpikir dan menjuruskan hati kepada memahami arti. Dan obatnya adalah obat menghadirkan hati, serta menghadapkan kepada pemikiran dan terus‑menerus menolak segala yang terlintas di dalam bathin. Dan obat menolak segala yang terlintas yang mem­bawa kepada kebimbangan bathin ialah memutuskan segala materi­nya. Yakni mencabut diri dari segala sebab yang menarik segala yang terlintas itu kepadanya. Selama materi‑materi itu tidak diputuskan maka selama itu pulalah, segala yang terlintas itu, tidak berpaling daripadanya. Barangsiapa menyukai sesuatu, niscaya banyaklah menyebut‑nye­butnya. Maka menyebut‑nyebutkan yang disukai itu, lalu dengan sendirinya menyerbu ke dalam hati. Dari itu, kita melihat bahwa orang yang mencintai selain Allah Ta’ala, maka tidaklah bersih shalatnya dari lintasan‑lintasan ke dalam bathin. Adapun pengagungan, adalah suatu keadaan bagi hati, yang terjadi daripada dua ma'rifah (pengenalan): Pertama: mengenal kebesaran dan keagungan Allah 'Azza wa Jalla. Dan itu adalah sebagian dari pokok‑pokok iman. Siapa yang tidak mengimani keagungan ALLAH, niscaya jiwanya tidak meyakini akan keagungan ALLAH. Kedua: mengenal kehinaan diri, kerendahan dan keadaannya seba­gai hamba yang mematuhi dan tunduk kepada Tuhannya. Sehingga dari ma'rifah yang dua ini, lahirlah ketenangan, kesepian hati dari dunia dan kekhusyu'an jiwa kepada Allah yang Maha Suci. Lalu dikatakanlah yang demikian itu: pengagungan. Selama tidak ter­jalin ma'rifah kehinaan diri dengan ma'rifah keagungan Ilahi, maka selama itu pulalah tidak teratur keadaan pengagungan dan kekhu­syu'an hati. Orang yang merasa tiada memerlukan kepada orang lain dan merasa aman kepada dirinya sendiri, maka boleh ia mengenal dari orang lain itu akan sifat keagungan. Dan tidaklah kekhusyu'an hati dan mengagungkan orang itu menjadi perilakunya, karena faktor yang lain yaitu mengenal kehinaan diri dan memerlukan diri kepada orang itu tidak ada padanya. Adapun kehebatan dan ketakutan, maka adalah keadaan bagi diri, yang terjadi dari mengenal kekuasaan Allah, keperkasaan dan ke­tembusan kehendak ALLAH, serta kurang perhatian kepada ALLAH. Dan kalaulah Ia membinasakan segala orang yang terdahulu dan yang terkemudian, niscaya tidaklah berkurang dari kerajaan ALLAH sebesar biji sawipun. Hal ini, disamping membaca segala peristiwa yang berlaku pada nabi‑nabi dan wali‑wali, dari bermacam‑macam musi­bah dan malapetaka, serta berkuasa Ia menolak, sebaliknya dari­pada apa yang tampak pada raja‑raja dunia. Kesimpulannya, semakin bertambah ilmu dengan Allah, maka semakin bertambah ketakutan dan kehebatan kepada ALLAH. Dan akan datang nanti, penjelasan sebab‑sebab yang demikian, pada “Kitab Takut“, dari “Rubu’ Yang Melepaskan”. Adapun harap, maka sebabnya ialah karena mengenal kelemah-­lembutan Allah 'Azza wa Jalla, keMurahan ALLAH, kemerataan nik­mat ALLAH, kehalusan perbuatan ALLAH dan mengenal kebenaran ALLAH pada janji ALLAH akan sorga dengan shalat. Apabila berhasillah keyakinan dengan janji ALLAH dan ma'rifah de­ngan kelemah‑lembutan ALLAH, niscaya dari keseluruhannya itu, pastilah membangkitkan pengharapan. Adapun malu, maka adalah dengan perasaan keteledoran di dalam ibadah dan mengetahui dengan kelemahan menegakkan keagungan Allah 'Azza wa Jalla. Dan malu itu kuat dengan pengetahuan kekurangan diri, bahaya hawa nafsu, kurang keikhlasan, kotor kebathinan dan condong kepada kebahagiaan yang segera (dunia) di dalam segala amal perbuatannya. Serta mengetahui dengan keagungan, yang dikehendaki oleh kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla dan mengetahui bahwa Ia melihat kepada rahasia dan segala getaran hati, meskipun halus dan tersembunyi. Segala pengetahuan ini, apabila mendatang kan keyakinan, niscaya membangkitlah dengan sendirinya dari hati itu suatu keadaan yang dinamakan malu. Inilah sebab‑sebab dari sifat‑sifat itu. Tiap‑tiap apa yang dicari supaya berhasil, maka obatnya ialah: mendatangkan sebab adanya. Di dalam mengenal sebab itu, dapatlah mengenal obatnya. Dan pengikat segala sebab itu ialah iman dan yakin. Yakni: segala ma’rifah ini yang telah kami sebutkan. Arti adanya yakin, ialah tiada ragu dan ma'rifah itu berkuasa pada hati, sebagaimana telah diterangkan pada “Penjelasan Tentang Yakin”, dari Kitab Ilmu. Menurut kadarnya yakin, khusyu'lah hati. Dari itu berkatalah 'Aisyah: "Adalah Rasulullah saw bercakap‑cakap dengan kami dan kami pun bercakap‑cakap dengan beliau. Maka apabila datang­lah shalat, lalu seakan‑akan beliau tiada mengenal kami dan kami pun tiada mengenal beliau". Diriwayatkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as: "Wahai Musa! Apabila engkau menyebut­kan (berdzikir) akan AKU, maka sebutkanlah akan AKU, di mana seluruh anggota tubuhmu bergerak. Dan adalah engkau ketika berdzikir kepadKU itu khusyu' dan tenang. Apabila engkau me­nyebutkan akan AKU, maka jadikanlah lidahmu di belakang hatimu! Dan apabila engkau berdiri dihadapanKU, maka berdirilah sebagaimana berdirinya seorang hamba yang hina! BerMunajahlah dengan AKU, dengan hati yang gemetar dan lidah yang benar!”. Diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as: "Katakanlah (Musa) kepada ummatMU yang durhaka, agar mereka tiada menyebutkan akan AKU! Karena AKU telah berjanji kepada diriKU sendiri, bahwa siapa yang berdzikir kepada AKU, maka AKU ingat kepadanya. Maka apabila orang‑orang yang durha­ka itu menyebutkan AKU, maka AKU sebutkan mereka dengan kutukan (Ia’nat)". Ini, adalah mengenai pendurhaka yang tidak alpa mengingati ALLAH. Maka bagaimanakah pula, apabila berkumpul kealpaan dan kedur­hakaan?. Dan dengan berbagai macam pengertian yang telah kami sebutkan mengenai hati itu, terbagilah manusia kepada: orang yang alpa yang menyempurnakan shalatnya dan tidak hadir hatinya sekejap pun di dalam shalat, dan orang yang menyempurnakan dan tidak hilang kehadiran hatinya sekejappun. Bahkan kadang‑kadang selu­ruh perhatiannya kepada shalat, di mana ia tiada merasa apa yang berlaku dihadapannya. Karena itulah, Muslim bin Yassar, tiada merasa dengan jatuhnya tiang dalam masjid, di mana orang banyak sudah berkerumun kepadanya. Setengah mereka, menghadiri shalat jama'ah pada suatu ketika dan sekali‑kali tiada mengenal, siapa yang dikanannya dan yang dikirinya. Dan bunyi detakan jantung Ibrahim as adalah terdengar sampai 2 mil jaraknya. Dan suatu golongan ketika shalat itu pucat mukanya dan kembang‑kempis perutnya. Semuanya itu, tiadalah jauh daripada dapat dipahami. Karena berlipat gandanya yang demikian, dapat dipersaksikan pada cita-­cita penduduk dunia dan ketakutan raja‑raja dunia serta kelemahan dan kedla'ifan raja‑raja itu. Dan memburuknya nasib yang diper­oleh daripada raja‑raja itu. Sehingga jikalau masuklah seseorang kepada raja atau menteri (wazir) dan membicarakan kepentingan­nya, kemudian keluar, lalu ditanyakan tentang orang di keliling raja atau tentang kain yang dipakai oleh raja, maka tiadalah sanggup ia menceriterakannya. Karena seluruh perhatiannya kepada raja, tidak kepada kain dan orang yang di kelilingnya. Masing‑masing orang mempunyai tingkatan daripada apa yang dikerjakannya. Maka keuntungan masing‑masing, daripada shalatnya, ialah menurut takut, khusyu' dan pengagungannya akan Allah. Sesungguhnya tempat perhatian Allah akan hamba ALLAH ialah hati, bukan gerakan dhahir. Dari itu, berkatalah setengah shahabat ra: “Dikumpulkan manusia pada hari qiamat, menurut keadaan mereka di dalam shalat, dari thumaninah, ketenangan, dari adanya perasaan nikmat dan lezat dengan shalat. Sesungguhnya, benarlah perkataan itu, karena manusia itu seluruh­nya dikumpulkan atas apa, ia mati. Dan ia mati atas apa ia hidup. Yang diperhatikan pada yang demikian itu ialah keadaan hatinya, tidak keadaan dirinya. Maka dari sifat hati, tertuang bentuk pada hari akhirat. Dan tidaklah terlepas, selain orang yang datang kepada Allah dengan hati yang sejahtera. Kita bermohon kepada Allah akan kebaikan taufiq dengan kasih ­sayang dan kemurahanNya!. PENJELASAN: Obat yang bermanfaat pada kehadiran hati. Ketahuilah! Bahwa orang mu'min tak boleh tidak, mengagungkan Allah 'Azza wa Jalla, takut kepada ALLAH, mengharap daripada ALLAH dan malu karena keteledorannya. Maka tidaklah terIepas seorang mu'min itu dari hal‑ikhwal yang tersebut tadi sesudah keimanannya, walaupun kekuatan hal‑ikhwal tadi, adalah menurut kekuatan keyakinannya. Terlepasnya, dari keadaan yang tersebut di dalam shalat, tiada sebabnya, selain dari­pada bercerai‑berai pemikiran, bersimpang‑siur yang terlintas pada hati, lenyap jiwa daripada munajah dan alpa daripada shalat. Dan tidaklah yang melengahkan dari shalat, selain lintasan‑lintasan yang mendatang dan yang membimbangkan. Maka obat untuk menghadirkan hati itu, ialah menolak segala lintasan yang terlintas di dalam hati. Dan sesuatu itu tidak dapat ditolak, selain dengan menolak sebabnya. Maka hendaklah diketa­hui sebabnya. Dan sebab kedatangan lintasan‑lintasan itu, adakala­nya, ia sesuatu yang datang dari luar atau sesuatu yang berada di dalam (bathiniyah). Adapun yang dari luar, ialah sesuatu yang mengetok pendengaran atau yang nyata pada penglihatan. Kadang‑kadang yang demikian itu, mempengaruhi cita‑cita, sehingga diturutinya dan ia bertindak padanya. Kemudian tertariklah pemikiran daripadanya kepada yang lain dan lalu tali‑bertalilah. Memandang itu adalah menjadi sebab untuk berpikir. Kemudian, sebahagian pemikiran itu menjadi sebab bagi pemikiran yang lain. Siapa yang kuat niatnya dan tinggi cita‑citanya, niscaya tidaklah dapat diganggu oleh apa yang berlaku atas panca indranya. Tetapi orang yang lemah ‑sudah pasti‑ membawa kepada bercera-berai pemikirannya. Dan obatnya, ialah memutuskan segala sebab itu, dengan memincingkan matanya atau mengerjakan shalat dalam rumah yang gelap atau tidak membiarkan dihadapannya sesuatu yang mengganggu pancaindranya dan mendekatkan diri kepada dinding ketika shalat, sehingga tiadalah luas jarak pemandangannya. Dan menjaga daripada melakukan shalat di tepi jalan, pada tempat-­tempat yang penuh dengan ukiran kesenian dan pada tikar yang dicelup dengan warna yang menarik. Dari itu, adalah orang‑orang yang rajin beribadah, melakukan iba­dahnya pada rumah kecil yang gelap. Luasnya sekedar dapat bersujud, supaya yang demikian itu, dapat mengumpulkan segala cita‑citanya. Orang‑orang kuat daripada mereka, datang ke masjid dan menutup­kan mata. Dan tidak melampaui pandangannya daripada tempat sujud. Mereka melihat bahwa kesempurnaan shalat adalah dengan tiada mengenal orang yang di kanan dan yang di kirinya. Adalah Ibnu Umar ra tiada membiarkan pada tempat shalatnya mashhaf. Ia tiada membiarkan pedang, melainkan dicabutkannya dan tulisan melainkan dihapuskannya. Adapun sebab‑sebab, bathiniyah, maka adalah lebih sulit lagi. Kare­na siapa yang bercabang ingatannya pada lembah‑lembah dunia, niscaya tiadalah terkungkung pemikirannya pada suatu persoalan. Tetapi senantiasalah terbang melayang dari sudut ke sudut. Dan pemicingan mata, tiadalah memadai baginya. Karena apa yang telah jatuh ke dalam lubuk hatinya tadi, telah cukup untuk membim­bangkannya. Dari itu, jalannya ialah menarik diri secara paksa, kepada mema­hami apa yang dibacakan di dalam shalat dan memberikan perhati­an kepadanya, tidak kepada yang lain. Dan dapat menolongnya untuk yang demikian, dengan mengadakan persiapan sebelurn ber­takbiratul‑ihram, dengan memperbaharukan ke dalam jiwanya ingatan kepada akhirat, tempat tegak munajah, berbahayanya tempat berdiri dihadapan Allah Ta’ala dan huru‑haranya pemandangan. Dan menyelesaikan hatinya sebelum bertakbir untuk shalat daripada apa saja yang mempengaruhinya. Sehingga tiada lagi tempat di dalam jiwanya untuk sesuatu urusan yang berpaling kepada­nya lintasan bathinnya. Bersabda Rasulullah saw kepada Usman bin Abi Syaibah: "Aku lupa mengatakan kepadamu, supaya engkau me­nyembunyikan periuk yang ada di rumah. Maka sesungguhnya tiada wajar, ada di rumah sesuatu, yang mengganggu manusia dari shalatnya”. Inilah jalan menenteramkan pikiran. Kalau tiada juga menenteram­kan pikiran dengan obat yang menenteramkan, maka tiadalah yang melepaskannya, melainkan obat cuci perut yang mengeluarkan ben­da penyakit dari urat yang paling dalam. Yaitu: memperhatikan kepada segala keadaan, yang menyeleweng, yang mempengaruhi daripada kehadiran hati. Dan tiada ragu kiranya, bahwa segala keadaan itu kembali kepada kepentingannya. Dan kepentingan itu, menjadi kepentingan hawa ­nasfunya. Maka hendaklah ia menyiksakan dirinya dengan menca­but diri dari segala hawa‑nafsu dan memutuskan segala hubungan. Segala yang mengganggunya dari shalat, maka adalah lawan agama­nya dan tentara Iblis musuhnya menahankannya, adalah lebih mendatangkan melarat kepadanya daripada mengeluarkannya. Maka haruslah ia membersihkan diri daripadanya dengan mengelu­arkan benda yang mengganggu itu. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi saw: "Tatkala memakai ‑khamishah‑ (kain hitam 4 persegi) yang dihadiahkan oleh Abu Jahm kepadanya. Dan pada kain itu ada cap bendera Nabi. Lalu Nabi bershalat dengan kain itu. Maka dibukanya sesudah shalat, seraya bersabda: "Kembalikanlah kain ini kepada Abu jahm, karena telah mengganggu aku tadi dari shalatku. Dan bawalah saja kepadaku kain selimut Abu jahm!”. Rasulullah saw menyuruh memperbaharukan alas kakinya bahagi­an atas. Kemudian beliau memandang kepadanya di dalam shalat, karena barunya. Maka beliau suruh membukanya dan mengembali­kan bahagian atas alas kaki yang lama. Adalah Rasulullah saw memakai alas kaki, lalu mena’jubkan beliau oleh kebagusannya. Maka beliau bersujud kepada Allah, Kemudian bersabda: “Aku merendahkan diri kepada Tuhanku 'Azza wa jalla, kiranya tidak dikutukiNYA aku”. Kemudian beliau keluar membawa alas kaki itu dan memberikannya kepada peminta pertama yang dijumpainya. Kemudian, disuruhnya Ali ra membelikan dua alas kaki dari kulit yang disamak, yang telah dibuang bulunya, lalu dipakainya. Adalah pada tangan Rasulullah saw sebentuk cincin dari emas, sebelum diharamkan. Dan ketika itu beliau diatas mimbar, lalu dilemparkannya cincin itu, seraya bersabda: “Diganggu aku oleh benda ini, karena memandang kepadanya dan memandang kepada kamu”. Diriwayatkan: “Bahwa abu Thalhah bershalat dalam suatu dinding tembok, padanya ada sebatang kayu. Maka menakjubkannya oleh seekor burung yang kehitam-hitaman, terbang di pohon itu mencari jalan keluar. Lalu diikuti oleh Abu Thalhah sebentar burung itu dengan matanya. kemudian ia tiada mengetahui lagi, berapa raka’at sudah shalatnya. Maka Abu Thalhah menerangkan apa yang telah menimpa dirinya dari kekacauan itu, kepada Nabi saw kemudian ia menyambung: “Wahai Rasulullah! Dinding tembok itu adalah sedekahku. Perbuatkanlah menurut kehendakmu!”. Diriwayatkan dari orang lain, bahwa Abu Thalhah bershalat di dalam dinding temboknya dan pohon kurma berbuah lebat. Maka Abu Thalhah memandang kepada pohon kurma itu dan menakjubkannya. Sehingga ia tak tahu, berapa raka’at sudah shalatnya. Peristiwa ini diceriterakannya kepada Usman ra seraya mengatakan: “Dinding tembok itu, sedekahku, buatkanlah dia pada jalan Allah ‘Azza wa Jalla!”. Maka dijual oleh Usman ra dengan 50 ribu. Mereka berbuat demikian, untuk menghilangkan bahan yang mengganggu pemikiran dan menutup apa yang telah terjadi daripada kekurangan shalat. Inilah obat yang mencegah unsur penyakit dan tidak mempan dengan yang lain. Apa yang telah kami sebutkan dari berlemah-lembutnya menetapkan hati dan mengembalikannya kepada memahami dzikir, adalah bermanfa’at pada hawa nafsu yang lemah dan angan-angan yang tidak mengganggu selain dari tepi-tepi hati. Adapun hawa nafsu yang meluap-luap, yang payah dikendalikan, maka tidaklah bermanfa’at padanya penetapan hati dengan kelemah-lembutan. Tetapi senantiasalah engkau menarik dia dan dia menarik engkau. Kemudian ia mengalahkan engkau dan berlalulah seluruh shalat engkau dalam gangguan tarik menarik. Adalah seumpama seorang lelaki, di bawah sepohon kayu. Ia bermaksud hendak menjernihkan pikirannya, tetapi nyanyian burung pipit mengganggunya. Maka senantiasalah diusirnya burung pipit itu, dengan sepotong kayu pada tangannya. Dan kembali ia menenangkan pikirannya. Kemudian burung itu kembali lagi, lalu iapun kembali mengusirnya dengan kayu yang ada di tangannya. Maka berkatalah orang kepadanya: “Ini adalah pekerjaan yang tak ada hasilnya! Dan tidak akan habis. Kalau engkau mau terlepas, maka potonglah pohon itu!”. Maka seperti itu pulalah pohon hawa nafsu. Apabila telah bercabang dan banyak ranting-rantingnya, niscaya tertarik kepadanya segala pikiran, sebagaimana tertariknya burung-burung pipit kepada pohon-pohon. Dan tertariknya lalat kepada barang-barang buruk. Dan lamalah usaha untuk mengenyahkannya. Lalat itu, tiap kali dihancurkan, kembali lagi berkembang. Dari itulah, maka ia dinamakan lalat. Maka seperti itu pulalah, segala lintasan di dalam hati. hawa nafsu itu banyak macamnya. Amat sedikitlah manusia terlepas daripadanya. Dan semuanya itu dikumpulkan oleh satu pokok, yaitu: mencintai dunia. Dan begitu pula, kepala tiap-tiap kesalahan, sendi tiap-tiap kekurangan dan sumber tiap-tiap kerusakan. Maka siapa yang terlibat hatinya kepada mencintai dunia, sehingga condong kepada sesuatu daripadanya, bukan untuk mencari bekal daripadanya dan memperoleh pertolongan untuk negri akhirat, maka janganlah diharapkan, akan jernih kelezatan bermunajah di dalam shalat. Karena orang yang senang dengan dunia, niscaya ia tidak senang dengan Allah Ta’ala dan dengan munajah dengan DIA. Cita-cita seseorang, adalah beserta kesayangannya. Kalau kesayangannya ada pada dunia, maka sudah pasti kemauannya berpaling kepada dunia itu. Tetapi, dalam pada itu, tiadalah wajar meninggalkan mujahadah, mengembalikan hati kepada shalat dan menyedikitkan sebab-sebab yang menjadi gangguan. Ini adalah obat yang pahit. Dan karena pahitnya, maka dimuntahkan oleh tabi’at manusia. Sehingga tinggallah penyakit itu melumpuhkan badan dan jadilah penyakit itu penghalang. Sehingga beberapa pembesar, bersungguh-sungguh melakukan shalat dua raka’at, dimana mereka tiada memperkatakan dengan dirinya di dalam shalat tadi, akan hal ikhwal duniawi, maka ternyata mereka lemah dari yang demikian itu. Maka tak adalah harapan seperti kita-kita ini!. Semoga kiranya, selamatlah shalat kita, setengah atau sepertiga daripadanya, dari kebimbangan hati, supaya kita tidak termasuk orang yang mencampurkan amalan baik dan amalan buruk. Kesimpulannya, maka cita-cita dunia dan cita-cita akhirat di dalam hati, adalah seperti air yang dituangkan ke dalam gelas yang penuh dengan cuka. Seberapa banyak air yang masuk kedalam gelas itu, maka sudah pasti sebanyak itu pula cuka keluar. Dan tidaklah keduanya itu berkumpul menjadi satu. Penjelasan . perincian apa yang selayaknya hadir di dalam hati, pada tiap-tiap rukun dan syarat dari perbuatan shalat. Maka kami katakan, hak anda kalau benarlah anda dari orang-orang yang mencari akhirat, ialah yang pertama-pertama tidak melengahkan segala peringatan yang mengenai syarat-syarat dan rukun-rukun shalat. Adapun syarat-syarat yang mendahului shalat, yaitu: adzan, bersuci, menutup aurat, menghadap qiblat, berdiri betul dan niat. Apabila kita mendengar seruan muadzin, maka hadirkanlah kiranya ke dalam hati kita, huru-hara seruan pada hari qiamat. Dan bersiaplah dengan dhahir dan bathin kita, memperkenan dan menyegerakan. Karena orang-orang yang menyegerakan diri kepada seruan ini, adalah mereka yang diserukan dengan lemah-lembut pada hari pertemuan akbar itu. Maka bawalah hatimu kepada seruan ini! Kalau anda memperolehnya penuh dengan kesenangan dan kegembiraan, melimpah-limpah dengan keinginan untuk bersegera, maka ketahuilah bahwa anda didatangi oleh seruan dengan berita gembira dan kemenangan di hari keputusan yang akan tiba. Karena itulah, bersabda Nabi saw: “Berikanlah kesenangan kami, hai Bilal!”. Artinya: Berikanlah kesenangan kepada kami dengan shalat dan dengan seruan kepadanya! Karena kecintaan hati Nabi saw adalah padanya. Adapun bersuci, maka apabila anda telah laksanakan pada tempat anda, yaitu lingkungan yang mengelilingi anda, yang lebih jauh, kemudian pada pakaian anda, yaitu pembalut anda yang lebih dekat, kemudian pada kulit anda, yaitu kulit anda yang lebih dekat lagi, maka janganlah anda melupakan isi badan anda, yang menjadi diri anda sendiri, yaitu hati anda. Maka bersungguh-sungguhlah menyucikan hati itu, dengan bertaubat dari menyesali diri atas perbuatan yang telah terlanjur dan memusatkan cita-cita, untuk meninggalkannya pada masa yang akan datang. Maka sucikanlah bathin anda dengan yang tersebut tadi, karena bathinlah tempat yang dilihat oleh Tuhan yang kita sembah. Adapun menutup aurat, maka ketahuilah bahwa arti menutup aurat itu, ialah menutup tempat-tempat yang jelek pada badan anda dari mata manusia. Sesungguhnya yang dhahir dari badan anda, adalah tempat pandangan manusia. Maka bagaimanakah pikiran anda mengenai aurat bathin anda dan rahasia-rahasia anda yang keji, yang tidak dilihat selain oleh Tuhan anda ‘Azza wa Jalla? Maka kemukakanlah segala kekejian itu pada hati anda dan mintalah diri anda menutupkannya. Dan yakinlah bahwa tiada sesuatupun yang dapat menutupkannya. Pada penglihatan Allah Ta’ala. Hanya segala kekejian itu dapat ditutup oleh penyesalan, malu dan takut. Maka dengan menghadirkan segala kekejian itu ke dalam hati, dapatlah anda memperoleh faedah, menggerakkan tentara takut dan malu dari tempat persembunyiannya. Lalu dengan yang demikian, anda hinakan diri anda dan hati anda akan menjadi tenteram di bawah perasaan malu itu. Dan tegak berdirilah anda di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana berdirinya hamba yang berdosa, yang berbuat jahat dan yang melarikan diri selama ini, yang telah menyesal. Maka ia kembali kepada tuannya dengan kepala menekur, karena malu dan takut. Adapun menghadap qiblat, yaitu memalingkan wajah dhahir anda dari pihak-pihak yang lain, ke pihak Baitullah. Adakah anda berpendapat, bahwa memalingkan hati dari segala hal yang lain, kepada perintah Allah ‘Azza wa Jalla, tidak diminta dari anda?. Amat jauh dari yang demikian! Maka tidaklah diminta selain itu!. Sesungguhnya segala yang dhahir ini, adalah segala penggerak bagi bathin, pengendalian dan penenangan bagi segala anggota badan, dengan penetapan arah yang satu itu. Sehingga segala yang dhahir itu, tidak mendurhakai hati. karena apabila ia mendurhakai dan menganiayai di dalam segala geraknya dan berpalingnya kepada segala pihak itu, niscaya dia menarik akan hati dan berbalik daripada wajah Allah ‘Azza wa Jalla. Dari itu, hendaklah wajah hati engkau bersama dengan wajah tubuh engkau!. Ketahuilah kiranya bahwa sebagaimana muka tidak menghadap ke arah Baitullah, kecuali dengan berpaling dari lainnya, maka begitu pula hati tiada akan berpaling kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali dengan mengosongkan hati itu daripada lainNYA. Telah bersabda Nabi saw: “Apabila berdirilah hamba kepada shalatnya, maka hawa nafsunya, wajahnya dan hatinya berpaling kepada Allah ‘Azza wa Jalla, adalah seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya”. Adapun i’tidal dengan berdiri betul, adalah berdiri lurus dengan diri dhahir dan hatinya dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Maka hendaklah kepala anda, yaitu anggota tubuh anda yang tertinggi, menekur, menunduk dan melihat ke bawah! Dan hendaklah kerendahan kepala dari ketinggiannya, memberi pengertian kepada keharusan bagi hati untuk merendahkan, menghinakan dan melepaskan dari sifat keangkuhan dan kesombongan! Dan hendaklah ada pada ingatan anda disini, tergurisnya di hati berdiri dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla, pada huru-hura pandangan ketika datang untuk pertanyaan amal! Ketahuilah, dalam keadaan ini, sesungguhnya anda adalah berdiri dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla! IA melihat kepada anda. Dari itu berdirilah di hadapan ALLAH, sebagaimana anda berdiri dihadapan setengah raja-raja zaman sekarang, kalau anda merasa lemah daripada mengenal dzat ALLAH yang Maha Tinggi. Tetapi umpamakanlah selama anda berdiri di dalam shalat itu, bahwa anda diperhatikan dan diintip oleh mata yang bersinar berapi-api, dari seorang laki-laki yang shalih, dari keluarga anda atau dari orang yang anda ingini, untuk mengenal anda sebagai orang shalih. Maka pada ketika itu, tenanglah sendi-sendi anda, khusyu’lah anggota-anggota tubuh anda dan tenteramlah segala bahagian badan anda. Karena takut dikatakan anda oleh orang yang lemah lagi miskin itu, bahwa anda kurang kusyu’. Apabila anda telah merasa diri anda, dengan pemegangan diri, dari perhatian hamba yang miskin itu, maka celalah diri anda dan katakanlah kepada diri itu: “Bahwa engkau, hai diri, mendakwakan mengenal dan mencintai Allah. Apakah engkau tidak malu dari keberanian engkau kepadanya, serta engkau memuliakan salah seorang daripada hamba ALLAH ? Atau engkau takut kepada manusia dan engkau tidak takut kepada ALLAH ? Padahal, Dialah yang berhak ditakuti! Karena itu, tatkala bertanya Abu Hurairah: “Bagaimanakah malu kepada Allah?”. maka menjawab Nabi saw: “Engkau malu kepada ALLAH, adalah sebagaimana engkau malu kepada laki-laki yang baik dari kaum engkau”. Dan diriwayatkan pada riwayat yang lain: “Dari keluarga engkau”. Adapun niat, maka berhasratlah untuk memenuhi perintah Allah ‘Azza wa Jalla, pada mengikuti perintah ALLAH dengan shalat dan menyempurnakannya, mencegah dari segala yang meruntuhkan dan yang merusakkan shalat itu. Serta mengikhlaskan semuanya itu bagi wajah Allah Ta’ala, karena mengharap pahala daripadanya, takut daripada siksaan ALLAH, mencari kehampiran diri pada ALLAH dan mengharapkan nikmat dengan keizinan ALLAH. Awaslah pada bermunajah itu dengan adabmu yang buruk dan maksiatmu, yang banyak. Dan agungkanlah di dalam jiwamu banyak sedikitnya bermunajah dengan DIA ! Dan lihatlah dengan siapa anda bermunajah dan bagaimana anda bermunajah! Dan dengan apa anda bermunajah?. Pada ketika ini sewajarnyalah berkeringat pipimu daripada perasaan malu, kembang kempislah perutmu daripada perasaan kehebatan dan menguninglah wajahmu daripada perasaan ketakutan. Adapun takbir, apabila lisan anda mengucapkannya, maka seyogyalah tidak didustakannya oleh hati anda. Kalau di dalam hati anda, ada sesuatu, yang lebih agung daripada Allah Ta’ala, maka Allah menyaksikan, bahwa anda itu pembohong, meskipun perkataan anda itu benar. Seperti yang disaksikan pada orang-orang yang munafik tentang perkataan mereka, bahwa Nabi saw itu rasul Allah. Kalau hawa nafsu anda lebih keras pada anda daripada perintah Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga anda lebih mematuhi panggilan hawa nafsu itu daripada panggilan Allah, maka sesungguhnya anda telah mengambil hawa nafsu itu menjadi Tuhan anda dan telah mengagungkannya. Maka adalah ucapan anda Allaahu akbar (Allah Maha Besar) itu, adalah ucapan dengan lisan semata-mata. Dan hati menyalahi daripada menolong lisan itu. Alangkah besarnya bahaya yang demikian itu, jikalau tidaklah bertaubat, bermohon ampun dan membaikkan sangka dengan kemurahan dan kema’afan Allah Ta’ala. Adapun do’a iftitah, maka kata-kata pertamanya ialah ucapan anda: “wajjahtu wajhiya lilladzii fathaaras-samaawaati wal-ardhi”. (aku hadapkan wajahku/diriku kepada Tuhan yang menjadikan langit dan bumi). Tidaklah dimaksudkan dengan wajah itu, wajah dhahir. Karena anda apabila menghadapkan wajah itu ke arah qiblat dan Allah Ta’ala Maha Suci, daripada di dapati oleh pihak-pihak, sehingga anda menghadapkan dengan wajah tubuh anda kepadanya. Sesungguhnya wajah hatilah, yang anda hadapkan kepada pencipta langit dan bumi. Maka lihatlah kepada hati itu, adakah ia menghadap kepada cita-citanya dan kemauannya, di rumah dan di pasar, yang mengikuti hawa nafsu atau menghadap kepada pencipta langit?”. Awaslah daripada adanya permulaan munajah anda itu, dengan bohong dan dibuat-buat. Dan tidaklah berpaling wajah itu kepada Allah Ta’ala selain dengan berpalingnya daripada selain Allah. Dari itu, bersungguh-sungguhlah pada waktu sekarang, memalingkannya kepada Allah. jikalau anda lemah terus menerus daripada yang demikian, maka hendaklah ada pada waktu sekarang ini, ucapan anda itu benar!. Apabila anda mengucapkan: “Hanifam-muslima” (memilih agama yang benar, lagi muslim/berserah diri), maka seyogyalah bahwa, terlintas pada hati anda, bahwa muslim, ialah yang selamat orang muslimin lain daripada lidah dan tangannya. Kalau tidak adalah anda seperti yang demikian, maka adalah anda pembohong. Maka berusahalah sungguh-sungguh, untuk berhasrat yang demikian pada masa yang akan datang dan menyesali diri terhadap hal-ikhwal yang telah lalu. Apabila anda mengucapkan: “Wa maa ana minal musyrikiin” (dan tidaklah aku termasuk orang musyrik), maka guriskanlah pada hati anda “syirik khafi”, (mempersekutukan Tuhan secara tersembunyi, tidak kelihatan). Bahwa firman Allah Ta’ala: “Maka siapa yang mengharap akan menemui Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan pekerjaan yang baik-baik dan jangan dia mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya (peribadatan) dengan siapapun”. S 18 Al kahfi ayat 110. Turun mengenai orang yang bermaksud dengan ibadahnya akan wajah Allah dan pujian manusia. Hendaklah anda berhati-hati menjaga diri dari syirik ini! Dan meresaplah kiranya perasaan malu di dalam hati anda, kalau anda menyifatkan diri sendiri, bahwa anda tidaklah termasuk orang musyrik, tanpa terlepas daripada syirik itu. Nama syirik itu, terjadi pada sedikit dan banyak daripadanya. Apabila anda mengucapkan: “Hidupku dan matiku untuk Allah”, maka ketahuilah bahwa ini adalah keadaan seorang hamba yang memandang dirinya tidak ada, hanya adanya untuk tuannya. Bahwa sesungguh nya, kalau terbitlah kata-kata tadi dari orang, yang relanya dan marahnya, tegaknya dan duduknya, sukanya kepada hidup dan takutnya kepada mati, untuk urusan keduniaan, maka tiadalah sesuai kata-kata itu dengan keadaaan. Apabila anda mengucapkan: “Aku berlindung dengan Allah daripada setan yang terkutuk”, maka ketahuilah bahwa setan itu musuhmu dan mencari kesempatan untuk memalingkan hatimu daripada Allah ‘Azza wa jalla. Karena dengkinya kepadamu bermunajah dengan Allah Ta’ala dan sujudmu kepada ALLAH. Sedang dia telah terkutuk, disebabkan satu sujud yang ditinggalkannya dan tidak disetujuinya. Bahwa engkau berlindung dengan Allah Ta’ala daripada setan, adalah dengan meninggalkan apa yang disukai setan dan menggantikannya dengan apa yang disukai Allah ‘Azza wa Jalla. Tidaklah dengan semata-mata perkataan engkau itu saja. Karena orang yang dimaksudkan oleh binatang buas atau oleh musuh, mau diterkam atau dibunuhnya, lalu mengucapkan: “Aku berlindung daripadamu dengan benteng yang kokoh kuat itu”, sedang ia tetap pada tempatnya, maka yang demikian itu, tiadalah bermanfa’at baginya. Tetapi tidaklah melindunginya, kecuali dengan menggantikan tempat itu. Seperti itu pulalah orang yang menuruti hawa nafsu, yang menjadi kesukaan setan dan kebencian Tuhan, maka tiada mencukupi dengan semata-mata perkataan. Tetapi hendaklah disertakan perkataan itu dengan hasrat melindungkan diri dengan benteng Allah ‘Azza wa Jalla daripada kejahatan setan itu. Dan bentengNYA, ialah: “Laa ilaaha illallaah” (Tiada yang disembah dengan sebenarnya, selain Allah). karena berfirman Allah Ta’ala, menurut apa yang diterangkan oleh Nabi kita saw: “Laa ilaaha illallah adalah bentengKU. Maka siapa yang masuk ke dalam bentengKU, niscaya ia aman daripada azabKU”. Yang berbenteng dengan benteng Allah, ialah orang yang tiada menyembah selain Allah swt. Adapun orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi Tuhannya, maka dia adalah di dalam tanah lapang setan, tidak di dalam benteng Allah ‘Azza wa Jalla. Ketahuilah bahwa diantara tipu daya setan itu ialah diganggunya anda di dalam shalat, dengan mengingati akhirat dan memahami perbuatan kebajikan, supaya mencegah anda daripada memahami apa yang anda baca. Maka ketahuilah bahwa tiap-tiap yang mengganggu anda daripada memahami arti bacaan anda, itu adalah gangguan setan. Karena bukanlah gerak lidah yang dimaksud, tetapi yang dimaksud ialah arti dari gerak lidah itu. Karena itu anda harus paham atau mengerti arti bacaan pada sholat. Jangan hanya hafal bahasa arabnya saja, tapi anda tidak tau apa yang anda ucapkan !!! Karena itulah anda menjadi alpa dan pikiran anda menerawang kemana-mana !!! Maka menjadilah sholat anda tidak syah !!! Adapun bacaan, maka manusia mengenai bacaan ini 3 golongan. 1. Segolongan ialah orang yang menggerakkan lidahnya dan hatinya alpa. 2. Segolongan orang yang menggerakkan lidahnya dan hatinya mengikuti lidahnya, maka ia mengerti dan mendengar bacaan dari lidahnya, seakan-akan ia mendengar dari orang lain. Yaitu: derajat orang golongan kanan. Dan 3. Segolongan lagi, ialah orang, pertama-tama: mendahului hatinya kepada maksud, kemudian lidahnya berkhidmat kepada hati, lalu lidah itu menjadi juru bahasa daripada hati. Maka dibedakan, antara lidah menjadi juru bahasa dari hati atau guru dari hati. Adapun orang muqarrabun (orang-orang yang menghampirkan diri kepada Allah Ta’ala), lidah mereka itu adalah juru bahasa yang menuruti hati dan tidaklah hati yang menuruti lidah. Perincian terjemah dari segala maksud yang dibaca itu, ialah apabila anda membaca: “Bismillaahir rahmaanir rahiim”, (dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), maka berniatlah memperoleh barakah (berkat) untuk memulai bacaan kalam Allah Ta’ala. Dan pahamilah bahwa maksudnya, ialah: segala sesuatu itu seluruhnya pada Allah Ta’ala. Dan yang dimaksudkan dengan “nama” disini, ialah “yang dinamakan” (yang diberi nama kepadanya). Apabila segala sesuatu adalah pada Allah Ta’ala, maka tegaslah, bahwa pujian itu adalah bagi Allah. artinya: syukur (terima kasih) itu bagi Allah, karena segala nikmat itu daripada Allah. Siapa yang melihat, nikmat itu dari selain Allah atau bermaksud bersyukur kepada selain Allah, tidak dari segi bahwa yang lain dari Allah itu adalah menjalankan perintah Allah Ta’ala, maka pada menamakan dan memujikan yang lain dari Allah itu, mengandung kekurangan, menurut kadar berpalingnya kepada selain Allah. Apabila anda membaca “arrahmaanir-rahiim”. (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), maka hadirkanlah ke dalam hati anda segala macam kasih sayang ALLAH. Supaya jelaslah bagi anda rahmat ALLAH, lalu tergeraklah harapan anda, kemudian meluaplah dari hati anda keagungan dan ketakutan dengan ucapan anda: “maaliki yaumiddin” (Yang menguasai hari pembalasan). Adapun keagungan, maka karena tak adalah pemerintahan, melainkan kepunyaan ALLAH. Dan adapun takut, maka karena kehuru-haraan hari pembalasan dan perhitungan amal, di mana DIAlah yang mempunyainya. Kemudian perbaharuilah keihklasan dengan ucapan anda: “Iyyaaka na’budu” (Hanyalah Engkau yang kami sembah!) dan perbaharuilah rasa kelemahann diri, rasa berhajat kepada ALLAH dan tidak mempunyai daya dan upaya, dengan ucapan anda: “Wa iyyaaka nasta’iin” (Dan kepada Engkau kami memohon pertolongan!) dan yakinlah, bahwa tiadalah memperoleh kemudahan berbuat ta’at, melainkan dengan pertolongan ALLAH. Dialah yang mempunyai nikmat, karena memberikan taufiq kepada kita untuk berbuat ta’at kepada ALLAH. Dan dijadikan ALLAH kita, dapat berkhidmat memperhambakan diri kepada ALLAH dan menjadikan kita dapat bermunajah dengan DIA. Kalau tidak dianugerahi ALLAH kita daripada memperoleh taufiq, niscaya adalah kita termasuk orang-orang yang terusir bersama setan yang terkutuk. Kemudian apabila anda telah selesai daripada membaca: “A’uudzu billaah”, daripada membaca: “Bismillaahir-rahmaanir-rahiim”, daripada membaca “Alhamdulillaah”, dan daripada melahirkan hajat umumnya kepada pertolongan ALLAH, maka tentukanlah permohonanmu! Dan tidak meminta selain daripada hajatmu yang terpenting, yaitu ucapkanlah: “Ihdinash-shiraathal-mustaqiim” (Pimpinlah kami ke jalan yang lurus), yang membawa kami ke sisi Engkau dan menghantarkan kami kepada kerelaan Engkau!. Dan tambahkanlah penguraian, perincian, peneguhan dan pengakuan bersama mereka yang telah dianugerahi ALLAH kenikmatan petunjuk, yaitu nabi-nabi, orang-orang shiddiq, orang-orang syahid dan orang-orang shalih. Tidak mereka yang telah dimarahi, yaitu: Yahudi, Nasrani dan Majusi. Kemudian bermohonlah makbul, dengan mengucapkan “Aamin” (Perkenankanlah ya Allah!). Apabila sudah membaca al-fatihah seperti yang tersebut diatas, maka menyerupailah anda dengan orang-orang yang dikatakan oleh Allah Ta’ala tentang mereka itu, menurut apa yang diceriterakan Nabi saw: “Aku bagi shalat itu dua bahagian, antaraKU dan hambaKU. Sebahagian bagiKU dan sebahagian lagi bagi hambaKU. Dan hambaKU memperoleh apa yang dimintanya”. Berkatalah hamba: “Alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin” (Segala pujian untuk Allah, Pemimpin semesta alam), maka berfirman Allah ‘Azza wa Jalla: “Telah dipuji AKU oleh hambaKU dan disanjunginya AKU”. Yaitu: maksud dari bacaannya: “Sami’allaahu liman hamidah”. (Didengar oleh Allah siapa yang memuji ALLAH). Kalau sekiranya tak ada bagi anda keuntungan dari shalat itu, selain dari diingati oleh Allah Ta’ala akan anda di dalam kebesaran dan keagungan ALLAH, maka itupun merupakan suatu hadiah yang berharga. Maka betapa lagi dengan apa yang anda harapkan, yang merupakan pahala dan kurnia daripada ALLAH?. Begitu pula, sewajarnyalah anda pahami tiap-tiap yang anda baca dari surat-surat Al-Qur’an, sebagaimana akan datang penjelasannya pada Kita Membaca Al-Qur’an. Maka janganlah anda alpa dari perintah ALLAH, dan larangan ALLAH, janji nikmat ALLAH dan janji ‘azab ALLAH, segala pengajaran ALLAH, berita dari nabi-nabi ALLAH, ingatan kepada nikmat-nikmat ALLAH dan kebaikan ALLAH. Masing-masing itu mempunyai hak. Maka harap, adalah hak dari janji nikmat. Dan takut, adalah hak dari janji ‘azab. Dan cita-cita, adalah hak dari suruhan dan larangan. Dan menerima pengajaran adalah hak dari pengajaran. Syukur adalah hak dari ingatan kepada nikmat. Dan memperoleh pengertian adalah hak berita dari nabi-nabi. Diriwayatkan, bahwa Zararah bin Aufa, tatkala sampai pembacaannya kepada firman Allah Ta’ala: “Ketika terompet dibunyikan”. S 74 Al Muddatstsir ayat 8, lalu jatuh tersungkur dan meninggal dunia. Adalah Ibrahim An-Nakha’i, apabila mendengar firman Allah Ta’ala: “Ketika langit belah”. S 84 Al Insyiqaaq ayat 1, gemetarlah tubunya sehingga lemahlah sendi-sendinya. Berkatalah Abdullah bin Waqid: “Saya melihat Ibnu Umar mengerjakan shalat, dalam keadaan tidak sadar. Kiranya benarlah, bahwa hatinya terbakar dengan janji nikmat dan janji ‘azab Tuhannya. Karena dia adalah hamba yang berdosa lagi hina, dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, lagi Maha Perkasa”. Dan adalah segala pengertian tadi, menurut tingkat pemahaman masing-masing. Dan pemahaman itu adalah menurut kesempurnaan ilmu dan kebersihan hati dan tingkat-tingkat tersebut, tidak terhingga banyaknya. Shalat itu adalah kunci hati. didalam shalat terbukalah segala kunci rahasia kalimah-kalimah yang dibaca. Dan inilah hak bacaan, juga hak dzikir dan tasbih. Kemudian, dijaga kehebatan pada bacaan, maka bacalah dengan bacaan yang bagus dan tidak terburu. Karena dengan demikian, lebih memudahkan bagi perhatian. Dan diperbedakan pada pembacaan itu, diantara turun naiknya suara, mengenai ayat-ayat yang mengandung rahmat dan ‘azab, janji pahala dan janji siksa, pemujian, pengagungan dan penghormatan. Adalah An-Nakha’i apabila melalui di dalam pembacaannya seperti firman Allah Ta’ala: “Allah tiada mengambil (mempunyai) anak dan tiada pula Tuhan yang lain disamping ALLAH”. S 23 Al Mukminuun ayat 91, maka beliau merendahlah suaranya, seperti orang yang malu menyebutkan sesuatu yang tidak layak. Diriwayatkan, bahwa dikatakan kepada pembaca Al-Qur’an: “Bacalah, tinggikanlah dan baguskanlah pembacaan, sebagaimana engkau membaguskan pembacaan mengenai ikhwal duniawi!”. Adapun berkekalan berdiri di dalam shalat, adalah pemberitahuan kepada ketegakan hati serta Allah Ta’ala di atas sifat dari kehadirannya. Bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menghadap pada orang yang bershalat, selama orang itu tiada berpaling kepada yang lain”. Sebagaimana harus menjaga kepala dan mata daripada berpaling kepada segala pihak, maka seperti itu pulalah wajib menjaga rahasia (bathin) daripada berpaling kepada bukan shalat. Apabila berpaling kepada yang lain, maka peringatilah hati itu, bahwa Allah Ta’ala melihatnya. Dan merupakan penghinaan yang keji kepada Allah ketika kealpaan orang yang bermunajah itu. Supaya kembalilah hati itu kepada ALLAH. Dan haruslah mengusahakan khusyu’ bagi hati, dengan terlepasnya hati daripada berpaling kepada yang lain, pada bathin dan pada dhahir, sebagai hasil dari khusyu’. Dan manakala telah khusyu’ bathin, niscaya khusyu’lah dhahir. Bersabda Nabi saw, ketika ia melihat seorang laki-laki yang mengerjakan shalat dan mempermain-mainkan janggutnya: “Adapun orang ini jikalau khusyu’lah hatinya, maka pastilah khusyu’ anggota badannya”. Karena rakyat itu adalah menurut pimpinan dari pemimpinnya. Dari itu tersebut pada do’a Nabi saw: “Ya Allah, ya Tuhanku! Perbaikilah pemimpin dan rakyat yang dipimpin!”, yaitu hati dan anggota badan”. Adalah Abu Bakar Shiddiq ra di dalam shalatnya, seolah-olah dia itu tonggak. Dan Ibnu Zubair ra, seolah-olah dia itu tiang. Setengah mereka adalah menetap di dalam ruku’nya, sehingga jikalau jatuhlah burung pipit ke atasnya, maka dia adalah seakan-akan barang keras. Semuanya itu, adalah kehendak tabi’at manusia, dihadapan yang diagungkan daripada anak-anak dunia. Maka bagaimana pula, tidak diperlakukan yang demikian, dihadapan Raja-Diraja pada orang yang mengenal akan Raja-Diraja itu?. Tiap-tiap orang yang tenang dengan khusyu’ dihadapan selain Allah dan tidak tenang anggota badannya dengan bermain-main dihadapan Allah, maka adalah karena singkat pengetahuannya tentang kebesaran Allah dan tentang penglihatan Allah kepada rahasia dan isi hatinya. Berkata ‘Akramah tentang firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Yang melihat engkau ketika engkau berdiri (mengerjakan shalat). Dan melihat gerak badan engkau diantara orang-orang yang sujud”. S 26 Asy Syu’araaa’ ayat 218-219, yaitu: berdiri ruku’, sujud dan duduk dari orang yang mengerjakan shalat itu. Adapun ruku’ dan sujud, maka sewajarnyalah membaru ingatan kepada kebesaran Allah Ta’ala ketika mengerjakan keduanya. Dan anda mengangkatkan kedua tangan, dengan bermohon kema’afan Allah Ta’ala dari siksaan ALLAH, dengan membaharukan niat dan mengikuti sunnah Nabi saw kemudian anda mengulangi lagi, menghinakan dan merendahkan diri kepada ALLAH dengan ruku’ anda. Dan berusaha benar-benar melembutkan hati anda, membaharukan khusyu’ anda. Anda merasakan akan demikian, kemuliaan Tuhan anda, kerendahan anda dan keagungan Tuhan anda. Anda bermohon pertolongan supaya tetaplah yang demikian itu dalam hati anda dengan lisan anda. Maka bertasbihlah akan Tuhan dan mengakuilah keagungan ALLAH. Bahwa DIA Maha Agung dari segala yang agung! Anda mengulang-ulangi yang demikian dalam hati anda, supaya bertambah kuat dengan mengulang-ulangi itu. Kemudian anda bangkit dari ruku’ dengan mengharap, kiranya IA merahmati anda. Dan kuatkan harapan itu pada jiwa anda, dengan bacaan: “Samiallaahu liman hamidah” (Didengar oleh Allah akan siapa yang memujikan ALLAH). Artinya: dikabulkan ALLAH do’a orang yang mensyukuri ALLAH. Kemudian anda iringi yang demikian itu, dengan kesyukuran yang menghendaki penambahan itu, lalu anda bacakan: “Rabbanaa lakalhamd”, (Hai Tuhan kami, bagi Engkau segala jenis pujian). Anda perbanyakkan pujian itu, dengan bacaan: “Mil-ussamaawaati wa mil-ul-ardli” (Memenuhi segala langit dan bumi). Kemudian, anda turun kepada sujud, yaitu tingkat tertinggi dari ketetapan hati. Maka anda tetapkan anggota badan anda yang termulia, yaitu, muka kepada benda yang terhina, yaitu tanah. Kalau dapat janganlah anda buat dinding diantara keduanya, maka sujudlah diatas bumi! Perbuatlah yang demikian, karena lebih menarik kepada kekhusyu’an hati dan lebih menunjukkan kepada kehinaan. Apabila anda meletakkan diri anda pada tempat kehinaan, maka ketahuilah bahwa anda telah meletakkannya pada tempatnya dan telah anda kembalikan cabang kepada pokoknya. Karena anda, dari tanah dijadikan dan kepadanya anda kembali. Maka ketika itu, perbaharuilah di dalam hatimu keagungan Allah dan ucapkanlah: “Subhaana rabbial-a’laa”, (Maha suci Tuhanku yang Maha Tinggi). Dan kuatkanlah dengan diulang-ulangi! Karena sekali adalah lemah membekasnya. Apabila hati anda telah menghalus dan telah nyata yang demikian itu, maka benarkanlah harapan anda kepada rahmat Allah! karena rahmat ALLAH bersegera kepada yang lemah dan yang hina, tidak kepada yang takabur dan menggagah. Kemudian, angkatkanlah kepala anda dengan bertakbir dan bermohon hajat anda, dengan membaca: “Rabbighfir warham wa tajaawaz ‘ammaa ta’lam”, (Hai Tuhanku! Ampunilah dan kasihanilah! Dan lepaskanlah (aku) daripada sesuatu (dosa) yang Engkau ketahui!. Ataupun anda bacakan sesuatu do’a yang anda kehendaki. Kemudian, teguhkanlah merendahkan diri itu, dengan mengulang-ulangi membacakannya!. Kemudian, kembalilah kepada sujud kedua seperti tadi!. Adapun tasyahhud, maka apabila anda duduk tasyahhud itu, maka duduklah dengan adab. Dan tegaskanlah bahwa seluruh apa yang dilaksanakan dari amal perbuatan shalat dan tingkah laku yang suci, adalah karena Allah dan kepunyaan Allah. itulah, yang dimaksudkan dengan: segala kehormatan (tahiyyah) untuk Allah. dan hadirkanlah di dalam hati anda, Nabi saw dan pribadinya yang mulia, dengan mengucapkan: “Salaamun ‘alaika ayyuhannabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh”, (Selamat sejahtera kepadamu wahai Nabi dan rahmat Allah serta berkat ALLAH). Dan hendaknya benarkanlah cita-cita anda, pada menyampaikan salam kepadanya dan semoga dibalaskannya kepada anda dengan lebih sempurna. Kemudian, anda mengharapkan selamat sejahtera kepada diri anda sendiri dan kepada sekalian hamba Allah yang shalih. Kemudian, anda mengharapkan kiranya Allah mengembalikan selamat sejahtera yang lebih sempurna kepada anda, sebanyak bilangan hamba ALLAH yang shalih itu. Kemudian anda mengakui dengan keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw dengan risalah yang dibawanya, dimana anda membaharukan janji kepada Allah dengan mengulangi dua kalimah syahadah dan mengulangi kembali untuk membentengi diri dengan kalimah itu. Kemudian, anda berdo’a pada akhir shalat anda, dengan do’a yang berasal dari Nabi saw serta dengan merendahkan diri, khusyu’ hati, memohon, meminta dan mengharap dengan harapan yang sebenarnya, diperkenankan kiranya oleh Allah. Anda sertakan di dalam do’a itu, akan do’a kepada kedua ibu-bapak anda dan kaum muslimin lainnya. Dan ditujukan ketika memberi salam itu, kepada para malaikat dan hadirin yang ada di tempat shalat anda. Dan niatkan menyudahi shalat dengan salam itu dan mesrakanlah didalam hati akan rasa syukur kepada Allah Ta’ala, atas taufiq ALLAH, dapat menyempurnakan ibadah ini!. Dan buatkanlah sangkaan di dalam hati, bahwa anda meninggalkan shalat anda ini dan boleh jadi anda tidak akan lama hidup, dapat menyelesaikan shalat yang seperti ini lagi! Bersabda Nabi saw kepada orang yang diberinya wasiat: “Bershalatlah seperti shalat orang yang mengucapkan selamat tinggal!”. Kemudian, rasakanlah di dalam hati akan perasaan takut dan malu dari keteledoran di dalam shalat! Dan takutilah shalat anda itu tidak diterima dan anda dikutuki dengan dosa dhahir atau bathin, lalu shalat anda itu ditolak ke muka anda. Dari itu anda berharap, kiranya diterima ALLAH sholat anda dengan kemurahan dan kurnia Allah. Adalah Yahya bin Watstsab apabila telah mengerjakan sholat, maka ia berhenti / masya Allah / sampai kita kenal padanya, seperti tanda shalat. Dan adalah Ibrahim, berhenti sesudah shalat satu jam lamanya, seolah-olah ia sakit. Maka inilah perincian shalat orang-orang yang khusyu’, dimana mereka khusyu’ di dalam shalatnya. Dan mereka memelihara shalatnya dan mereka tetap mengerjakan shalatnya dan bermunajah dengan Allah menurut kesanggupannya dalam peribadatan. Hendaklah manusia mendatangkan dirinya kepada shalat yang seperti ini! Maka menurut kesanggupan yang diperolehnya, sewajarnyalah ia bergembira. Dan terhadap yang tidak diperolehnya, sewajarnyalah ia merasa rugi. Dan sewajarnyalah ia berusaha mengobati yang tidak diperolehnya itu!. Adapun shalat orang-orang yang alpa, maka adalah membahayakan, kecuali Allah melindunginya dengan rahmat ALLAH. Rahmat Allah adalah Maha Halus dan kemurahan ALLAH adalah melimpah-limpah. Kita bermohon kepada Allah, kiranya IA menyarungi kita dengan rahmat ALLAH dan menyelubungi kita dengan ampunan ALLAH. Karena tak adalah jalan bagi kita selain daripada mengaku dengan kelemahan daripada menta’ati ALLAH. Ketahuilah, bahwa melepaskan shalat dari segala bahaya, mengikhlaskan nya karena Allah ‘Azza wa Jalla dan mengerjakannya dengan segala syarat bathiniyah yang telah kami sebutkan itu, yaitu: khusyu’, pengagungan dan malu, adalah sebab untuk memperoleh nur yang cemerlang di dalam hati, dimana nur itu adalah kunci dari ilmu mukasyafah. Wali-wali Allah yang memperoleh kasyaf (terbuka hijab) dengan segala alam malakut langit dan bumi serta segala rahasia keTuhanan, adalah terbuka hijabnya di dalam shalat. Lebih-lebih di dalam sujud, karena hamba itu mendekati Tuhannya dengan sujud. Dari itu, berfirman Allah Ta’ala: “Dan sujudlah dan dekatkanlah diri (kepada Tuhan)!”. S 96 Al ‘Alaq ayat 16. Terbukanya kasyaf bagi tiap-tiap orang yang mengerjakan shalat itu, adalah menurut tingkat kebersihannya dari kotoran duniawi. Berbeda yang demikian itu, menurut kuat dan lemahnya, sedikit dan banyaknya, terang dan tersembunyinya, sehingga terbukalah bagi setengah mereka sesuatu itu dengan sebenar-benarnya. Dan terbukalah bagi setengah yang lain sesuatu itu sekedarnya, sebagaimana terbuka bagi setengah mereka, dunia itu dalam bentuk bangkai dan setan itu dalam bentuk anjing, yang datang meniarap memanggil kepadanya. Dan berbeda pula, apa yang padanya mukasyafah. Setengah mereka terbuka baginya tentang sifat Allah dan kebesaran ALLAH. Setengah mereka terbuka tentang af’al (perbuatan) Allah. dan setengah mereka terbuka tentang yang halus-halus ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Untuk ketentuan segala pengertian itu pada tiap-tiap waktu, ada sebab-sebab yang tersembunyi, yang tidak terhingga banyaknya. Diantara sebab-sebab itu yang sangat sesuai, ialah cita-cita. Karena, apabila cita-cita itu ditujukan kepada sesuatu yang tertentu, maka adalah itu yang lebih utama dengan terbuka (inkisyaf). Tatkala segala keadaan ini tidak dapat terlihat, selain pada kaca yang halus licin dan kaca itu seluruhnya berkarat, maka terdindinglah daripadanya hidayah (petunjuk). Bukan karena kikir dari pihak Pemberi nikmat hidayah, tetapi karena kotoran yang berlapis-lapis karatnya pada tempat mengalirnya hidayah, di mana bergegas-gegas lidah manusia membantahnya. Karena telah menjadi tabi’at manusia, membantah yang tidak di mukanya. Jikalau adalah bagi anak dalam kandungan, akal pikiran, niscaya dibantahnya akan kemungkinan adanya manusia pada udara luas terbuka. Jikalau adalah bagi anak kecil, dapat membedakan sesuatu, niscaya mungkin dibantahnya akan apa yang didakwakan oleh orang-orang yang berakal mengetahuinya, dari alam al-malakut langit dan bumi. Begitulah manusia pada tiap-tiap tingkat, hampirlah selalu membantah apa yang ada pada tingkat sesudahnya. Siapa yang membantah tingkat kewalian tentulah ia membantah tingkat kenabian. Dan makhluk itu dijadikan bertingkat-tingkat. Maka tidak wajarlah, tiap-tiap orang membantah yang di belakang tingkatnya. Ya, manakala mereka meminta ini diperdebatkan dan dibahas dengan cara yang mengacaukan itu dan tidak dimintanya dari segi membersihkan hati dari selain Allah Ta’ala, niscaya mereka tiada memperolehnya, lalu membantahnya. Dan orang yang tidak dari ahli ilmu mukasyafah, maka tidak sedikit yang beriman dengan ghaib (yang tidak dapat di ketahui dengan pancaindra atau yang termasuk bahagian metafisika) dan membenarkannya, sampai dapat dipersaksikannya dengan percobaan. Pada hadits tersebut: “Bahwa hamba apabila berdiri pada shalat, maka diangkat oleh Allah dinding (hijab), antara ALLAH dan hamba ALLAH. Ia menghadapi hamba ALLAH dengan wajah ALLAH. Dan berdirilah para malaikat dari sejak kedua bahunya sampai ke udara, bershalat dengan shalatnya dan mengucapkan amin atas do’anya. Bahwa orang yang mengerjakan shalat itu, bertaburanlah ke atasnya kebajikan dari puncak langit sampai kepada belahan kepalanya. Dan menyerulah seorang penyeru: “Jikalau tahulah orang yang bermunajah ini dengan siapa ia bermunajah, niscaya ia tidak berpaling kepada yang lain. Bahwa pintu-pintu langit itu, dibuka bagi orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan Allah ‘Azza wa Jalla membanggakan kepada para malaikat ALLAH akan hamba ALLAH yang bershalat itu”. Maka pembukaan pintu-pintu langit dan muwajahah Allah Ta’ala dengan wajah ALLAH akan hamba ALLAH, adalah kinayah dari kasyaf yang kami sebutkan itu. Dalam Taurat, tertulis: “Hai anak Adam! Jangan engkau merasa lemah berdiri di hadapanKU, sebagai orang yang bershalat, yang menangis. AKU lah Allah yang engkau dekati dari hati engkau dan dengan ghaib, engkau melihat akan nurKU”. Ia berkata: “Maka kita melihat bahwa kehalusan perasaan, ketangisan dan keterbukaan yang diperoleh oleh orang yang bershalat dalam hatinya, adalah dari kedekatan Tuhan dari hatinya. Dan apabila tidak ada kedekatan ini, yaitu dekat dengan tempat, maka tidak adalah artinya, selain dari kedekatan dengan hidayah, rahmat dan terbuka hijab. Dan dikatakan, bahwa hamba itu apabila bershalat dua raka'at, niscaya ta’jublah 10 barisan daripada malaikat. Tiap-tiap barisan adalah 10.000 banyaknya. Dan Allah membanggakan dengan hamba ALLAH yang bershalat itu, kepada 100.000 malaikat. Yang demikian ini, adalah karena hamba itu telah mengumpulkan di dalam shalatnya, antara berdiri, duduk, ruku’ dan sujud. Dan telah dipisah-pisahkan oleh Allah yang demikian, itu kepada 40.000 malaikat. Maka para malaikat yang berdiri, mereka tidak ruku’ sampai hari qiamat. Dan yang sujud, tidak mengangkat kepalanya, sampai hari qiamat. Dan begitu pulalah yang ruku’ dan yang duduk. Maka apa yang direzekikan oleh Allah kepada para malaikat itu, dari kedekatan diri dan derajat tinggi, adalah berlaku terus-menerus demikian, dalam suatu keadaan, tiada bertambah dan tiada berkurang. Dan karena itulah, diceriterakan oleh Allah, bahwa para malaikat itu berkata: “Dan tak adalah dari kami selain dari suatu kedudukan yang dimaklumi”. S 37 Ash Shaffaat ayat 164. Dan manusia itu berbeda daripada malaikat, tentang kenaikan dari tingkat ke tingkat. Maka senantiasalah manusia itu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, lalu memperoleh faedah bertambahnya ke dekat itu. Dan pintu untuk tambah mendekat, adalah tertutup bagi para malaikat as dan tidaklah bagi masing-masing malaikat, melainkan derajatnya yang diuntukkan kepadanya dan ibadahnya yang tetap dikerjakannya. Tidak berpindah kepada yang lain dan tidak berhenti dari ibadah yang tertentu itu. “Para malaikat itu tiada menyombong dengan ibadahnya dan tiada merasa letih. Mereka bertasbih siang dan malam dan tiada pernah berhenti”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 19-20. Kunci bertambahnya derajat itu, ialah shalat. Berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman itu. Mereka yang khusyu’ dalam shalatnya”. S 23 Al Mukminuun ayat 1 dan 2. Allah memujikan mereka sesudah iman, dengan shalat tertentu, yang disertai dengan khusyu’. Kemudian disudahi ALLAH sifat-sifat orang yang beruntung itu, dengan shalat pula, maka berfirman IA: “Dan mereka yang menjaga shalatnya”. S 23 Al Mukminuun ayat 9. Kemudian, berfirman Allah Ta’ala, mengenai buah dari sifat-sifat itu: “Itulah orang-orang yang mempusakai. Mereka yang mempusakai sorga firdaus. Mereka kekal di dalamnya”. S 23 Al Mukminuun ayat 10-11. Allah yang menyifatkan mereka, pertama dengan keberuntungan dan penghabisan dengan mempusakai sorga firdaus dan menurut pendapatku, bahwa banyaknya kata-kata dari lidah serta hati alpa, berkesudahan sampai kepada batas itu. Karena itulah, berfirman Allah Ta’ala tentang orang-orang yang berlawanan dengan mereka: “Apakah yang membawa kamu masuk neraka? Mereka menjawab: “Kami tiada termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat”. S 74 Al Muddatstsir ayat 42-43. Orang-orang yang mengerjakkan shalat itu, ialah mereka yang mewarisi sorga firdaus. Merekalah yang menyaksikan nur Allah Ta’ala, memperoleh kesenangan dengan mendekati ALLAH dan dekatnya dari hati mereka. Kita bermohon pada Allah, kiranya dijadikan ALLAH kita sebahagian dari mereka dan dilindungi ALLAH kita dari siksaan yang ditimpakan kepada orang-orang yang terhias kata-katanya dan keji perbuatannya. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, yang menganugerahkan bermacam-macam nikmat, yang qadim, mempunyai banyak kebaikan. Rahmat Allah kepada tiap-tiap hamba ALLAH yang pilihan!. HIKAYAT DAN CERITERA: Tentang shalat orang-orang khusyu’. Kiranya Allah merelai amalan mereka. Ketahuilah, bahwa khusyu’ adalah buah iman dan natijah/hasil keyakinan, yang diperoleh dengan kebesaran Allah ‘Azza wa jalla. Siapa yang direzekikan demikian, adalah ia orang khusyu’ di dalam shalat dan pada bukan shalat. Bahkan di dalam kesepiannya dan di dalam kamar kecil ketika membuang air. Sesungguhnya, yang mengharuskan khusyu’ itu, ialah mengetahui melihatnya Allah kepada hamba, mengetahui kebesaran ALLAH dan mengetahui keteledoran hamba. Maka dari segala pengetahuan ini, terjadilah khusyu’ dan tidaklah pengetahuan itu tertentu dengan shalat saja. Dari itu diriwayatkan dari setengah mereka, bahwa ia tiada mengangkatkan kepalanya arah ke langit selama 40 tahun, karena malu kepada Allah Ta’ala dan khusyu’ kepada ALLAH. Ar-Rabi’ bin Khaitsam, karena sangat memincingkan matanya dan menekurkan kepalanya, lalu disangka oleh sebahagian orang, bahwa ia buta. Ia bulak-balik ke rumah Ibnu Mas’ud selama 20 tahun. Apabila dilihat oleh budak wanita Ibnu Mas’ud, lalu budak itu mengatakan kepada Ibnu Mas’ud: “Teman tuan yang buta itu telah datang!”. Maka Ibnu Mas’ud tertawa mendengar perkataan budak wanitanya itu. Apabila Ar-Rabi’ mengetok pintu, lalu budak wanita itu keluar. Maka dilihatnya Ar-Rabi’ menekur dan memincingkan matanya. Dan Ibnu Mas’ud, apabila memandang kepadanya berkata: “Gembirakanlah orang-orang yang merendah kan diri!”. S 22 Al Hajj ayat 34. Demi Allah! kalau dilihat engkau oleh Muhammad saw, niscaya gembira beliau kepada engkau”. Pada riwayat yang lain: “niscaya sayang beliau akan engkau”. Dan pada riwayat yang lain: “niscaya tertawa beliau”. Pada suatu hari, Ar-Rabi’ pergi bersama Ibnu Mas’ud kepada tukang besi. Maka tatkala dilihatnya tempat api yang ditiup dan api yang menyala-nyala, lalu peninglah Ar-Rabi’ dan jatuh pingsan ke lantai. Dan Ibnu Mas’ud duduk pada kepalanya, sampai masuk waktu shalat, dia belum sembuh. Lalu didukung oleh Ibnu Mas’ud dibawa pulang ke rumahnya. Ia pingsan terus sampai kepada saat dia mulai pening tadi. Sehingga luputlah lima shalat. Dan Ibnu Mas’ud yang duduk pada kepalanya mengatakan: “Demi Allah! Inilah yang dinamakan takut!”. Ar-Rabi’ mengatakan: “Tiadalah sekali-kali aku masuk ke dalam shalat, yang aku pentingkan di dalamnya, selain dari apa yang aku bacakan dan apa yang dibacakan kepadaku”. Adalah ‘Amir bin Abdullah, termasuk orang yang khusyu’ di dalam shalat. Dan apabila ia mengerjakan shalat, kadang-kadang anak perempuannya memukul rebana dan wanita-wanita bercakap-cakap sesuka hatinya di rumah. Ia tidak mendengar dan tidak memahami yang demikian itu. Dan pada suatu hari, ditanyakan kepadanya: “Adakah jiwa engkau mengatakan sesuatu kepada engkau di dalam shalat?”. Ia menjawab: “Ya, ada, dengan tegakku dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla dan berpaling aku kepada salah satu dari dua negei”. Ditanyakan lagi: “Adakah engkau mendapati sesuatu daripada hal-ikhwal duniawi?”. Ia menjawab: “Meskipun tanggal gigiku, aku lebih menyukai daripada aku dapati di dalam shalatku, apa yang kamu dapati”. Dan adalah ‘Amir bin Abdullah mengatakan lagi: “Jikalau terbukalah tutup, niscaya tidaklah betambah keyakinanku”. Dan adalah Muslim bin Yassar, termasuk diantara orang yang khusyu' di dalam shalat. Dan telah kami nukilkan dahulu, bahwa ia tiada merasa dengan jatuhnnya tiang dalam masjid dan dia waktu itu di dalam shalat. Dan kenallah salah satu daripada anggota badan sebahagian mereka, yang memerlukan kepada dipotong. Dan pemotongan itu, tidak mungkin dilakukan. Maka ada yang mengatakan, bahwa kalau dia di dalam shalat, niscaya tiada merasakan dengan apa yang dilakukan ke atas dirinya. Maka dipotonglah, ketika ia di dalam shalat. Betapa sebahagian mereka bahwa shalat itu dari akhirat. Apabila kita masuk ke dalamnya, maka kita telah keluar dari dunia. Ditanyakan kepada seorang khusyu’ yang lain: “Adakah jiwamu membicarakan sesuatu tentang urusan duniawi di dalam shalat?. Ia menjawab: “Tidak dalam shalat dan tidak pada yang lain dari shalat”. Ditanyakan setengah mereka: “Adakah engkau teringat sesuatu dalam shalat?”. Maka ia menjawab: “Adakah sesuatu yang lain, yang lebih saya cintai daripada shalat, maka saya ingat dia di dalam shalat?”. Berkata Abud-Darda’ ra: “Diantara tanda mengertinya seseorang, ialah dia memulai dengan keperluannya, sebelum ia masuk ke dalam shalat. Supaya ia masuk ke dalam shalat itu dan hatinya kosong dari yang lain”. Setengah mereka, tidak berlama-lama di dalam shalat, karena takut datang was-was (gangguan pikiran, tiada tenteram). Diriwayatkan, bahwa ‘Ammar bin Yasir, mengerjakan suatu shalat lalu tidak berlama-lama padanya. Maka orang bertanya kepadanya: “Mengapakah engkau sederhanakan shalat itu, wahai Abul-Yaqdhan?”. Maka ‘Ammar menjawab: “adakah engkau melihat, aku mengurangkan sesuatu dari batas-batas yang dimestikan dari shalat?”. “Tidak!” menjawab yang bertanya tadi. Maka menyambung ‘Ammar: “Aku memburu, di waktu setan lengah. Bahwa Rasulullah saw bersabda: “Bahwa hamba yang mengerjakan shalat itu, tidak dituliskan untuknya 1/2nya shalat, tidak 1/3nya, tidak 1/4nya, tidak 1/5nya, tidak 1/6nya dan tidak 1/10nya”. Dan seterusnya Nabi menjelaskan: “Sesungguhnya, dituliskan bagi hamba itu daripada shalatnya, ialah apa yang dipergunakannya akal padanya”. Dan diceriterakan bahwa Thalhah, Az-Zubair dan segolongan dari para shahabat ra, adalah termasuk diantara orang yang mengerjakan shalat dengan sederhana (tidak mengerjakannya dengan cara yang memberatkan). Mereka itu mengatakan: “Kami menyegerakan shalat itu, karena menjaga daripada gangguan setan”. Diriwayatkan bahwa Umar bin Al-Khaththab ra berpidato atas mimbar: “Sesungguhnya orang itu beruban kedua jambangnya dalam Islam dan tidak disempurna kannya shalat karena Allah Ta’ala”. Lalu orang menanyakan: “Bagaimanakah, maka demikian?”. Menjawab Umar: “Tidak sempurna khusyu’nya, tawadlunya dan menghadapnya kehadirat Allah Ta’ala di dalam shalat itu”. Ditanyakan Abul Aliyah tentang firman Allah Ta’ala: “Mereka yang lalai dari shalatnya”. S 107 Al Maa’uun ayat 5. Lalu ia menjawab: “Yaitu, orang yang lalai dalam shalatnya. Ia tidak tahu, pada raka’at berapa ia berpindah. Adakah atas yang genap atau atas yang ganjil?”. Dan berkata Al-Hasan: “Yaitu, orang yang lalai dari waktu shalat, sehingga waktu itu keluar”. Berkata setengah mereka: “Yaitu, orang kalau mengerjakan shalat pada awal waktu, ia tiada gembira. Dan kalau dikemudiankannya dari waktu, ia tiada merasa sedih. Ia tiada melihat kebajikan dengan menyegerakan shalat dan dosa dengan mengemudiankannya”. Ketahuilah! Bahwa shalat itu, kadang-kadang dikira sebahagiannya dan ditulis sebahagiannya, tanpa sebahagian lagi, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits kepada yang demikian itu. Kalau ada ahli fiqih mengatakan bahwa shalat itu mengenai syahnya, tidak terbagi-bagi. Tetapi yang demikian, adalah mempunyai pengertian lain yang telah kami sebutkan dahulu. Pengertian itu, telah ditunjukkan oleh beberapa hadits, karena telah tersebut pada suatu hadits, tentang “Penempelan kekurangan fardlu dengan sunnat”. Pada suatu hadits tersebut: “Berkata ‘Isa as: berfirman Allah Ta’ala: “Dengan fardlu, mendapat kelepasan hambaKU daripada ‘azabKU. Dengan sunnat, mendekatkan diri hambaKU kepadaKU”. Bersabda Nabi saw: “Berfirman Allah ta’ala: Tiada mendapat kelepasan hambaKU daripada ‘azabKU, selain dengan mengerjakan apa yang AKU wajibkan kepadanya”. Diriwayatkan bahwa nabi saw: “Mengerjakan suatu shalat, maka tertinggallah dari bacaannya suatu ayat”. Maka tatkala Nabi saw berpaling. Lalu bertanya: “Apakah yang aku bacakan tadi?”. Maka berdiam dirilah orang ramai, lalu Nabi saw bertanya kepada Ubai bin Ka’ab ra. Ubai menjawab: “Engkau membaca surat anu dan engkau tinggalkan ayat anu. Kami tiada mengetahui, apakah ayat itu sudah dimansukhkan atau sudah diangkatkan?”. Maka menyahut Nabi saw: “Benar, engkau, wahai Ubai!”, “kemudian Nabi saw menghadap kepada orang yang banyak itu, seraya bersabda: “Bagaimanakah kiranya keadaan kaum yang mengerjakan shalatnya, menyempurnakan shafnya dan Nabi mereka berada dihadapan mereka? Mereka tiada tahu apa yang dibacakan Nabi mereka, kepada mereka dari kitab Tuhan. Ketahuilah bahwa Bani Israil telah berbuat demikian. Maka diwahyukan oleh Allah ‘Azza wa jalla kepada Nabi mereka, yang artinya: “Katakanlah kepada kaummu!: Engkau hadirkan kepadaKU badanmu, engkau berikan kepadaKU lidahmu dan engkau jauhkan daripadaKU hatimu. Adalah batil apa yang engkau kerjakan itu!”. Ini menunjukkan bahwa memperhatikan apa yang dibacakan imam dan memahaminya, adalah ganti daripada membacakan sendiri surat itu. Dan berkata setengah mereka: “Bahwa orang yang bersujud suatu sujud kepada Allah, adalah ia menghampirkan diri dengan sujud itu kepada ALLAH. Maka kalau dibagikan segala dosanya pada sujudnya itu kepada penduduk kotanya, niscaya binasalah mereka itu semuanya”. Lalu orang bertanya: “Bagaimanakah terjadi yang demikian itu?”. Menjawab setengah mereka tadi: “Adalah orang itu sujud pada Allah, sedang hatinya memperhatikan kepada hawa nafsu dan menyaksikan yang batil, yang telah mempengaruhinya”. Inilah sifat orang-orang yang khusyu’! telah dibuktikan oleh ceritera dan riwayat tadi serta yang telah kami bentangkan, bahwa pokok pada shalat ialah khusyu’ dan kehadiran hati dan semata-mata gerak serta alpa, adalah kurang faedahnya pada hari kembali (hari akhirat). Wallahu A’lam! Allah Maha Tahu! Kita bermohon kepada Allah taufiq yang baik!. BAB KEEMPAT: Tentang ke-imam-man dan mengikuti imam. Mengenai rukun shalat, sesudah salam dan atas imam ada tugas-tugas sebelum shalat dan pada pembacaan: Adapun tugas-tugas sebelum shalat, ada 6: Pertama: bahwa tidaklah seorang itu tampil menjadi imam, kepada orang banyak yang tidak suka kepadanya. Kalau orang banyak itu tidak sekata, maka yang dilihat, ialah yang terbanyak. Dan kalau golongan yang sedikit, terdiri dari orang-orang baik dan beragama, maka memandang kepada pendapat mereka adalah lebih utama. Pada hadits tersebut: “Tiga golongan tidak dilampaui oleh shalatnya akan kepalanya: budak yang lari dari tuannya, isteri yang dimarahi suaminya dan imam yang mengimami suatu kaum, dimana kaum itu tiada suka kepadanya”. Sebagaimana dilarang tampil menjadi imam. Karena tidak disukai orang banyak, maka seperti itu pula dilarang tampil menjadi imam, bila ada di belakangnya orang yang lebih ahli fiqih, daripadanya. Kecuali apabila orang yang lebih utama daripadanya itu, menolak. Maka bolehlah ia tampil menjadi imam. Kalau tidak ada sesuatu daripada yang tersebut itu, maka hendaklah ia tampil, manakala telah meyakini dan mengetahui pada dirinya, terdapat syarat-syarat menjadi imam. Dan dimakruhkan ketika itu menolak. Sesungguhnya dikatakan, bahwa ada suatu kaum yang tolak-menolak menjadi imam sesudah selesai qamat dari shalat, maka terjadilah kekeruhan diantara mereka. Dan apa yang diriwayatkan, tentang tolak-menolaknya menjadi imam diantara para shahabat ra, sebabnya ialah, karena pilihan mereka akan orang yang dilihatnya lebih utama untuk itu. Atau karena kekuatiran mereka kepada dirinya akan kealpaan dan beratnya tanggungan shalat para ma’mum. Karena imam itu adalah penanggung. Dan siapa yang tiada membiasakan dirinya menjadi imam, kadang-kadang hatinya bimbang dan keikhlasannya kacau di dalam shalat, karena malu kepada para pengikut (ma’mum). Lebih-lebih waktu membaca bacaan dengan suara keras. Dari itu terdapatlah beberapa sebab, bagi orang yang menjaga diri daripada yang demikian itu. Kedua: apabila seseorang disuruh pilih antara melakukan adzan dan menjadi imam, maka wajarlah dipilih menjadi imam. Masing-masing dari yang dua ini, mempunyai kelebihan. Tetapi mengumpulkan keduanya pada satu orang, adalah makruh. Dari itu, seyogyalah bahwa imam itu, tidak muadzin (orang yang melakukan adzan). Dan apabila sukar dikumpulkan itu, maka yang lebih utama, ialah menjadi imam. Berkata segolongan ulama, bahwa adzan adalah lebih utama. Karena apa yang kami nukilkan dahulu tentang keutamaan adzan dan karena sabda Nabi saw: “Imam itu penanggung dan muadzin itu yang diterima kepercayaannya (dipegang amanahnya)”. Lalu mereka mengatakan, sulitnya tanggung jawab di dalam shalat. Bersabda Nabi saw: “Imam itu adalah orang kepercayaan. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah kamu dan apabila ia sujud, maka sujudlah kamu!”. Pada hadits, tersebut: “Kalau imam itu menyempurnakan dengan baik, maka kesempurnaan itu adalah bagi imam dan para ma’mum. Dan kalau kurang, maka kekurangan itu adalah atas imam dan tidak atas para ma’mum”. Dan karena Nabi saw berdo’a: “Ya Allah, ya Tuhanku! Berilah petunjuk kepada imam-imam shalat dan ampunilah orang-orang yang melakukan adzan”. Ampunan adalah lebih utama dicari, karena petunjuk itu dimaksudkan untuk memperoleh ampunan. Dalam hadits tersebut: “Barangsiapa menjadi imam pada suatu masjid 7 tahun, niscaya wajiblah baginya sorga, tanpa hisab (tanpa dihitung amalannya). Dan barangsiapa melakukan adzan 40 tahun, niscaya ia masuk sorga, tanpa hisab”. Karena itu, dinukilkan dari para shahabat ra, bahwa mereka tolak menolak menjadi imam. Dan pendapat yang lebih kuat, adalah menjadi imam itu lebih utama, karena Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar dan para imam sesudahnya, membiasakan diri menjadi imam dalam shalat. Ya, benar pada menjadi imam itu, terdapat bahaya tanggung jawab. Dan kelebihan itu, adalah serta bahaya itu, sebagaimana pangkat jabatan amir dan khalifah, adalah lebih utama, karena sabda Nabi saw: “Sesungguhnya sehari bagi seorang sultan (penguasa) yang adil, adalah lebih utama daripada ibadahnya 70 tahun”. Tetapi pada jabatan-jabatan tersebut itu, ada bahayanya. Dari itu, wajiblah didahulukan orang yang lebih utama dan lebih banyak ilmu fiqihnya. Bersabda Nabi saw: “Imam-imammu itu, adalah orang-orang yang memberi syafa’at kepadamu”. Atau menurut riwayat yang lain, Nabi saw bersabda: “Adalah utusanmu kepada Allah”. kalau kamu bermaksud membersihkan shalatmu, maka dahulukanlah orang-orang yang baik daripada kamu, menjadi imam”. Berkata setengah salaf: “Tiadalah sesudah nabi-nabi, yang lebih utama daripada ulama. Dan tidalah sesudah para ulama, yang lebih utama daripada imam-imam shalat. Karena mereka adalah berdiri, diantara hadirat Allah ‘Azza wa jalla dan makhluk ALLAH. Yang ini, dengan “kenabian”, yang ini, dengan “keilmuan” dan yang ini, dengan “tiang agama”, yaitu: shalat”. Dengan alasan inilah, para shahabat mengambil dalil, mendahulukan Abu Bakar Shiddiq ra untuk memegang jabatan khalifaah, karena mereka menyatakan: “Kami memandang, bahwa shalat itu adalah tiang agama. Maka kami pilihlah untuk urusan duniawi kami, orang yang telah direlai Nabi saw untuk urusan agama kami”. Dan tidak mereka mendahulukan Bilal, beralasan bahwa Bilal itu telah direlai Nabi saw untuk adzan. Dan apa yang diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki meminta kepada Nabi saw: “Ya Rasulullah! Tunjukilah aku kepada amal, yang dapat kiranya aku memperoleh sorga!”. Maka menjawab Nabi saw: “Hendaklah kamu menjadi muadzin!”. Menjawab orang itu: “Aku tidak sanggup menjadi muadzin”. Menyambung Nabi saw: “Hendaklah kamu menjadi imam!”. Menyahut orang itu lagi: “Aku tidak sanggup menjadi imam!”. Lalu bersabda Nabi saw: “Bershalatlah di belakang imam!”. Mungkin orang laki-laki tersebut menyangka, bahwa Nabi saw tidak merelai ke-imam-mannya. Karena adzan itu adalah kepadanya dan keimaman itu adalah kepada orang banyak dan orang banyak itu mendahulukannya. Kemudian, mungkin laki-laki itu menyangka, bahwa ia menyanggupi menjadi imam. Ketiga: bahwa imam itu menjaga segala waktu shalat. Maka bershalatlah ia pada awal waktunya, supaya memperoleh kerelaan Allah Ta’ala. “Maka keutamaan awal waktu, dari akhir waktu, adalah seperti keutamaan akhirat, dari dunia”, demikian diriwayatkan dari Rasulullah saw”. Pada hadits tersebut: “Bahwa hamba itu untuk mengerjakan shalat pada akhir waktunya dan tidak sampai terluput daripadanya, meskipun telah terluput dari awal waktunya, adalah lebih baik baginya daripada dunia dan isinya”. Dan tidak seyogyalah, mengemudiankan shalat, untuk menunggu banyaknya orang berjama’ah. Tetapi haruslah menyegerakan shalat untuk memperoleh kelebihan awal waktu. Maka kelebihan awal waktu itu, adalah lebih utama daripada banyaknya jama’ah dan panjangnya surat yang dibaca. Ada yang mengatakan, bahwa mereka apabila telah hadir dua orang pada shalat jama’ah, mereka tiada menunggu orang ketiga. Dan apabila telah hadir empat orang pada shalat janazah (shalat atas orang meninggal), mereka tiada menunggu orang kelima. Nabi saw telah terlambat dari shalat Shubuh, dimana Nabi saw dan para shahabatnya dalam suatu perjalanan jauh. Sesungguhnya Nabi saw terlambat itu, adalah karena bersuci, lalu beliau tidak ditunggu. Dan ditampilkan ke depan Abdur Rahman bin ‘Auf, lalu bershalat bersama mereka, sehingga luputlah seraka’at bagi Nabi saw maka bangunlah beliau mengerjakannya. Abdur Rahman bin ‘Auf berkata: “Restuilah kami dari yang demikian”. Maka Nabi saw menjawab: “Kamu sudah bagus seperti itu, maka buatlah terus!”. Dan Nabi saw terlambat pada shalat Dhuhur, lalu mereka menampilkan Abu Bakar ra menjadi imam. Ketika Rasulullah saw datang dan Abu Bakar dalam shalat, lalu Nabi saw berdiri di sampingnya”. Dan tidaklah atas imam itu menunggu muadzin. Tetapi muadzin harus menunggu imam, untuk melakukan qamat. Apabila imam itu telah datang, maka tidaklah muadzin itu menunggu orang lain. Keempat: bahwa menjadi imam itu adalah semata-mata ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla dan menunaikan amanah Allah Ta’ala, mengenai suci dan seluruh syarat-syarat shalatnya. Adapun ikhlas, yaitu tidak mengambil upah atas pekerjaannya menjadi imam. Rasulullah saw menyuruh Usman bin Abil-‘Ash Ats-Tsaqafi, dengan mengatakan: ”Ambillah seorang muadzin, yang tidak mengambil upah atas adzannya”. Adzan adalah jalan kepada shalat. Maka shalat itu lebih utama lagi tidak diambil upah. Kalau upah ittu diambil dari masjid sebagai penghidupan, dari harta yang telah diwakafkan untuk orang yang ditugaskan menjadi imam di masjid itu atau dari sultan atau dari seseorang manusia, maka tidaklah dihukumkan haramnya. Tetapi adalah makruh hukumnya. Kemakruhan pada shalat fardlu adalah melebihi dari kemakruhan pada shalat tarawih. Upah itu adalah berdasarkan atas tetapnya mengunjungi tempat shalat dan mengurus kepentingan masjid, tentang mendirikan shalat jama’ah. Dan tidaklah upah itu karena shalat itu sendiri. Adapun amanah, ialah kesucian bathin dari fasiq, dosa besar dan berkekalan berbuat dosa kecil. Maka orang yang dicalonkan untuk menjadi imam, seyogyalah menjaga diri dari perbuatan yang tersebut, dengan seluruh tenaga yang ada padanya. Karena imam itu adalah seperti utusan dan pembawa syafa’at kepada orang banyak. Maka sepantasnyalah, dia orang yang terbaik daripada golongannya. Demikian pula, suci dhahir daripada hadats dan najis, karena tidak ada yang memandangnya, selain ia sendiri kalau ia teringat kepada hadats, pada waktu sedang shalat atau keluar daripadanya angin, maka tidaklah wajar ia merasa malu. Tetapi diambilnyalah tangan orang yang berada dekatnya dan orang itu menggantikannya selaku imam. Sesungguhnya, Rasulullah teringat akan hadats besar/janabah waktu sedang shalat, lalu beliau gantikan orang lain menjadi imam dan beliau pergi mandi. Kemudian kembali lagi dan masuk dalam shalat. Berkata Sufyan: “Bershalatlah di belakang tiap-tiap orang yang baik dan orang yang alim. Bukan orang yang peminum khamer atau berterang-terangan berbuat fasiq atau mendurhakai ibu bapak atau pembuat bid’ah atau budak yang melarikan diri daripada tuannya”. Keliima: bahwa imam itu tiada bertakbir, sebelum shaf/barisan shalat itu lurus. Maka hendaklah ia berpaling ke kanan dan ke kiri. Kalau dilihatnya ada yang belum beres, maka disuruhnya supaya dibereskan dengan meluruskan shaf. Ada yang mengata kan, bahwa mereka membuat setentang dengan bahu-bahu dan merapatkan diantara tumit-tumit. Dan imam itu tidak bertakbir sebelum selesai muadzin daripada qamat. Dan muadzin itu mengemudiankan qamat daripada adzan, sekedar selesai persiapan orang yang banyak untuk shalat. Pada hadits tersebut: “Hendaklah muadzin itu berhenti diantara adzan dan qamat, sekedar selesailah orang makan dari makanannya dan orang membuag air dari hajatnya”. Yang demikian itu, adalah karena Nabi saw melarang daripada menolak dua keadaan yang tidak disukai (lapar dan membuang air) dan menyuruh dengan mendahulukan makan malam daripada shalat ‘Isya, karena mencari keselesaian hati daripada segala gangguan. Keenam: bahwa imam itu meninggikan suaranya dengan takbiratul ihram dan takbir-takbir yang lain. Dan ma’mum itu, tidak meninggikan suaranya, selain sekedar didengar oleh dirinya sendiri. Dan imam itu meniatkan menjadi imam, supaya memperoleh pahala. Kalau tidak diniatkannya, maka shalatnya dan shalat ma’mumnya syah, apabila para ma’mum itu meniatkan mengikut imam. Dan mereka memperoleh pahala berjama’ah, sedang imam itu tiada memperoleh pahala menjadi imam. Dan hendaklah ma’mum itu mengemudiankan takbirnya daripada takbir imam. Yaitu dimulainya bertakbir sesudah selesai imam dari pada takbir. Wallahu ‘alam! Allah Yang Maha Tahu!. Adapun tugas pembacaan di dalam shalat ada tiga: Pertama: membaca dengan suara yang dapat di dengar olehnya sendiri (secara sirr), do’a iftitah dan ta’awudz (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk), seperti orang yang bershalat sendirian. Dan membaca dengan suara keras al-fatihah dan surat sesudahnya pada semua shalat Shubuh dan dua raka’at pertama ‘Isya dan Maghrib. Dan begitu pula bagi orang yang bershalat sendirian. Dan mengeraskan bacaan “amin” pada shalat jahriyah (shalat yang dikeraskan suara bacaannya, yaitu Shubuh, Maghrib dan ‘Isya) dan begitupula ma’mum. Dan ma’mum itu menyertakan bacaan aminnya bersama dengan amin imam, tidak beriring-iringan. Dan mengeraskan bacaan “Bismillaahir rahmaanir-rahiim”. Dan mengenai ini, terdapatlah beberapa hadits yang bertentangan satu dengan lainnya. Tetapi Asy Syafi’i ra memilih dengan jahar/suara keras. Kedua: bahwa imam pada tegaknya itu ada tiga kali diam. Begitulah di riwayatkan oleh Samurah bin Jundub dan Imran bin Al-Husain daripada Rasulullah saw diam yang pertama, yaitu apabila telah bertakbiratul-ihram. Dan diam inilah yang terpanjang daripadanya, sekedar dapat dibaca oleh orang yang di belakang imam akan surat al-fatihah. Yaitu, waktu imam membaca do’a iftitah. Dan kalau imam itu tidak diam, maka luputlah bagi ma’mum mendengar bacaan imam dan imamlah yang menanggung akan kekurangan yang terdapat pada shalat ma’mum. Kalau ma’mum itu tiada membaca Fateha pada waktu imam diam dan menghabiskan waktunya dengan yang lain, maka resikonya adalah tanggungan mereka sendiri, tidak tanggungan imam. Diam yang kedua, yaitu: apabila selesai daripada membaca al-fatihah, gunanya supaya disempurnakan oleh orang yang membaca al-fatihah pada diam yang pertama tadi, akan al-fatihahnya. Dan lamanya, ialah setengah daripada diam yang pertama diatas. Dan diam yang ketiga, yaitu apabila telah selesai daripada membaca surat, sebelum ia ruku’. Diam inilah yang tercepat, yaitu: sekedar terpisahlah bacaan dari takbir untuk ruku’. Dan Nabi saw melarang disambung padanya. Dan ma’mum tidak membaca di belakang imam, selain daripada al-fatihah. Kalau imam itu tiada diam, maka ma’mum membaca al-fatihah bersama imam. Dan yang teledor dalam hal ini, ialah imam. Kalau ma’mum itu tiada mendengar bacaan imam pada shalat jahriyah, karena jauh atau pada shalat sirriyah, maka tiada mengapa ma’mum itu membaca surat. Ketiga: bahwa imam itu membaca pada shalat Shubuh, dua surat yang panjang yang kurang dari 100 ayat panjangnya. Karena memanjangkan bacaan shalat Fajar/Shubuh dan gelap padanya adalah sunnat dan bila tidak mendatangkan melarat kepadanya, oleh perjalanan jauh. Dan tiada mengapa membaca pada rakaat kedua, penghabisan surat, kira-kira 30 atau 20 ayat lagi, sampai pada kesudahan ayat itu. Karena yang demikian, tiadalah banyak berulang-ulang pada pendengaran, sehingga lebih mendalam untuk pengajaran dan lebih membawa kepada pemikiran. Hanya sebagian ulama, memandang makruh membaca sebagian permulaan surat dan memotong pembacaan itu. Dan diriwayatkan bahwa Nabi saw “Membaca sebagian surat Yunus. Maka tatkala sampai kepada penyebut Musa dan Fir’aun, lalu Nabi memutuskannya dan terus ruku’”. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw membaca pada shalat Shubuh suatu ayat dari surat Al-baqarah yaitu firman ALLAH: “Katakan! Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”. S 2 Al Baqarah ayat 136. Pada rakaat kedua: “Wahai Tuhan kami! Kami mempercayai apa yang engkau turunkan”. S 3 Ali ‘Imran ayat 53. Nabi saw mendengar Bilal membaca, dengan memetik dari sana sini, lalu bertanya dari yang demikian itu. Maka Bilal menjawab: “Aku mencampurkan yang baik dengan yang baik”. Maka sahut Nabi saw: “Bagus, baik sekali!”. Nabi saw membaca pada shalat Dhuhur, surat yang panjang ayat-ayatnya, sampai 30 ayat. Dan pada Ashar, setengah dari itu. Dan pada Maghrib, membaca akhir dari surat-surat yang panjang itu. Dan penghabisan shalat dikerjakan Nabi saw ialah shalat Maghrib, dimana Nabi saw membaca padanya surat Al Mursalat. Dan tidaklah Nabi saw mengerjakan shalat sesudah itu, sehingga wafatlah beliau. Kesimpulannya, meringankan shalat, adalah lebih utama, lebih-lebih apabila jama’ah itu banyak. Bersabda Nabi saw tentang keringanan ini: “Apabila bershalat seorang kamu dengan orang banyak, maka hendaklah diiringkan, karena diantara mereka ada yang lemah yang tua dan yang berkeperluan”. Dan apabila bershalat sendirian, maka dapatlah memanjangkannya sesuka hati. Adalah Mu’az bin Jabal bershalat ‘Isya dengan suatu kaum, lalu dibacanya surat Al Baqarah. Maka keluarlah seorang dari shalat dan menyempurnakan sendiri shalatnya. Kemudian, kaum itu mengatakan: “Telah munafik orang itu!”. Maka datanglah Mu’az dan laki-laki itu, mengadu pada Rasulullah saw lalu Nabi saw marah kepada Mu’az, seraya bersabda: “Engkau berbuat fitnah, hai Mu’az! Baca sajalah surat “Sabbih”, “Wassamaa-i wath-thaariqi”, dan “Wasy-syamsi wa dluhaahaa!”. Adapun tugas mengenai rukun-rukun, maka adalah tiga: Pertama: bahwa imam itu meringankan ruku’ dan sujud. Tidak melebihkan pembacaan tasbih dari tiga kali. Diriwayatkan dari Anas, bahwa ia berkata: “Tidaklah aku melihat shalat yang lebih ringan dan sempurna daripada shalat Rasulullah saw”. Ya benar, diriwayatkan pula bahwa Anas bin Malik tatkala mengerjakan shalat di belakang Umar bin Abdul Aziz, ketika itu Umar bin Abdul Aziz menjadi amir Madinah, mengatakan: “Belum pernah aku bershalat di belakang seseorang, yang lebih menyerupai shalatnya dengan shalat Rasulullah saw daripada pemuda ini”. Kemudian Anas meneruskan: “Kami membaca tasbih di belakangnya sepuluh-sepuluh”. Dan diriwayatkan secara tidak terperinci, bahwa para sahabat itu, berkata: “Adalah kami membaca tasbih di belakang Rasulullah saw pada ruku’ dan sujud sepuluh-sepuluh”. Adalah yang demikian itu (membaca tasbih sepuluh-sepuluh) baik, tetapi membaca tiga kali, apabila jama’ah itu banyak, adalah lebih baik. Apabila tiada hadir pada shalat jama’ah, kecuali orang-orang yang menyerahkan seluruh waktunya untuk agama, maka tidak mengapa membaca tasbih sepuluh kali. Inilah cara menghimpunkan di antara riwayat-riwayat yang berbeda-beda itu. Dan seyogyalah, imam membaca ketika mengangkatkan kepala nya dari ruku’: “Samiallaahu liman hamidah” (didengar Allah akan siapa yang memujikan ALLAH). Kedua: mengenai ma’mum. Seyogyalah ia tiada menyamai imam pada ruku’ dan sujud, tetapi mengemudiankan daripadanya. Maka ia tiada turun kepada sujud, kecuali apabila telah sampai dahi imam kepada tempat sujud. Begitulah para shahabat mengikuti Rasulullah saw dan tiada turun kepada ruku’, sehingga imam itu sudah lurus badannya pada ruku’. Ada yang mengatakan, bahwa manusia itu keluar dari shalat, terdiri daripada tiga kelompok: sekelompok dengan 25 shalat, yaitu: mereka yang bertakbir dan ruku’ sesudah imam; sekelompok dengan satu shalat, yaitu: mereka yang menyamai dengan imam; dan sekelompok lagi dengan tanpa shalat, yaitu: mereka yang mendahului imam. Berbeda pendapat para ulama, tentang imam di dalam ruku’, apabila ia menunggu orang yang akan masuk ke dalam shalat, supaya memperoleh keutamaan jama’ah dan mendapat raka’at itu?. Bahwa, yang lebih utama, menunggu yang demikian tadi, secara ikhlas, tiada mengapa (boleh), asal tiada tampak berlebih kurang bagi orang-orang yang datang kepada shalat itu. Sebab hak mereka, dijaga, dengan meninggalkan berpanjang-panjang yang membawa kemelaratan kepada mereka. Ketiga: imam itu tiada menambahkan pada do’a tasyahhud, dari sekedar tasyahhud saja, karena menjaga daripada memanjang-manjangkan. Dan tidak menentukan dirinya sendiri dengan do’a, tetapi dengan kata-kata jama’, yaitu: “Allaahum-maghfir lanaa” (Ya Allah, ya Tuhanku! Ampunilah kami!). dan tidak: “Allaahum-maghfir-lii” (Ya Allah, ya Tuhanku! Ampunilah aku!). maka dimakruhkan bagi imam, menentukan dirinya sendiri dengan do’a. Dan tiada mengapa ia meminta perlindungan pada tasyahhud, dengan lima kalimat yang diterima daripada Rasulullah saw yaitu: “Kami berlindung dengan Engkau daripada azab neraka jahannam dan daripada azab kubur. Dan kami berlindung dengan Engkau daripada fitnah hidup dan fitnah mati dan daripada fitnah dajjal penyapu. Dan apabila Engkau berkehendak mendatangkan fitnah kepada suatu kaum, maka peganglah kami kepada Engkau, sampai tidak terkena fitnah itu”. Ada yang mengatakan, dajjal itu, dinamakan ”masih” (penyapu), karena dia menyapukan bumi dengan kekuasaannya. Dan ada yang mengatakan, karena ia tersapu sebelah matanya, yakni: hilang penglihatan dari sebelah matanya. Adapun tugas dari “tahallul” (mengeluarkan diri dari shalat), adalah tiga: Pertama: meniatkan dengan kedua salam itu, memberi salam kepada orang banyak dan kepada para malaikat. Kedua: bahwa menetap sebentar sesudah salam. Begitulah diperbuat Rasulullah saw, Abu Bakar ra dan Umar ra Lalu imam itu mengerjakan shalat sunnat pada tempat lain. Kalau di belakangnya ada kaum wanita, maka tidaklah ia bangun sampai kaum wanita itu pergi. Dalam hadits masyhur, tersebut: “Bahwa Nabi saw tiada duduk sesudah shalat, melainkan sekedar membaca: “Ya Allah, ya Tuhanku! Engkaulah keselamatan. Dan daripada Engkaulah keselamatan. Anugerahilah keberkatan, wahai Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan”. Ketiga: Apabila telah membei salam, maka seyogyalah menghadapkan muka kepada para ma’mum. Dan dimakruhkan bagi ma’mum bangun sebelum berpaling imam. Diriwayatkan dari Thalhah dan Az-Zubair ra bahwa keduanya mengerjakan shalat di belakang seorang imam. Tatkala telah memberi salam, lalu keduanya mengatakan kepada imam itu: “Alangkah bagus dan sempurnanya shalat engkau, kecuali suatu perkara. Yaitu, tatkala engkau memberi salam, tiada memalingkan muka engkau”. Kemudian keduanya mengatakan kepada orang banyak: “Alangkah bagusnya shalat kamu, kecuali kamu terus pergi sebelum berpaling imammu!”. Kemudian sesudah selesai shalat itu, maka imam pergi ke arah mana disukainya, dari jurusan kanannya atau kirinya. Dan kananlah yang lebih baik!. Inilah tugas dari shalat-shalat itu!. Adapun shalat Shubuh, maka ditambahkan padanya bacaan Qunut. Maka imam membacakan: “Allaahummahdinaa” (Ya Allah, ya Tuhanku! Tunjukilah kami), dan tidak: “Allahummahdinii” (Ya Allah, ya Tuhanku! Tunjukilah aku). Dan ma’mum, membacakan amin atas do’a qunut imam. Tetapi waktu sampai kepada: “Innaka taqdlii wa laa yuqdlaa ‘alaik” (Bahwasanya Engkau yang menghukum dan tiadalah Engkau yang dihukum), maka tidak layaklah padanya dibacakan amin, karena itu adalah pujian. Dari itu, ma’mum membacakannya seperti bacaan imam atau mengucapkan: “Balaa wa ana ‘alaa dzaalika minasy syaahidiin” (Benar, bahwa aku termasuk orang-orang yang mengakui demikian itu), atau mengucapkan: “Shadaqta wa bararta” (Benar engkau dan berbuat kebajikan engkau). Dan bacaan-bacaan lain yang serupa dengan itu. Diriwayatkan suatu hadits, tentang mengangkat kedua tangan pada qunut. Apabila hadits itu benar, niscaya disunnatkanlah yang demikian. Meskipun berbeda dengan do’a-do’a yang dibacakan pada tasyahhud. Karena disitu tidak diangkatkan tangan, tetapi berpegang menurut yang diperoleh daripada Nabi saw dan diantara keduanya (do’a qunut dan do’a akhir tasyahhud), terdapat perbedaan pula. Yaitu; tangan pada tasyahhud, mempunyai tugas, yakni: diletakkan di atas kedua paha, menurut cara tertentu dan tak ada tugas bagi kedua tangan itu di sini (pada qunut). Dari itu, tiada jauh dari kebenaran, bahwa mengangkatkan kedua tangan, adalah menjadi tugas pada qunut. Karena yang demikian itu layak dengan do’a. Wallaahu A’lam! Allah Maha Tahu!. Inilah kumpulan adab mengikuti imam dan menjadi imam di dalam shalat! Kiranya Allah memberikan taufiq!. BAB KELIMA: Tentang kelebihan Jum’at, adabnya, sunnatnya dan syarat-syaratnya KEUTAMAAN JUM’AT (JUMU’AH): Ketahuilah! Bahwa hari ini (hari Jum’at), adalah hari besar. Dibesarkan oleh Allah agama Islam dengan sebab hari ini dan dikhususkan ALLAH kaum muslimin dengan hari ini! Berfirman Allah Ta’ala: “Apabila ada panggilan untuk mengerjakan shalat di hari jum’at, maka segeralah kamu mengingati Tuhan dan tinggalkanlah jual-beli!”. S 62 Al Jumu’ah ayat 9. Diharamkan mengurus urusan duniawi dan tiap-tiap perbuatan yang menghalangi daripada pergi ke jum’at. Bersabda Nabi saw: “Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan atasmu shalat Jum’at pada hariku ini, pada tempatku ini”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang meninggalkan Jum’at 3 X tanpa halangan, niscaya dicapkan oleh Allah pada hatinya”. Dan pada riwayat lain, berbunyi: “Sesungguhnya ia telah melemparkan Islam kebelakangnya”. Datang seorang laki-laki kepada Ibnu Abbas, menanyakan tentang orang yang mati tidak menghadiri Jum’at dan shalat jama’ah. Maka menjawab Ibnu Abbas: “Dalam neraka!”. Maka bulak-baliklah orang itu kepada Ibnu Abbas sebulan lamanya, menanyakan yang demikian. Tetapi Ibnu Abbas tetap menjawab: “Dalam neraka!”. Pada hadits tersebut: “Bahwa ahli dua kitab itu (orang Yahudi dan Nasrani), diberikan kepada mereka hari Jum’at, maka bertengkarlah mereka, lalu berpaling daripadanya. Dan diberi petunjuk kita oleh Allah Ta’ala untuk menerima hari Jum’at itu dan dikemudiankan oleh Allah memberi kannya kepada ummat ini dan dijadikannya menjadi hari raya bagi mereka. Maka adalah umat ini menjadi manusia yang lebih utama didahulukan dan ahli kedua kitab itu menjadi pengikutnya”. Dan pada hadits yang diriwayatkan Anas daripada Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Datang kepadaku Jibril as dan pada tangannya sebuah cermin putih, seraya berkata: “Inilah Jum’at, yang diwajibkan atas engkau oleh Tuhan engkau, untuk menjadi hari raya bagi engkau dan ummat engkau sesudah engkau”. Lalu aku menjawab: “Apakah yang ada untuk kami pada hari Jum’at itu?”. Menjawab Jibril: “Engkau mempunyai waktu yang baik. Barangsiapa berdo’a padanya kebajikan, niscaya dianugerahkan oleh Allah akan dia. Atau dia tiada memperoleh bahagian, maka disimpankan oleh Allah baginya, yang lebih besar. Atau berlindung ia daripada kejahatan yang telah dituliskan kepadanya, niscaya dilindungi Allah yang lebih besar daripada kejahatan itu. Hari Jum’at adalah penghulu segala hari pada kita. Kita bermohon kepada Allah, pada hari akhirat, akan menjadi hari kelebihan!”. Lalu aku bertanya: “Mengapa demikian?”. Maka menjawab Jibril as: “Sesungguhnya Tuhan engkau ‘Azza wa Jalla telah menjadikan dalam sorga sebuah lembah yang luas, dari kesturi putih. Maka apabila datang hari Jum’at, niscaya turunlah Ia dari sorga yang tinggi di atas kursi ALLAH. Lalu jelaslah Ia kepada mereka, sehingga mereka memandang kepada wajah ALLAH yang mulia”. Bersabda Nabi saw: “Sebaik-baik hari yang terbit padanya matahari, ialah hari Jum’at. Pada hari Jum’at, dijadikan Adam as pada hari Jum’at, ia dimasukkan ke dalam sorga, diturunkan ke bumi, diterima tobatnya, pada hari itu ia meninggal dan pada hari Jum’at itu, berdirinya qiamat. Adalah hari Jum’at pada sisi Allah itu, hari kelebihan. Begitulah hari Jum’at dinamakan oleh para malaikat di langit, yaitu: hari memandang kepada Allah Ta’ala dalam sorga”. Pada hadits, tersebut: “Bahwa pada tiap-tiap hari Jum’at, Allah ‘Azza wa Jalla mempunyai 600.000 orang yang dimerdekakan dari api neraka”. Pada hadits yang diriwayatkan Anas ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila selamatlah hari Jum’at niscaya selamatlah segala hari”. Bersabda Nabi saw: “Bahwa neraka Jahim itu menggelegak pada tiap-tiap hari sebelum tergelincir matahari pada tengah hari di puncak langit. Maka janganlah kamu mengerjakan shalat pada saat itu, selain hari Jum’at. Maka hari Jum’at itu, adalah shalat seluruhnya dan neraka Jahannam tiada menggelegak padanya”. Berkata Ka’ab: “Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla melebihkan Makkah dari segala negeri, Ramadhan dari segala bulan, Jum’at dari segala hari dan Lailatul-qadar dari segala malam. Dan dikatakan bahwa burung dan hewan yang berjumpa satu sama lain pada hari Jum’at mengucapkan: “Selamat, selamat, hari yang baik!”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang meninggal pada hari Jum’at atau malamnya, niscaya dituliskan oleh Allah baginya, pahala syahid dan dipeliharakan oleh Allah daripada fitnah kubur”. PENJELASAN: Syarat-syarat Jum’at. Ketahuilah! Bahwa shalat Jum’at itu, menyamai dengan segala shalat yang lain, tentang syarat-syaratnya. Dan berbeda dari shalat-shalat yang lain itu, dengan 6 macam syarat: Pertama: waktu. Maka kalau jatuhlah salam imam pada waktu ‘Ashar, niscaya luputlah Jum’at. Dan haruslah menyempur nakan Jum’at itu, menjadi Dhuhur dengan 4 raka’at. Dan orang masbuq (orang yang terkemudian masuknya ke dalam shalat Jum’at) apabila jatuh pada raka’atnya yang terakhir, di luar waktu, maka terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama. Kedua: tempat. Maka tidak syah shalat Jum’at di padang pasir sahara, di tanah-tanah tandus yang tak berpenghuni dan diantara kemah-kemah. Tetapi haruslah pada tempat yang terdapat padanya rumah-rumah, yang tidak dipindahkan, yang mengumpulkan sejumlah 40 orang, yang wajib bershalat jum’at. Dan kampung adalah seperti negeri. Dan tidak disyaratkan akan kedatangan dan keizinan sultan (penguasa) pada shalat Jum’at itu. Tetapi adalah lebih baik dengan keizinannya. Ketiga: bilangan. Maka tidak syah Jum’at dengan bilangan yang kurang daripada 40 orang laki-laki, mukallaf (yang telah dipikulkan kewajiban agama, tegasnya: yang telah baligh dan berakal), yang merdeka dan yang bertempat tinggal, dimana mereka tiada berpindah pada musim dingin dan musim panas dari tempat tersebut. Jikalau mereka meninggalkan tempat shalat, sehingga kuranglah bilangan itu, baik waktu sedang khutbah atau di dalam shalat, maka tidaklah syah Jum’at itu. Tetapi, haruslah bilangan tersebut dari permulaan sampai kepada penghabisan shalat. Keempat: jama’ah. Kalau bershalat orang yang 40 itu, di kampung atau di negeri dengan berpisah-pisah, niscaya tidak syah Jum’at mereka. Tapi bagi orang masbuq, apabila mendapati raka’at kedua, maka bolehlah ia bershalat sendirian pada raka’atnya yang kedua. Dan kalau orang masbuq itu tiada mendapat ruku’ raka’at kedua, maka ia mengikut imam serta meniatkan shalat Dhuhur. Dan apabila imam memberi salam, maka ia menyempurnakan shalat Dhuhurnya. Kelima: bahwa tidaklah Jum’at itu, didahului oleh shalat Jum’at yang lain dalam negeri itu. Maka kalau sukar berkumpul pada satu tempat shalat Jum’at, niscaya bolehlah pada dua, tiga dan empat, menurut yang diperlukan. Dan jikalau tidak perlu, maka yang syah ialah shalat Jum’at, yang pertama-tama takbiratul-ihramnya. Apabila ternyata perlunya lebih dari satu Jum’at, maka yang lebih utama, ialah shalat di belakang yang lebih utama daripada dua imam, yang mengimami shalat Jum’at itu. Kalau keduanya sama, maka masjid yang lebih lama, yang lebih utama. Kalau keduanya sama juga, maka yang lebih dekat. Dan mengenai banyaknya orang, juga mempunyai keutamaan yang harus diperhatikan. Keenam: dua khutbah. Kedua khutbah itu, adalah fardlu. Dan berdiri waktu membaca kedua khutbah itu dan duduk diantara keduanya, adalah fardlu juga. Pada khutbah pertama, terdapat 4 fardlu: 1. Memuji Allah sekurang-kurangnya: “Alhamdulillah” (Segala pujian bagi Allah). 2. Selawat kepada Nabi saw 3. Wasiat (nasehat) dengan bertaqwa kepada Allah Ta’ala. 4. Membaca suatu ayat dari Al-Qur’an. Begitu pula, yang fardlu pada khutbah kedua, adalah 4 juga, kecuali wajib berdo’a pada khutbah kedua itu, sebagai ganti daripada pembacaan Al-Qur’an pada khutbah pertama. Mendengar kedua khutbah, adalah wajib kepada orang yang 40 itu. Adapun sunnat: yaitu, apabila telah tergelincir matahari, muadzin telah melakukan adzan dan imam telah duduk di atas mimbar, maka putuslah (tidak boleh lagi) shalat, selain dari shalat tahiyah masjid. Dan berkata-kata tidaklah terputus, kecuali dengan dimulai khutbah. Khatib memberi salam kepada orang banyak, apabila telah berhadapan muka dengan mereka. Dan orang banyak itu, membalas salamnya. Apabila telah siap muadzin daripada adzan, maka bangunlah khatib itu menghadapkan muka kepada orang banyak, tiada berpaling ke kanan dan ke kiri. Ia memegang tangkai pedang atau tangkai kampak dan mimbar dengan kedua tangannya. Supaya ia tidak bermain-main dengan kedua tangan itu atau meletakkan tangan yang satu ke atas lainnya. Khatib itu berkhutbah dua khutbah, diantara keduanya duduk sebentar. Dan tidaklah memakai bahasa yang ganjil-ganjil, berhias dengan irama dan tidak bernyanyi bergurindam. Dan adalah khutbah itu pendek, padat dan berisi. Disunnatkan khatib itu, membaca juga ayat pada khutbah kedua. Dan tidaklah orang yang masuk di dalam masjid, memberi salam, ketika khatib sedang membaca khutbah. Kalau diberinya juga salam, maka tiada berhak dijawab. Dan diisyaratkan dengan penjawaban, adalah lebih baik. Dan tidak juga ber-tasymit kepada orang-orang bersin (membalas pembacaan “Alhamdulillah” dari orang yang bersin, dengan mengucapkan “Yarhamukallah”). Inilah syarat-syarat syahnya Jum’at. Adapun syarat-syarat wajibnya. Maka Jum’at itu, tiada wajib, selain atas: laki-laki, baligh, berakal, muslim, merdeka dan bertempat tinggal pada suatu desa, yang mencukupi 40 orang yang mempunyai sifat-sifat yang tersebut tadi. Atau pada suatu desa dari pinggir negeri, yang sampai kepadanya seruan adzan dari negeri yang menghubungi kampung itu. Pada saat keadaan tenang dan suara muadzin itu keras meninggi. Karena firman Allah Ta’ala: “Apabila ada panggilan untuk mengerjakan shalat di hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mengingati Tuhan dan tinggalkanlah jual-beli”. S 62 Al Jumu’ah ayat 9. Diberi keringan untuk meninggalkan Jum’at, karena berhalangan: hujan, lumpur, takut, sakit dan menjaga orang sakit, apabila orang sakit itu tiada mempunyai penjaga yang lain. Kemudian, disunnatkan kepada mereka yang berhalangan dengan halangan-halangan yang tersebut tadi, supaya mengemudiankan shalat Dhuhurnya, sampai selesai orang banyak dari shalat Jum’at. Kalau orang sakit atau orang dalam berpergian jauh (orang musafir) atau budak atau wanita, menghadiri shalat Jum’at, maka syahlah Jum’at mereka dan mencukupilah, tanpa mengerjakan Dhuhur lagi. Wallahu A’lam! Allah Yang Maha Tahu!. PENJELASAN: Adab shalat jum’at menurut tertib kebiasaan. Yaitu sepuluh bahagian. Pertama: bahwa bersedialah sejak hari Kamis untuk shalat Jum’at, dengan cita-cita dan menghadapkan segala pikiran, untuk menyambut keutamaan Jum’at itu. Maka berbuatlah ibadah dengan: berdo’a, membaca istighfar (memohonkan ampunan Tuhan) dan bertasbih, sesudah ‘Ashar hari Kamis. Karena saat itu adalah saat yang disamakan, dengan saat yang tidak dapat dipastikan waktunya (sebagai saat mustajabah) pada hari Jum’at. Berkata setengah salaf, bahwa Allah Ta’ala mempunyai kurnia, selain daripada rezeki yang diberikan ALLAH kepada segala hamba ALLAH. Dan kurnia itu, tidak dianugerahi ALLAH, selain kepada siapa yang memintanya pada petang Kamis dan hari jum’at. Orang itu pada hari ini, menyucikan kainnya, memutihkannya, menyediakan bau-bauan kalau belum ada padanya. Menyelesaikan hatinya dari segala yang membimbangkan, yang mencegahkan daripada berpagi-pagi ke Jum’at (masjid) dan meniatkan pada malam ini (malam Jum’at) akan puasa hari Jum’at. Berpuasa itu ada kelebihannya. Dan hendaklah puasa itu dikumpulkan dengan hari Kamis atau dengan hari Sabtu, tidak hari Jum’at saja, karena demikian itu makruh hukumnya. Dan bekerja menghidupkan malam Jum’at itu dengan shalat dan mengkhatamkan Al-Qur’an, karena malam itu mempunyai banyak kelebihan. Dan ditarikkan kepada malam Jum’at itu akan kelebihan siangnya. Dan disetubuhinya orang rumahnya pada malam Jum’at atau pada siangnya. Disunnatkan demikian oleh segolongan ulama, yang membawa maksud sabda Nabi saw yang berikut ini, kepada yang demikian, yaitu: “Diberi rahmat oleh Allah kepada orang yang bersegera dan berpagi-pagi, kepada orang yang memandikan (menyucikan) dan yang mandi”. Yaitu: membawa keluarga (orang rumah) kepada mandi. Ada yang mengatakan, bahwa maksudnya: menyucikan kain, lalu diriwayatkan, bahwa perkataan Arabnya, dibacakan dengan tidak bertasydid (yaitu dibacakan: ghasala, tidak: ghassala) dan membersihkan badannya dengan mandi. Dengan ini, sempurnalah adab menyambut kedatangan hari Jum’at. Dan keluarlah dari golongan orang-orang yang alpa, mereka yang bertanya pada pagi-pagi hari Jum’at: “Hari apakah sekarang?”. Berkata setengah salaf: “Manusia yang lebih sempurna nasibnya hari Jum’at, ialah orang yang menunggu hari Jum’at dan menjaganya sejak kemarin. Dan orang yang paling ringan nasibnya, ialah orang yang berkata pada pagi-paginya: “Hari apakah sekarang?”. Sebahagian mereka, bermalam pada malam Jum’at di masjid, karena lantaran Jum’at itu. Kedua: apabila sudah pagi Jum’at, maka mulailah mandi setelah terbit fajar. Kalau tidak akan berpagi-pagi ke masjid, maka mendekatkan mandi kepada waktu sesudah gelincir matahari, adalah lebih baik, sebab lebih mendekatkan masanya dengan kebersihan. Mandi itu sangat disunnatkan. Setengah ulama, berpendapat wajib. Bersabda Nabi saw: “Mandi Jum’at itu wajib atas tiap-tiap orang yang dewasa”. Yang termahsyur ialah hadits yang diriwayatkan Nafi’ dari Ibnu Umar ra: “Siapa yang datang ke Jum’at, maka hendaklah mandi”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang hadir ke Jum’at, baik laki-laki atau wanita, maka hendaklah mandi”. Adalah penduduk Madinah, apabila memaki-maki diantara dua orang, maka berkata yang seorang kepada lainnya: “Sungguh, engkau lebih jahat daripada orang yang tidak mandi pada hari Jum’at”. Berkata Umar kepada Usman ra tatkala ia masuk ke dalam masjid, sedang Umar membaca khutbah: “Bukankah saat ini dilarang meninggalkan berpagi-pagi?”. Maka berkata Usman ra: “Setelah aku mendengar adzan, tidak lain daripada aku berwudlu dan terus pergi”. Menyambung Umar ra: “Dan wudlu juga! Bukankah engkau ketahui, bahwa Rasulullah saw menyuruh kita mandi?”. Dan dapatlah diketahui dengan wudlu Usman ra itu, boleh meninggalkan mandi. Dan dengan apa yang diriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang berwudlu pada hari Jum’at, maka baiklah Jum’atnya dan siapa yang mandi, maka mandi itu adalah lebih baik”. Siapa yang mandi karena berjunub (janabah), maka hendaklah menyiramkan air kepada badannya, satu kali lagi dengan niat mandi Jum’at. Kalau dicukupkannya dengan suatu mandi saja, maka mencukupilah. Dan memperoleh kelebihan (pahala) apabila ia berniat keduanya (mandi janabah dan mandi Jum’at). Dan masuklah mandi Jum’at itu, ke dalam mandi janabah. Telah datang sebahagian shahabat kepada anaknya yang sudah mandi. Lalu bertanya: “Apakah mandimu itu untuk Jum’at?”. Maka menjawab anak dari shahabat yang bertanya itu: “Tidak, tetapi untuk janabah!”. Lalu menyambung shahabat tadi: “Ulangilah mandi yang kedua!”. Dan ia meriwayatkan hadits tentang mandi Jum’at atas tiap-tiap orang yang dewasa. Dan sesungguhnya disuruh demikian, karena belum diniatkan mandi Jum’at itu. Dan tidaklah jauh daripada yang sebenarnya, bahwa dikatakan: yang dimaksudkan ialah: kebersihan. Dan kebersihan itu telah berhasil tanpa niat. Tetapi ini terisi juga dengan wudlu. Mandi itu pada agama adalah merupakan pendekatan diri kepada Tuhan. Dari itu, maka seharusnyalah dicari kelebihan (pahalanya). Orang yang telah mandi, kemudian berhadats, niscaya mengambil wudlu. Dan tidaklah batal mandinya. Yang lebih baik, hendaklah ia menjaga diri daripada berhadats itu. Ketiga: berhias. Yaitu: disunnatkan pada hari ini (hari Jum’at). Yaitu: tiga perkara: pakaian, kebersihan dan bau-bauan. Adapun kebersihan, adalah dengan bersugi, mencukur rambut, mengerat kuku, menggunting kumis dan lainnya daripada apa yang telah diterangkan dahulu pada: kitab bersuci. Berkata Ibnu Mas’ud: “Siapa yang mengeratkan kukunya pada hari Jum’at, niscaya dikeluarkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla daripadanya penyakit dan dimasukkan ALLAH kepadanya obat”. Kalau sudah masuk hammam pada hari Kamis atau hari Rabu, maka telah berhasillah yang dimaksud. Lalu hendaklah pada hari Jum’at itu, memakai bau-bauan yang terbaik yang ada padanya, supaya hilanglah segala bau yang tidak menyenangkan. Dan sampailah bau-bauan yang harum itu kepada penciuman orang yang datang ke masjid, yang duduk di kelilingnya. “Bau-bauan yang terbaik bagi laki-laki, ialah yang keras baunya dan tiada terang warnanya. Dan yang terbaik bagi wanita, ialah yang terang warnanya dan tidak keras baunya”. Ucapan ini, diriwayatkan dari perkataan shahabat Nabi saw (atsar). Berkata Asy Syafi’i ra: “Siapa yang bersih kainnya, niscaya kuranglah kesusahannya dan siapa yang baik baunya, niscaya bertambahlah akalnya”. Adapun pakaian, maka yang lebih baik adalah pakaian putih, karena pakaian yang lebih disukai Allah Ta’ala ialah yang putih. Dan tidak dipakai, apa yang padanya kemahsyuran. Pakaian hitam, tidaklah dari sunnah Nabi saw dan tak ada padanya kelebihan (pahala). Tetapi segolongan ulama berpendapat, makruh memandang kepada pakaian hitam, karena bid’ah yang diada-adakan sesudah Rasulullah saw serban adalah disunnatkan pada hari Jum’at. Diriwayatkan Watsilah bin Al-Asqa’, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Bahwa Allah dan para malaikat ALLAH berdo’a kepada orang-orang yang memakai serban pada hari Jum’at”. Kalau menyukarkan baginya oleh karena panas, maka tidak mengapa dibuka sebelum shalat dan sesudahnya. Tetapi tidaklah dibuka, waktu berjalan dari rumah ke Jum’at, waktu mengerjakan shalat, waktu imam naik ke atas mimbar dan waktu sedang khutbah. Keempat: berpagi-pagi ke masjid (masjid jami’). Dan disunnatkan menuju ke masjid Jami’ yang terletak dua atau tiga farsakh jaraknya (satu farsakh adalah kira-kira 8 km). Dan hendaklah berpagi-pagi benar ke tempat shalat Jum’at. Dan waktu berpagi-pagi itu, masuk terbit fajar. Keutamaan berpagi-pagi itu besar sekali. Dan seyogyanya berjalan ke Jum’at itu dengan khusyu’, merendahkan diri, meniatkan i’tikaf di dalam masjid sampai kepada waktu shalat, bermaksud menyegerakan menyahut seruan Allah ‘Azza wa Jalla kepadanya dengan Jum’at, bersegera kepada pengampunan dan kerelaan ALLAH. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang pergi ke Jum’at pada jam pertama, maka seakan-akan ia menyembelih kurban seekor unta. Siapa yang pergi pada jam kedua, maka seakan-akan ia menyembelih kurban seekor sapi. Siapa yang pergi pada jam ketiga, maka seakan-akan ia menyembelih kurban seekor kibasy (biri-biri) yang bertanduk. Siapa yang pergi pada jam keempat, maka seakan-akan ia menghadiahkan seekor ayam. Dan siapa yang pergi pada jam kelima, maka seakan-akan ia menghadiahkan sebutir telur. Apabila imam telah ke tempat shalat, maka tertutuplah segala buku tempat dituliskan amalan, terangkatlah segala pena dan segala malaikat berkumpul pada mimbar, mendengar dzikir. Siapa yang datang sesudah itu, maka sesungguhnya ia datang untuk shalat semata-mata dan tak ada baginya sesuatu daripada kelebihan”. Jam pertama, adalah sampai terbit matahari. Jam kedua, adalah sampai kepada meninggi matahari. Jam ketiga, adalah sampai kepada meluas sinar matahari, ketika sudah panas tempat tapak berpijak. Jam keempat dan kelima, adalah sesudah waktu dluha meninggi, sampai kepada waktu tergelincir matahari. Kelebihan jam keempat dan kelima adalah sedikit. Dan waktu tergelincir (zawal) itu, adalah waktu untuk shalat, maka tak ada kelebihan padanya. Bersabda Nabi saw: “Tiga perkara, kalau tahulah manusia apa yang ada padanya, niscaya mereka mengendarai unta mencarikannya, yaitu: adzan, shaf pertama dan berpagi-pagi ke Jum’at”. Berkata Ahmad bin Hanbal ra: “Yang lebih utama dari yang tiga tadi, ialah berpagi-pagi ke Jum’at”. Pada hadits, tersebut: “Apabila datang hari Jum’at, maka duduklah para malaikat di pintu-pintu masjid. Pada tangannya, kertas daripada perak dan pena daripada emas. Dituliskannya siapa yang lebih dahulu ke masjid, satu persatu menurut urutannya”. Dan tersebut pada hadits: “Bahwa para malaikat itu mencari orang yang terkemudian daripada waktunya pada hari Jum’at. Maka bertanyalah para malaikat itu sesamanya, tentang orang itu: “Apakah yang dikerjakan si anu? Apakah kiranya yang menyebabkan si anu itu terlambat daripada waktunya?”. Maka berdo’alah para malaikat: “Ya Allah, ya Tuhanku! Kalau kiranya orang itu terkemudian karena miskin, maka kayakanlah dia! Kalau karena sakit, maka sembuhkanlah dia! Kalau karena sibuk, maka berikanlah kepadanya kelapangan waktu beribadah kepadaMU!. Dan kalau bermain-main, maka hadapkanlah hatinya untuk menta’atiMU!”. Adalah pada abad pertama, mulai waktu sahur atau setelah terbit fajar, jalan-jalan sudah penuh dengan manusia yang pergi dengan kendaraan dan berdesak-desak ke masjid Jami’, seperti pada hari-hari raya. Sehingga lenyaplah yang demikian itu, lalu dikatakan: “Bahwa bid’ah pertama yang datang dalam Islam, ialah meninggalkan berpagi-pagi ke masjid Jami’. Mengapakah tidak malu kaum muslimin, dengan orang Yahudi dan Nasrani dan berpagi-pagi benar sudah kekelenteng dan gereja, pada hari Sabtu dan Ahad? Penuntut-penuntut dunia, betapa kiranya mereka berpagi-pagi benar ke halaman toko untuk berjual-beli dan mencari keuntungan, maka mengapakah tiada berlomba-lomba dengan mereka, para penuntut akhirat? Ada yang mengatakan, bahwa manusia itu pada kedekatannya ketika memandang kepada wajah Allah Ta’ala, adalah menurut kadar pagi-paginya ke Jum’at. Adalah Ibnu Mas’ud datang pagi-pagi ke suatu masjid Jami’, maka dilihatnya tiga orang telah mendahuluinya dengan berpagi-pagi benar ke masjid Jami’ itu. Maka susahlah hatinya karena itu, lalu mengatakan kepada dirinya dengan perasaan menyesal: “Keempat dari empat dan tidaklah yang keempat dari empat itu, berjauhan daripada pagi-pagi”. Kelima: tentang cara masuk, seyogyalah tiada melangkahi leher orang dan tiada melalui dihadapan mereka. Dan berpagi-pagi itu, memudahkan kepadanya yang demikian itu. Telah datang janji azab yang berat, pada melangkahi leher orang, yaitu orang yang berbuat demikian, akan dijadikan jembatan pada hari kiamat, yang akan dilangkahi oleh manusia. Diriwayatkan Ibnu Juraij suatu hadits mursal yaitu: “Bahwa Rasulullah saw ketika sedang membaca khutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba melihat seorang laki-laki melangkahi leher orang, sehingga laki-laki itu sampai ke depan, lalu duduk. Tatkala Nabi saw telah selesai daripada shalat, maka beliau mencari laki-laki itu, sampai berjumpa, lalu bertanya: “Hai Anu! Apakah yang menghalangi engkau, untuk berjum’at hari ini bersama kami?”. Menyahut laki-laki itu: “Wahai Nabi Allah! aku telah berjum’at bersama engkau”. Menyambung Nabi saw: “Bukankah kami telah melihat engkau melangkahi leher manusia?”. Maka dengan ucapan Nabi saw itu menunjukkan kepada batalnya amalan dengan melangkahi leher orang. Pada hadits musnad, Nabi saw bersabda: “Apakah yang menghalangi engkau bershalat bersama kami?”. Maka menjawab laki-laki itu: “Apakah tidak engkau melihat aku, wahai Rasulullah?”. Nabi saw menjawab: “Aku melihat engkau terkemudian dan menyusahkan orang”. Artinya: terkemudian dari berpagi-pagi dan menyusah kan orang yang telah datang lebih dahulu. Kalau shaf (barisan) pertama itu, tertinggal kosong, maka bolehlah melangkahi leher orang, karena mereka telah menyia-nyiakan haknya dan meninggalkan tempat yang lebih utama. Berkata Al-Hasan: “Langkahilah leher mereka yang duduk pada pintu masjid di hari Jum’at, karena tak ada kehormatan bagi mereka”. Apabila tidak ada di dalam masjid, selain daripada orang yang mengerjakan shalat, maka seyogyalah tidak memberi salam, karena memberatkan penjawaban salam yang tidak pada tempatnya. Keenam: tiada melalui dihadapan orang dan duduklah pada tempat yang mendekati tiang atau dinding, sehingga orang ramai tiada melalui dihadapannya. Yakni: dihadapan orang yang sedang mengerjakan shalat. Melalui dihadapan orang yang sedang shalat, tidaklah memutuskan shalat, tetapi dilarang. Bersabda Nabi saw: “Tegak berdiri 40 tahun, adalah lebih baik daripada melalui dihadapan orang yang sedang shalat”. Bersabda Nabi saw: “Sampai menjadikan orang itu debu yang halus yang diterbangkan angin adalah lebih baik baginya daripada melalui dihadapan orang shalat”. Diriwayatkan pada hadits lain, tentang orang yang lalu dan orang yang mengerjakan shalat, dimana orang itu bershalat atas jalan besar atau tak sanggup menghalangi orang lalu dihadapannya , yaitu: “kalaulah tahu orang yang melalui dihadapan orang yang bershalat dan orang yang bershalat tahu pula, akan apa yang menimpa ke atas keduanya, maka sesungguhnya tegak berdiri 40 tahun, adalah lebih baik baginya, daripada melalui dihadapan orang yang sedang mengerjakan shalat itu”. Tiang, dinding dan tikar mushalla yang terbentang, adalah menjadi batas bagi orang yang bershalat. Maka orang yang melintasi batas ini, seyogyalah ditolaknya. Bersabda Nabi saw: “Hendaklah ditolaknya! Kalau orang itu tidak memperdulikan, maka hendaklah ditolaknya lagi! Kalau tidak juga orang itu memperdulikan, maka hendaklah dibunuh saja karena dia itu setan!”. Adalah Abu Sa’id Al-Khudri ra menolak orang yang melalui dihadapannya, sehingga orang itu terjatuh ke lantai. Mungkin orang itu bergantung pada Abu Sa’id. Kemudian ia mengadu kepada Marwan. Maka Marwan menerangkan kepadanya, bahwa Nabi saw menyuruh yang demikian. Kalau tidak diperoleh tiang, maka hendaklah ia menegakkan sesuatu dihadapannya, yang panjangnya kira-kira sehasta, supaya menjadi tanda untuk batas. Ketujuh: dicari shaf pertama, karena banyak kelebihannya, sebagaimana yang telah kami riwayatkan dahulu. Dan pada hadits tersebut: “Siapa yang mencucikan dan mandi, bersegera dan berpagi-pagi, mendekati imam dan mendengar, niscaya adalah yang demikian itu, menjadi kafarat (penutup dosa) baginya diantara dua Jum’at dan tambah tiga hari lagi”. Pada riwayat lain, berbunyi: “niscaya diampunkan Allah baginya, sampai kepada Jum’at yang lain”. Dan pada setengah riwayat, disyaratkan: “dia tidak melangkahi leher orang”. Dan hendaklah tidak dilupakan, pada mencari shaf pertama itu, daripada tiga perkara: 1. Apabila ia melihat perbuatan munkar dekat khatib, yang tak sanggup ia mencegahnya, seperti pakaian sutera pada imam (kepala pemerintahan) atau pada orang lain atau orang itu mengerjakan shalat dengan memakai banyak senjata yang berat yang mengganggu atau senjata yang beremas ataupun yang lain, yang merupakan perbuatan yang wajib ditantang, maka dalam hal ini mundur ke belakang, adalah lebih menyelamatkan baginya dan lebih memusatkan perhatian kepada shalat. Dan telah dikerjakan yang demikian, oleh segolongan ulama yang mencari keselamatan. Ditanyakan kepada Bisyr bin Al-Harts: “Kami melihat engkau berpagi-pagi ke tempat shalat dan engkau mengerjakan shalat pada penghabisan shaf”. Menjawab Bisyr: “Yang dimaksud, ialah berdekatan hati, tidak berdekatan tubuh”. Diisyaratkan oleh Bisyr dengan perkataannya itu, bahwa yang demikian, adalah lebih mendekatkan untuk keselamatann hatinya. Sufyan Ats-Tsuri memandang kepada Syu’aib bin Harb di sisi mimbar, yang memperhatikan khutbah Abi Ja’far Al-Manshur. Tatkala selesai dari shalat, berkata Sufyan: “Terganggu hatiku oleh berdekatanmu dengan Abi Ja’far itu. Apakah engkau merasa aman mendengar perkataan yang harus engkau tantang, lantas engkau tiada bangun menantangnya?”. Lalu Sufyan menyebutkan, apa yang diperbuat mereka, seperti memakai pakaian hitam. Maka jawab Syu’aib: “’Hai Abu Abdillah! Bukankah tersebut pada hadits: “Dekatilah dan perhatikanlah!”. Menjawab Sufyan: “Benar, itu terhadap khulafa’-rasyidin yang memperoleh petunjuk! Adapun mereka ini, semakin jauh engkau daripada mereka dan tidak memandang mereka, maka adalah lebih mendekatkan engkau kepada Allah ‘Azza wa Jalla”. Berkata Sa’id bin ‘Amir: “Aku mengerjakan shalat disamping Abid Darda’. Dia mengambil shaf yang terakhir, sehingga kami berada pada akhir shaf. Tatkala telah siap daripada shalat, lalu aku bertanya kepadanya: “Bukankah dikatakan bahwa shaf yang terbaik, ialah shaf pertama?”. Menjawab Abid Darda: “Benar, tetapi umat ini dirahmati, lagi dipandang kepadanya dari antara umat-umat lain. Sesungguhnya Allah Ta’ala apabila memandang kepada seorang hamba di dalam shalatnya, maka Ia mengampunkan dosa hamba itu dan dosa orang lain yang dibelakangnya. Dari itu, aku mengambil di belakang, dengan harapan kiranya aku diampunkan dengan sebab seseorang daripada mereka, yang dipandang Allah kepadanya”. Diriwayatkan oleh setengah perawi hadits, yang mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda demikian. Maka siapa yang mengambil tempat di belakang atas niat itu, karena memilih dan melahirkan kebaikan budi-pekerti, maka tidak mengapa. Dan ketika itu, maka dikatakan: “Segala amal perbuatan itu dengan niat”. 2. Kalau tidak ada di samping khatib, sebahagian tempat yang dikhususkan kepada sultan-sultan, maka shaf pertama itu disunnatkan. Kalau ada, maka sebahagian ulama memandang makruh masuk ke tempat yang dikhususkan itu. Al-Hasan dan Bakr Al-Mazani tidak mengerjakan shalat di tempat yang dikhususkan itu. Dan keduanya, berpendapat, bahwa tempat itu ditentukan untuk sultan-sultan. Dan itu adalah bid’ah yang diada-adakan di dalam masjid-masjid sesudah Rasulullah saw. Padahal masjid itu, adalah diuntukkan kepada sekalian manusia. Dan dengan dikhususkan itu, telah menyalahi dasar tersebut. Anas bin Malik dan ‘Imran bin Hushain mengerjakan shalat, di tempat yang dikhususkan itu dan tidak memandang makruh, karena mencari kedekatan. Mungkin kemakruhan itu tertentu kepada keadaan pengkhususan dan pelarangan orang lain. Kalau semata-mata pengkhususan, tanpa ada pelarangan, maka tidaklah mengharuskan adanya kemakruhan itu. 3. Bahwa mimbar memutuskan sebahagian shaf. Dari itu, shaf pertama satu-satunya, ialah yang bersambung dihadapan mimbar. Dan yang terletak di kedua tepi mimbar, adalah shaf yang terputus. Sufyan Ats-Tsuri berkata, bahwa shaf pertama, ialah yang keluar dihadapan mimbar. Yaitu yang menghadap kepada mimbar, karena dia bersambung dan karena orang yang duduk pada shaf itu, menghadap khatib dan mendengar daripadanya. Dan tidaklah jauh daripada kebenaran, kalau dikatakan, bahwa yang terdekat kepada qiblat, ialah shaf pertama. Dan pengertian ini, tiada begitu diperhatikan orang. Dimakruhkan shalat di pasar-pasar & di beranda-beranda luar dari masjid. Dan sebahagian shahabat, memukul orang & membangunkannya dari beranda-beranda itu. Kedelapan: bahwa dihabiskan shalat, ketika imam keluar ke tempat shalat dan juga dihabiskan berkata-kata. Dan waktu itu, dipakai untuk menjawab adzan dari muadzin, kemudian mendengar khutbah. Telah berlaku kebiasaan sebahagian orang awwam, dengan melakukan sujud ketika bangun muadzin untuk adzan. Yang demikian itu, tidaklah berdasarkan kepada atsar dan hadits. Tetapi kalau kebetulan bertepatan dengan sujud tilawah/sujud biasa (sujud ini dilakukan setelah selesai sholat), maka tiada mengapa untuk do’a, karena itu adalah waktu yang baik. Dan tidak dihukum dengan haramnya sujud ini, karena tiada sebab untuk mengharamkannya. Diriwayatkan dari Ali ra dan Usman ra bahwa keduanya berkata: “Siapa yang mendengar dan memperhatikan, maka baginya dua pahala. Siapa yang tidak mendengar, tetapi memperhatikan, maka baginya satu pahala. Siapa yang mendengar dan menyia-nyiakan, maka atasnya dua dosa. Dan siapa yang tidak mendengar dan menyia-nyiakan, maka atasnya satu dosa”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang mengatakan kepada temannya, ketika imam berkhutbah: “Perhatikan!” atau “Jangan berbicara!”, maka ia telah berbuat yang sia-sia. Siapa yang berbuat sia-sia, dan imam berkhutbah, maka tak adalah Jum’at baginya”. Ini menunjukkan, bahwa menyuruh diam teman itu, seyogyalah dengan isyarat atau dengan melemparkan batu kecil saja kepadanya, tidak dengan kata-kata. Pada hadits dari Abi Dzar, bahwa Abi Dzar bertanya kepada Ubai, ketika Nabi saw sedang membaca khutbah: “Bilakah diturunkan surat ini?” Ubai berisyarat kepadanya, supaya diam. Tatkala Rasulullah saw turun dari mimbar, maka berkata Ubai kepada Abi Dzar: “Pergilah! Tak ada Jum’at bagimu!”. Lalu Abi Dzar mengadukannya kepada Nabi saw, maka bersabda Nabi: “Benar Ubai!”. Kalau berjauhan dari imam, maka tiada seyogyalah berkata-kata mengenai ilmu dan lainnya. Tetapi diam, karena yang demikian itu tali-bertali dan membawa kepada suara yang halus, sehingga sampai kepada para pendengar khutbah. Dan janganlah duduk dalam lingkungan orang yang berkata-kata!. Siapa yang tidak dapat mendengar karena jauh, maka hendaklah memperhatikan saja. Dan itu adalah sunnat. Apabila shalat dimakruhkan pada waktu imam berkhutbah, maka berkata-kata, adalah lebih utama lagi dimakruhkan. Berkata Ali ra: “Dimakruhkan shalat pada empat waktu: sesudah fajar (sesudah Shubuh), sesudah ‘Ashar, waktu tengah hari dan bershalat ketika imam berkhutbah”. Kesembilan: bahwa diperhatikan pada mengikuti imam shalat jum’at, apa yang telah kami sebutkan dahulu pada tempat lain. Apabila mendengar bacaan imam, maka ma’mum itu tiada membaca, selain dari al-fatihah. Apabila telah selesai dari shalat Jum’at, maka dibacakan: “Alhamdulillah” 7 X, sebelum berkata-kata dan “Qul-huwallaahu ahad” dan “Muawwadzatain” (yaitu:”Qul-A’uudzu birabbil-falaq” dan “Qul a’uudzu birabbinnas”). Tujuh-tujuh kali. Diriwayatkan oleh setengah salaf bahwa siapa mengerjakan yang tersebut tadi, niscaya ia terpelihara dari Jum’at ke Jum’at. Dan adalah penjaga baginya daripada gangguan setan. Disunnatkan membaca sesudah shalat Jum’at: “Ya Allah, ya Tuhanku! ya Yang Maha Kaya, ya Yang Maha Terpuji, ya Yang Maha Pencipta, ya Yang Maha Mengembalikan, ya Yang Maha Penyayang, ya Yang Maha Pengasih! Cukupkanlah aku dengan yang halal daripadaMU, daripada yang haram dan dengan kurniaMU daripada yang lain!”. Dikatakan, bahwa siapa yang berkekalan membaca do’a ini, niscaya ia dikayakan Allah daripada makhluk ALLAH, dan diberikan Allah rezeki, dari yang tidak di duga-duga. Kemudian, sesudah Jum’at. Lalu bershalat 6 raka’at. Telah diriwayatkan Ibnu Umar ra bahwa: “Nabi saw mengerjakan shalat dua raka’at sesudah Jum’at”. Dan diriwwayatkan Abu Hurairah “empat raka’at” dan diriwayatkan Ali dan Abdullah bin Abbas ra “enam raka’at”. Semuanya itu benar dalam berbagai macam keadaan. Dan yang lebih sempurna, adalah lebih utama. Kesepuluh: bahwa meneruskan tinggal di masjid, sampai shalat Ashar. Kalau diteruskan sampai kepada Maghrib, maka adalah lebih utama. Dikatakan, bahwa siapa yang bershalat ‘Ashar di masjid Jami’, maka adalah baginya pahala hajji. Dan siapa yang bershalat Maghrib, maka baginya pahala hajji dan ‘umrah. Kalau tidak merasa aman dari sifat berbuat-buat dan dari datangnya bahaya kepadanya, dengan pandangan orang banyak kepada i’tikafnya (diamnya di dalam masjid dengan ibadah) atau ia takut terjerumus pada yang tidak perlu, maka yang lebih utama, ialah kembali ia ke rumahnya, dengan berdzikir kepada Allah, memikirkan tentang segala nikmat ALLAH, mensyukuri atas taufiq ALLAH, takut dari keteledorannya, mengawasi akan hari dan lidahnya sampai kepada terbenam matahari. Sehingga ia tidak tertinggal oleh saat yang mulia itu. Dan tidaklah wajar bercakap-cakap dalam masjid jami’ dan masjid-masjid lainnya, dengan percakapan duniawi. Bersabda Nabi saw: “Akan datang kepada manusia suatu zaman, yang pembicaraan mereka dalam masjid-masjid, adalah urusan duniawi. Tak adalah bagi Allah hajat pada mereka. Dari itu, janganlah kamu duduk-duduk bersama mereka!”. PENJELASAN: Adab dan sunnat yang diluar daripada susunan yang lalu, yang meratai seluruh hari. Yaitu: 7 perkara: Pertama: mengunjungi mejelis ilmu pengetahuan pada pagi hari atau sesudah ‘Ashar. Dan tidaklah mengunjungi majelis tukang-tukang ceritera, karena tak adalah kebajikan pada perkataan mereka. Dan tak wajarlah bagi seorang murid (yang menuntut jalan akhirat), mengosongkan seluruh hari Jum’at itu, dari amal kebajikan dan do’a-do’a, sehingga saat yang mulia itu dapatlah diperolehnya. Dan dia dalam kebajikan. Tidaklah wajar menghadiri tempat pelajaran ilmu, sebelum shalat Jum’at. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar: “bahwa Nabi saw melarang, menghadiri tempat pelajaran ilmu pada hari Jum’at, sebelum shalat”. Kecuali ia ulama pada jalan Allah, mengingati segala hari Allah, memahami agama Allah, berbicara pada masjid jami’ pada pagi hari. Lalu ia duduk di situ, maka adalah ia menghimpunkan diantara berpagi-pagi dan mendengar ilmu. Mendengar ilmu yang bermanfa’at pada jalan akhirat, adalah lebih utama, daripada mengerjakan amalan sunnat. Diriwayatkan oleh Abu Dzar: “Bahwa menghadiri majelis ilmu, adalah lebih utama daripada shalat 1000 raka’at”. Berkata Anas bin Malik, tentang firman Allah Ta’ala: “Dan apabila selesai mengerjakan shalat, kamu boleh bertebaran di muka bumi dan carilah kurnia Allah”. S 62 Al Jumu’ah ayat 10, bahwa yang dimaksud bukanlah mencari dunia, tetapi mengunjungi orang sakit, bertukam/mengunjungi pada orang meninggal, mempelajari ilmu pengetahuan dan menziarahi saudara pada jalan Allah ‘Azza wa Jalla (fillahi Ta’ala). Allah ‘Azza wa Jalla menamakan “ilmu” itu “kurnia” pada beberapa tempat di dalam Al-Qur’an. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan Allah mengajarkan apa yang belum engkau ketahui, kurnia Allah kepada engkau sangat besarnya”. S 4 An-Nisaa’ ayat 113. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami sendiri”. S 34 As Sabak ayat 10, yakni ilmu. Mempelajari ilmu pengetahuan dan mengajarkannya pada hari ini, adalah pengorbanan yang lebih utama. Dan shalat adalah lebih utama daripada majelis tukang-tukang ceritera. Karena mereka memandang perbuatan tukang ceritera itu bid’ah. Dan mereka mengeluarkan tukang-tukang ceritera itu dari masjid jami’. Ibnu Umar ra datang pagi-pagi ke tempatnya dalam masjid jami’, tiba-tiba di situ seorang tukang ceritera berceritera pada tempatnya. Berkata Ibnu Umar: “Bangunlah dari tempatku!”. Menjawab tukang ceritera itu: “Aku tidak mau. Aku telah duduk di sini dan aku telah lebih dahulu daripada engkau!”. Maka Ibnu Umar meminta bantuan polisi. Lalu datanglah polisi membangunkan orang itu. Kalau adalah yang demikian itu, termasuk sunnah, tentulah tidak boleh membangunkannya. Bersabda Nabi saw: “Janganlah dibangunkan seorang kamu akan saudaranya dari tempat duduknya, kemudian ia duduk padanya. Tetapi berlapang-lapanglah dan berluas-luaslah!”. Dan ketika laki-laki tukang ceritera itu, telah bangun dari tempat Ibnu Umar, maka Ibnu Umar tidak duduk disitu, sehingga kembalilah laki-laki itu ke tempat tadi. Diriwayatkan, bahwa seorang tukang ceritera duduk di halaman kamar ‘Aisyah, maka beliau mengirimkan kabar kepada Ibnu Umar, dengan kata-kata: “Bahwa orang itu, telah menyakitkan aku dengan ceriteranya dan mengganggukan aku dari pembacaan tasbihku”. Maka orang itu dipukul oleh Ibnu Umar sampai pecah tongkatnya pada punggung orang itu, kemudian diusirnya. Kedua: bahwa adalah muraqabah yang sebaik-baiknya pada saat mulia itu. Dan hadits mahsyur, tersebut: “Sesungguhnya pada hari Jum’at ada suatu saat, kalau kebetulan seorang hamba muslim, meminta sesuatu kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada saat itu, niscaya diberikannya”. Pada hadits lain: “Tidak dijumpai saat itu oleh hamba yang bershalat”. Berbeda pendapat tentang saat itu. Ada yang mengatakan, ketika terbit matahari, ada yang mengatakan ketika gelincir matahari, ada yang mengatakan beserta adzan, ada yang mengatakan apabila imam naik ke mimbar dan berkhutbah, ada yang mengatakan apabila manusia berdiri kepada shalat, ada yang mengatakan pada akhir waktu ‘ashar, yakni waktu ikhtiar (waktu yang dipilih untuk shalat) dan ada yang mengatakan sebelum terbenam matahari. Dan fatimah ra menjaga waktu itu dan menyuruh pembantunya melihat matahari, untuk diberitahukan kepadanya matahari itu sudah jatuh ke tepi langit. Maka masuklah ia ke dalam do’a dan istighfar, sampai kepada terbenam matahari. Ia menceriterakan, bahwa saat itu, adalah saat yang ditunggu-tunggu. Dan ia terima berita itu daripada ayahandanya Rasulullah saw. Berkata setengah ulama, bahwa saat mulia itu tidak jelas pada seluruh hari Jum’at, seperti Lailatul-Qadar, sehingga hendaknya sempurnalah segala cara mengintipnya. Ada yang mengatakan, bahwa saat mulia itu berpindah-pindah dalam segala saat hari Jum’at seperti berpindahnya Lailatul-Qadar. Inilah yang lebih sesuai. Dan mempunyai rahasia, yang tidak layak diterangkan pada ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Tetapi seyogyalah membenarkan apa yang dikatakan Nabi saw: “Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai wangi-wangian dalam hari-hari masamu. Dari itu, datangilah kepada wangi-wangian itu”. Dan hari Jum’at, termasuk diantara hari-hari itu. Maka seyogyalah hamba itu pada seluruh harinya. Mencari saat mulia itu, dengan menghadirkan hati, membiasakan berdzikir dan mencabutkan diri dari segala gangguan dunia. Semoga ia memperoleh sedikit dari wangi-wangian yang harum itu!. Berkata Ka’b Al-Ahbar, bahwa saat mulia itu, adalah pada saat terakhir, daripada hari Jum’at, yaitu: ketika terbenam matahari. Lalu berkata Abu Hurairah: “Bagaimana adanya saat mulia itu, pada saat terakhir, padahal aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak dijumpai saat itu oleh hamba yang bershalat. Dan tidaklah ketika shalat”. Maka menjawab Ka’b: “Tidakkah Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang duduk menunggu shalat, maka adalah dia di dalam shalat?”. Menjawab Abu Hurairah: “Ya, benar!”. Menyambung Ka’b: “Maka yang demikian itu shalat!”. Maka Abu Hurairah diam. Dan Ka’b condong kepada saat mulia itu, adalah rahmat dari Allah Ta’ala kepada mereka yang tegak berdiri menunaikan hak hari Jum’at. Dan waktu turunnya saat itu, adalah ketika selesai daripada menyempurnakan amal perbuatan. Kesimpulan, itu adalah waktu mulia, bersamaan dengan waktu naiknya imam ke mimbar. Maka perbanyakkanlah do’a pada kedua waktu itu! Ketiga: disunnatkan berbanyak selawat kepada Rasulullah saw pada hari Jum’at. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang berselawat kepadaku pada hari Jum’at, 80 kali, niscaya diampunkan Allah dosanya 80 tahun”. Maka bertanya shahabat: “Bagaimanakah berselawat kepada engkau?”. Menjawab Nabi saw: “Engkau bacakan: “Ya Allah, ya Tuhan kami! Berilah rahmat kepada Muhammad hambaMU, nabiMU, dan rasulMU, nabi yang ummi (tidak pandai tulis baca)”. Dan ini, engkau kirakan satu kali. Dan kalau engkau bacakan: “Ya Allah, ya Tuhan kami! Berikanlah rahmat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, rahmat yang menjadi kerelaanMU dan iringilah tunainya rahmat itu. Anugerahilah dia jalan dan berikanlah kepadanya tempat terpuji yang Engkau janjikan. Dan berikanlah kepadanya balasan daripada kami, akan apa yang menjadi haknya dan berikanlah kepadanya sebaik-baik apa yang Engkau berikan balasan kepada seorang nabi daripada umatnya. Berikanlah rahmat kepadanya dan kepada segala saudaranya dari nabi-nabi dan orang-orang shalih, wahai yang amat penyayang dari segala yang penyayang”. Engkau bacakan ini, 7 kali. Ada yang mengatakan bahwa siapa yang membacanya pada 7 Jum’at dan pada tiap-tiap Jum’at 7 kali, niscaya wajiblah baginya syafa’at Nabi saw. Dan kalau bermaksud menambahkan lagi, maka bacakan selawat yang berasal dari atsar, yang artinya sebagai berikut: “Ya Allah, ya Tuhanku! Jadikanlah segala rahmatMU yang utama, berkatMU yang bertambah-tambah, kesucianMU yang mulia, kasih sayangMU, rahmatMU dan ucapan selamatMU kepada Muhammad, penghulu segala rasul, imam segala orang yang bertaqwa, kesudahan segala nabi dan rasul Tuhan seru sekalian alam, panglima kebajikan, pembuka kebaikan, nabi rahmat dan penghulu ummat! Ya Allah, ya Tuhanku! Berikanlah kepadanya tempat terpuji yang bertambah dekat kehampirannya dengan tempat itu, dan Engkau tetapkan matanya, yang digemari oleh orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian! Ya Allah, ya Tuhanku! Berikanlah kepadanya kelebihan dan keutamaan, kemuliaan, jalan, derajat tinggi dan tempat agung mulia! Ya Allah, ya Tuhanku! Berikanlah kepada Muhammad permintaannya, sampaikanlah cita-citanya, jadikanlah dia yang pertama memberi syafa’at dan yang pertama yang diterima syafa’atnya! Ya Allah, ya Tuhanku! Agungkanlah dalil kebenarannya, beratkanlah timbangannya, tegaskanlah alasannya dan tinggikanlah derajatnya pada tempat tertinggi dari orang-orang muqarrabin! Ya Allah, ya Tuhanku! Kumpulkanlah kami dalam rombongannya, jadikanlah kami dari orang yang memperoleh syafa’atnya, hidupkanlah kami di atas sunnahnya, matikanlah kami di atas agamanya, bawakanlah kami ke kolamnya dan anugerahilah kami minuman dengan gelasnya, tiada merugi, menyesal, ragu-ragu, bertukar-tukar, berbuat fitnah dan mendapat fitnah! Terimalah doa’ku, wahai Tuhan seru sekalian alam!”. Kesimpulannya, tiap-tiap yang dibacakan dari kata-kata selawat, walaupun kalimat yang terkenal pada do’a tasyahhud, adalah ia telah berselawat kepada Nabi saw. Seyogyalah ditambahkan kepada pembacaan selawat itu, istighfar. Itupun disunnatkan juga pada hari Jum’at. Keempat: membaca Al-Qur’an. Maka hendaklah membanyakkan pembacaan itu dan hendaklah membacakan surat Al-Kahfi khususnya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah ra: “Bahwa siapa membaca surat Al-Kahfi pada malam Jum’at atau siangnya, niscaya dianugerahkan kepadanya nur, dimana dibacanya sunnat itu, sampai ke Makkah dan diampunkan dosanya sampai kepada hari Jum’at yang lain serta dilebihkan lagi tiga hari. Dan berdo’a kepadanya 70 ribu malaikat, sampai kepada pagi hari. Dan disembuhkan dia daripada penyakit biasa, penyakit dalam, sesak nafas, supak, kusta dan fitnah dajjal”. Disunnatkan khatam (menamatkan) Al-Qur’an pada hari Jum’at dan malamnya, kalau sanggup. Dan hendaklah penamatan Al-Qur’an itu, pada kedua rak’aat shalat Shubuh, kalau dibacanya pada malam atau pada kedua rak’aat Maghrib atau diantara adzan dan qamat bagi shalat Jum’at. Menamatkan pembacaan Al-Qur’an itu, mempunyai kelebihan besar. Dan adalah orang-orang ‘abid (yang banyak beribadah), menyunatkan pembacaan “Qil-huwallaahu ahad” 1000 X pada hari Jum’at. Dan dikatakan, bahwa siapa yang membaca nya pada 10 raka’at atau 20, maka itu adalah lebih utama daripada penamatan Al-Qur’an. Dan mereka berselawat kepada Nabi saw 1000 X dan membaca “Subhaanallah, wal-hamdu lillaah wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar” 1000 Xi. Kalau dibacakan 6 surat dari 7 surat yang panjang di dalam Al-Qur’an, pada hari Jum’at atau pada malamnya, maka adalah baik. Dan tiadalah diriwayatkan, bahwa Nabi saw ada membacakan beberapa surat tertentu, selain pada hari Jum’at dan malamnya, dimana beliau membaca pada shalat Maghrib dari malam Jum’at, surat “Qul yaa ayyuhal kafiruun” dan “Qul huwallaahu ahad”’. Dan beliau membaca pada shalat ‘Isya, surat “Al-Jumuah” dan “Al-Munafiquun”. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw membaca kedua surat tadi, pada kedua raka’at Jum’at. Dan beliau membaca pada shalat Shubuh hari Jum’at, surat “As-Sajadah” dan surat “Hal ataa ‘alal-insaan”. Kelima: shalat-shalat. Disunnatkan apabila memasuki masjid jami’, tidak duduk sebelum bershalat empat raka’at, yang dibacakan pada raka’at itu “Qul huwallaahu ahad” 200 kali, pada masing-masing raka’atnya 50 kali. Dinukilkan daripada Rasulullah saw bahwa: “Siapa yang berbuat demikian, niscaya ia tidak mati, sehingga dilihatnya tempatnya di dalam sorga”. Atau diperlihatkan kepadanya. Dan tidak ditinggalkan dua raka’at shalat tahiyyah masjid, meskipun imam berkhutbah. Tetapi hendaklah diringankan shalat itu. Disuruh oleh Rasulullah saw dengan demikian. Dan pada suatu hadits gharib (hadits yang tidak terkenal), tersebut: “Bahwa Nabi saw diam daripada meneruskan khutbah, untuk orang yang masuk sampai ia menyelesaikan shalat dua raka’at tahiyyah masjid”. Berkata ulama-ulama Kufah: “Kalau imam diam untuk orang yang masuk itu, maka orang yang masuk itu mengerjakan shalat tahiyyah masjid dua raka’at”. Disunnatkan pada hari Jum’at atau pada malamnya bershalat empat raka’at, dengan empat surat, yaitu: surat Al-An’am, Al-Kahfi, Tho Ha dan Ya-Sin, Kalau tidak dihafalnya surat-surat tersebut, maka dibaca: surat Ya-sin, surat As-sajadah, surat Ad-Dukhan dan surat Al-Mulk. Dan tidak ditinggalkan membaca surat-surat yang empat ini pada malam Jum’at, karena padanya banyak kelebihan. Dan orang yang tidak menghafal Al-Qur’an, maka dibaca apa yang dihafalnya. Bacaan itu, adalah berkedudukan pengkhataman Al-Qur’an baginya. Dan diperbanyakkan membaca surat “Al-Ikhlash”. Dan disunnatkan mengerjakan shalat tasbih, sebagaimana akan diterangkan caranya pada “Bab Amalan Sunat”, karena Nabi saw mengatakan kepada pamannya Al-Abbas: “Kerjakanlah shalat tasbih itu, pada tiap-tiap Jum’at”. Dan adalah Ibnu Abbas ra tidak meninggalkan shalat ini pada hari Jum’at, sesudah tergelincir matahari. Dan ia menerangkan tentang besar kelebihannya. Yang lebih baik, menggunakan waktu sampai kepada tergelincir matahari, untuk shalat. Dan sesudah Jum’at sampai kepada waktu ‘Ashar, untuk mendengar ilmu pengetahuan. Dan sesudah ‘Ashar sampai kepada waktu Maghrib, untuk bertasbih dan beristighfar. Keenam: disunnatkan bersedekah pada hari Jum’at khususnya, karena berganda-ganda pahalanya. Kecuali kepada orang yang meminta-minta, sedang imam membaca khutbah dan ia berbicara pada waktu imam sedang berkhutbah itu. Maka dimakruhkan bersedekah. Berkata saleh bin Muhammad: “Seorang miskin meminta-minta pada hari Jum’at dan imam sedang membaca khutbah dan orang yang meminta-minta itu menuju ke samping ayahku. Lalu seorang laki-laki menyerahkan sepotong barang kepada ayahku, untuk diberikannya kepada orang yang meminta-minta itu. Ayahku tiada mau mengambilnya”. Berkata Ibnu Mas’ud: “Apabila seorang meminta-minta dalam masjid, maka mustahaklah tidak diberikan. Dan apabila ia meminta-minta atas pembacaan Al-Qur’an, maka janganlah engkau berikan!”. Sebahagian ulama berpendapat, makruh bersedekah atas permintaan dalam masjid jami’, dimana mereka meminta-minta itu, melangkahi leher orang. Kecuali ia meminta-minta dengan berdiri atau duduk pada tempatnya, tanpa melangkahi leher orang. Berkata Ka’b Al-Ahbar: “Siapa yang menghadiri Jum’at, kemudian pulang, lalu bersedekah dengan dua benda yang berlainan, kemudian kembali lagi, lalu mengerjakan shalat dua raka’at, dengan menyempurnakan ruku’, sujud dan khusyu’ pada kedua raka’at itu, kemudian ia membaca: “Ya Allah, ya Tuhanku! Bahwasanya aku bermohon akan Engkau dengan nama Engkau, dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan dengan nama Engkau, yang tiada disembah selain Allah, yang hidup, yang berdiri sendiri, yang tidak didatangi kelupaan dan ketiduran”, maka tidaklah orang itu, meminta sesuatu pada Allah Ta’ala melainkan diberinya”. Dan berkata setengah salaf: “Siapa memberikan makanan kepada orang miskin pada hari Jum’at, kemudian ia berpagi-pagi dan bersegera dan tidak menyusahkan seseorang, kemudian membaca, ketika imam memberi salam. “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang hidup, lagi yang berdiri sendiri. Aku bermohon akan Engkau, kiranya mengampuni akan aku, mengrahmati akan aku dan memeliharakan aku daripada neraka”. Kemudian berdo’a dengan apa yang ada padanya, niscaya dimakbulkan do’anya. Ketujuh: bahwa dijadikan hari Jum’at itu untuk akhirat. Maka mencegah diri pada hari itu, daripada segala pekerjaan duniawi dan memperbanyak kan bermacam-macam wirid. Dan tidaklah dimulai bermusafir (berjalan jauh) pada hari Jum’at. Diriwayatkan: “Bahwa siapa yang bermusafir pada malam Jum’at, niscaya berdo’a yang merugikan kepadanya oleh dua malaikat nya”. Bermusafir setelah terbit fajar, adalah haram, kecuali ada keperluan penting yang akan lenyap. Dimakruhkan oleh setengah salaf, membeli air dalam masjid dari pembawa air minum, untuk diminumnya sendiri atau untuk disedekahkan kepada orang. Sehingga tidak adalah barang yang diperjual-belikan dalam masjid. Karena berjual-beli dalam masjid, adalah makruh hukumnya. Mereka mengatakan, tidak mengapa kalau diberikan kepadanya sepotong barang di luar masjid. Kemudian ia minum atau bersedekah barang itu dalam masjid. Kesimpulannya, seyogyalah ditambahkan pada hari Jum’at dengan bermacam-macam wirid dan kebajikan. Karena Allah Ta’ala apabila mengasihi seorang hamba, niscaya dipakaikan ALLAH hamba ALLAH itu pada waktu yang baik dengan amal perbuatan yang baik. Dan apabila membencinya, niscaya dipakaikan ALLAH pada waktu yang baik dengan perbuatan yang jahat. Supaya adalah yang demikian itu lebih menyakitkan pada cacian ALLAH dan lebih memberatkan pada kutukan ALLAH, karena diharamkan ALLAH keberkatan waktu dan dibinasakan ALLAH kehormatan waktu. Disunnatkan pada hari Jum’at bemacam-macam do’a dan akan datang penjelasannya pada “Kitab do’a-do’a”, insya Allah Ta’ala!”. Dan rahmat Allah kepada tiap-tiap hamba ALLAH yang pilihan!. BAB KEENAM: Tentang masalah-masalah yang berpisah-pisah, yang meratai bencananya dan memerlukan murid mengenalinya. Adapun masalah-masalah yang jarang terjadi, maka dapatlah kita menyelidikinya dalam kitab-kitab fiqih. Masalah: Perbuatan yang sedikit, meskipun tidak membatalkan shalat, maka adalah makruh, kecuali diperlukan. Umpamanya: menolak orang lalu, membunuh kalajengking yang ditakuti dan mungkin membunuhnya dengan sekali atau dua kali pukul. Apabila tiga kali, maka telah banyak dan batallah shalat. Begitupula kutu dan kutu anjing, apabila menyakitkan badan, maka bolehlah membuangnya. Dan demikian juga, hajatnya kepada menggaruk, yang mengganggu kekhusyu’annya. Adalah Mu’az mengambil kutu dan kutu anjing dalam shalatnya. Dan Ibnu Umar membunuh kutu dalam shalat, sehingga kelihatan darah pada tangannya. Berkata An-Nakha’i: “Bahwa orang yang bershalat itu, mengambil kutu dan membuangnya dan tiada mengapa kalau membunuhnya”. Berkata Ibnul-Musayyab: “Bahwa orang yang bershalat itu mengambil kutu dan menutupkannya, kemudian membuangkannya”. Dan berkata Mujahid: “Bahwa yang lebih baik padaku ialah membiarkan kutu itu, kecuali menyakitinya, sehingga mengganggunya dari shalat, maka disingkirkan sekedar yang menyakitinya. Kemudian sesudah shalat baru dicampakkan”. Itu, adalah suatu keringanan. Kalau tidak, maka yang sempurna, ialah menjaga dari perbuatan, walaupun sedikit. Dari itu, adalah setengah mereka, tiada mengusir lalat dan berkata: “Tidak aku biasakan diriku yang demikian, nanti merusakkan shalatku. Aku mendengar bahwa orang-orang fasiq dihadapan raja-raja, sabar menahan kesakitan yang keras dan tidak bergerak”. Kalau menguap, maka tiada mengapa meletakkan tangan pada mulut. Yang begitu, adalah lebih utama. Dan kalau bersin, maka memujikan Allah di dalam hati & tidak menggerakkan lidah. Dan kalau bersendawa, maka seyogyalah tidak mengangkatkan kepala arah ke langit. Dan kalau jatuh kain penutup badan, maka tidaklah wajar memperbaiki pemakaiannya. Begitupula tepi serban. Semuanya itu makruh, kecuali kalau diperlukan. Masalah: Bershalat dengan dua alas kaki, dibolehkan, walaupun membukanya itu mudah. Dan tidaklah keringanan itu, pada muza (sepatu pansus), karena sukar membukanya. Bahkan najis itu, dima’afkan daripadanya. Dan disamakan dengan najis yang ada pada sepatu pansus itu, najis yang ada pada madas (semacam sandal). Nabi saw mengerjakan shalat dengan dua alas kakinya, kemudian dibukanya. Lalu orang banyakpun membuka alas kaki mereka. Maka bertanya Nabi saw: “Mengapakah kamu membuka alas kakimu?”. Mereka menjawab: “Kami lihat engkau membuka, maka kamipun membuka”. Maka menyambung Nabi saw: “Bahwa Jibril as datang kepadaku, menerangkan bahwa pada kedua alas kakiku ada najis. Apabila bermaksud seorang kamu ke masjid, maka hendaklah membalikkan kedua alas kakinya & memperhatikan pada keduanya. Kalau ia melihat najis, maka hendaklah disapunya dengan tanah & bershalatlah dengan keduanya”. Berkata setengah mereka: “Shalat dengan dua alas kaki itu, adalah lebih utama (afdhal), karena Nabi saw bersabda: “Mengapakah kamu membuka alas kakimu?”. Ini adalah berlebih-lebihan, karena Nabi saw menanyakan mereka, untuk menerangkan kepada mereka sebabnya Nabi saw membuka alas kakinya. Sebab Nabi saw mengetahui, bahwa mereka membuka alas kakinya adalah menyesuaikan perbuatannya dengan perbuatan Nabi saw diriwayatkan oleh Abdullah bin As-Saib, bahwa: “Nabi saw membuka ke2 alas kakinya”. Jadi, Nabi saw telah berbuat dengan membuka ke2 alas kakinya itu. Siapa yang membuka, maka tidaklah wajar meletakkan ke2 alas kakinya itu, pada kanannya atau pada kirinya, lalu menyempitkan tempat & memutuskan shaf. Tetapi hendaklah diletakkan dihadapannya & tidak ditinggalkan di belakang, karena membawa hati menoleh kepada alas kaki itu. Dan mungkin orang yang berpendapat bahwa bershalat dengan keduanya lebih utama, adalah menjaga maksud itu, yaitu: berpalingnya hati kepada kedua alas kaki tersebut. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila mengerjakan shalat seorang kamu, maka hendaklah menjadikan ke2 alas kakinya diantara ke2 kakinya”. Berkata Abu Hurairah kepada orang yang lain: “Letakkanlah keduanya diantara kedua kakimu! Janganlah engkau menyusahkan orang muslim dengan kedua alas kaki itu! Dan Rasulullah saw meletakkan keduanya di sebelah kirinya & beliau adalah imam shalat”. Jadi, imam boleh berbuat demikian, karena tiada berdiri seorangpun pada kirinya. Yang lebih utama, ialah ke2 alas kaki itu, tidak diletakkan diantara ke2 tapak kaki, karena mengganggukannya, tetapi diletakkan di muka ke2 tapak kaki. Kiranya, itulah yang dimaksud dengan hadits tadi. Berkata Jubair bin Muth-‘im: “Meletakkan ke2 alas kaki, diantara kedua tapak, adalah bid’ah”. Masalah: Apabila meludah dalam shalat, maka tidaklah batal shalat, karena itu adalah perbuatan yang sedikit. Dan yang tidak mendatangkan suara, maka tidaklah dinamakan berkata-kata & tidaklah merupakan bentuk huruf dari kata-kata. Hanya meludah itu, adalah makruh. Dari itu, seyogyalah dijaga daripadanya, kecuali seperti apa yang diizinkan oleh Nabi saw. Karena diriwayatkan setengah shahabat: “Bahwa Rasulullah saw melihat dahak pada qiblat, maka amat marahlah beliau. Lalu digosokkannya dengan gundar yang ada pada tangannya & bersabda: “Bawalah kepadaku sedikit bau-bauan!”. Lalu beliau letakkan kumkuma pada bekas dahak itu. Kemudian berpaling kepada kami & bersabda: “Siapakah diantara kamu, yang suka meludah di mukanya?”. Maka kami menjawab: “’Tiada seorangpun!”. Menyambung Nabi saw: “Sesungguhnya seorang kamu, apabila masuk dalam shalat, maka sesungguhnya Allah Ta’ala adalah diantaranya & qiblat”. Dan pada riwayat yang lain: “Dia dihadapi oleh Allah Ta’ala. Maka janganlah meludah seorang kamu, di depan mukanya & kanannya. Tetapi di kirinya atau di bawah tapak kirinya. Kalau terburu-buru, maka hendaklah meludah dalam kainnya & hendaklah mengatakan: “Beginilah!”. Dan digosokkan sebahagian dengan sebahagian yang lain”. Masalah: Berdiri ma’mum itu, ada yang sunnat dan ada yang fardlu. Yang sunnat, ialah: berdiri ma’mum yang seorang di kanan imam, terkebelakang daripadanya sedikit. Dan ma’mum wanita yang seorang, berdiri di belakang imam. Kalau ia berdiri disamping imam, maka tidaklah membawa melarat, tetapi menyalahi sunnah. Kalau bersama ma’mum wanita, ada ma’mum laki-laki, maka ma’mum laki-laki berdiri di kanan imam dan ma’mum wanita di belakang ma’mum laki-laki tadi. Dan janganlah berdiri seorang sendirian di belakang shaf, tetapi masuklah ke dalam shaf atau menarikkan seorang dari shaf kepadanya. Kalau berdiri juga ia sendirian, maka shalatnya syah tetapi makruh. Adapun fardlu, maka yaitu: menyambung shaf. Yakni diantara ma’mum dan imam, ada ikatan yang menghimpunkan, karena keduanya, adalah dalam suatu jama’ah. Kalau keduanya dalam masjid, maka mencukupilah yang demikian itu, menghimpunkan keduanya. Karena masjid itu dibangun untuk yang demikian. Maka tidaklah memerlukan kepada sambungan shaf, tetapi mencukupilah sampai ma’mum itu mengetahui segala perbuatan imam. Abu Hurairah ra mengerjakan shalat pada bahagian atas masjid dengan mengikuti shalat imam. Apabila ma’mum berada di halaman masjid pada jalan besar atau pada lapangan luas milik perkongsian dan tak ada diantara imam dan ma’mum bermacam-macam rumah yang memisahkan, maka memadailah kedekatan, sekedar tembakan anak busur. Dan mencukupilah ikatan dengan yang demikian, karena sampai perbuatan salah seorang daripada keduanya kepada yang lain. Sesungguhnya, disyaratkan apabila ma’mum itu berdiri pada beranda rumah di kanan masjid atau dikirinya dan pintunya menempel pada masjid, maka yang disyaratkan, ialah: bahwa memanjang shaf masjid yang dalam lorongnya, tanpa putus sampai kepada beranda rumah. Kemudian syahlah shalat orang yang dalam shaf itu dan orang yang di belakangnya. Tidak syah orang dihadapannya. Begitulah hukumnya, kalau dalam rumah yang berlain-lainan. Adapun satu rumah dan satu lapangan, maka adalah seperti satu tanah lapang. Masalah: Masbuq (ma’mum yang terkemudian masuk ke dalam shalat), apabila mendapati akhir shalat imam, maka itulah awal shalatnya. Maka hendaklah ia menyesuaikan dengan shalat imam, kemudian ia meneruskan shalatnya, ketika imam telah selesai dari shalat. Dan hendaklah ia berqunut Shubuh pada akhir shalatnya sendiri, meskipun ia telah berqunut bersama imam. Kalau masbuq itu mendapati bersama imam sebahagian berdiri, maka janganlah membaca do’a iftitah. Dan hendaklah memulai dengan al-fatihah dan hendaklah meringkaskannya. Kalau imam ruku’ sebelum sempurna al-fatihahnya dan sanggup ia menghubungi imam pada i’tidalnya dari ruku’, maka hendaklah ia menyempurnakan al-fatihah. Dan kalau tidak sanggup, maka ia menyesuaikan dengan shalat imam dan terus ia ruku’. Dan al-fatihah yang dibacanya sebahagian itu, dihitung cukup dan yang tidak dibacanya menjadi gugur, disebabkan ia orang masbuq. Kalau imam ruku’ dan ia sedang membaca surat, maka hendaklah diputuskannya pembacaan itu. Kalau ia mendapati imam dalam sujud atau tasyahhud, maka ia bertakbiratul-ihram, kemudian terus duduk, tanpa takbir perpindahan (takbir intiqalat). Lain halnya, kalau ia mendapati imam pada ruku’, maka ia bertakbir intiqalat, sebagai takbir kedua sesudah takbiratul-ihram pada turunnya kepada ruku’. Karena yang demikian itu, adalah kepindahan yang dihitung baginya. Segala takbir intiqalat yang asli adalah dalam shalat, tidaklah karena hal-hal yang mendatang, disebabkan mengikut imam. Dan ma’mum masbuq itu, tiada memperoleh raka’at, selama tidak berthuma’ninah dalam ruku’ sebagai orang yang ruku’ dan imampun masih dalam keadaan orang yang ruku’. Kalau ia belum menyempurnakan thuma’ninahnya, kecuali sesudah imam keluar dari batas orang yang ruku’, maka dalam keadaan demikian ma’mum masbuq tadi, tidak mendapat raka’at itu. Masalah: Siapa yang luput shalat Dhuhur sampai waktu ‘Ashar, maka hendaklah ia mengerjakan shalat dhuhur dahulu, kemudian baru mengerjakan ‘Ashar. Kalau ia memulai dengan ‘Ashar, memadai juga, tetapi telah meninggalkan yang lebih utama dan menjerumuskan diri ke dalam persoalan yang diperselisihkan. Kalau ia mendapati imam, maka hendaklah mengerjakan shalat ‘Ashar, kemudian barulah ia mengerjakan shalat Dhuhur sesudahnya. Karena berjama’ah dengan shalat ada’ (shalat dalam waktunya), adalah lebih utama. Kalau ia bershalat sendirian pada awal waktu, kemudian ia mendapati shalat jama’ah, maka bershalatlah lagi dalam jama’ah dan meniatkan shalat waktu itu. Allah Ta’ala akan menghitung mana yang dikehendaki ALLAH. Kalau ia meniatkan shalat yang tertinggal (shalat qodo’) atau meniatkan shalat sunnat, maka bolehlah yang demikian. Kalau ia telah bershalat jama’ah, kemudian memperoleh lagi jama’ah lain, maka hendaklah ia meniatkan shalat yang tertinggal (shalat qodo’) atau shalat sunnat. Karena mengulangi shalat yang sudah dilaksanakan dengan jama’ah, sekali lagi, tak ada alasan baginya. Cara berbuat demikian, adalah untuk memperoleh keutamaan berjama’ah semata-mata. Masalah: Siapa yang telah shalat, kemudian melihat pada kainnya najis, maka yang lebih disukai ialah mengerjakan shalat itu kembali dan tidak wajib. Kalau ia melihat najis itu sedang shalat, maka hendaklah dilemparkannya kain itu dan diteruskannya shalat. Dan yang lebih disukai, ialah mengulangi shalat itu kembali. Pokok pemahaman ini, ialah ceritera penanggalan dua alas kaki Nabi saw, ketika diterangkan oleh Jibril as kepadanya, bahwa pada kedua alas kakinya itu ada najis. Nabi saw tidak mengulangi shalatnya. Masalah: Siapa yang meninggalkan tasyahhud pertama atau qunut atau selawat kepada Nabi saw pada tasyahhud pertama atau berbuat suatu perbuatan karena lupa dan kalau disengaja, shalat menjadi batal, atau ia ragu, lalu tidak diketahuinya, apakah ia telah shalat tiga raka’at atau empat raka’at, maka dalam hal ini, diambil yang yakin dan sujud dua sujud sahwi (sujud karena kelupaan), sebelum salam. Kalau lupa, lalu sesudah salam, manakala ia teringat dalam waktu berdekatan. Maka jikalau ia sujud sahwi sesudah salam dan sesudah berhadats, maka batallah shalatnya. Karena tatkala ia masuk ke dalam sujud, adalah seolah-olah ia menjadikan salamnya itu terlupa, tidak pada tempatnya. Maka tidaklah berhasil tahallul (menjadi halal apa yang dilarang dengan shalat) dengan salam itu. Dan ia telah kembali kepada shalat. Dari itulah, diulangi salam sesudah sujud sahwi. Kalau ia teringat kepada sujud sahwi setelah keluar dari masjid atau setelah lama masanya, maka luputlah waktu untuk sujud sahwi itu. Masalah: Was-was (bimbang hati) pada niat shalat, adalah disebabkan oleh kelemahan pikiran atau kebodohan tentang agama. Karena menuruti perintah Allah Ta’ala, adalah seperti menuruti perintah selain ALLAH. Dan mengagungkan ALLAH adalah seperti mengagungkan selain ALLAH, tentang kasad di hati. Siapa yang datang kepadanya seorang ulama, lalu ia berdiri menghormatinya, maka kalau ia mengatakan: “Aku meniatkan berdiri, untuk menghormati kedatangan pak Zaid yang mulia, karena kemuliaannya, menyambut kedatangannya, dengan menghadapkan wajahku kepadanya”, maka perkataan itu, menunjukkan kepada kebodohan. Tetapi sebegitu melihatnya dan mengetahui kelebihannya, terus timbul pendorong untuk menghormatinya. Lalu pendorong itu membawa ia berdiri dan memuliakannya. Kecuali ia berdiri karena urusan lain atau dalam kealpaan. Pensyaratan adanya shalat itu Dhuhur, dalam waktu dan fardlu, dalam keadaannya, menuruti perintah Allah, adalah seperti pensyaratan adanya berdiri yang disertai dengan masuk, serta menghadapkan muka kepada orang yang masuk itu dan tanpa penggerak lainnya, selain yang tersebut dan maksud penghormatan dengan demikian, adalah supaya menjadi penghormatan. Karena kalau ia berdiri membelakangi orang yang mau dihormati atau ia bersabar dahulu, kemudian sesudah sejenak, baru ia bangun berdiri, maka tidaklah itu penghormatan namanya. Kemudian, sifat-sifat tersebut, harus ada, harus dimaklumi dan dimaksudkan. Kemudian tidak lama datangnya pada hati dalam satu detik. Yang lama, hanyalah menyusun kata-kata yang menunjukkan kepada sifat-sifat itu. Adakalanya diucapkan dengan lisan dan adakalanya dipikirkan dengan hati. Siapa yang tidak memahami niat shalat secara ini, adalah seolah-olah ia tiada memahami niat. Sehingga tiada padanya selain daripada anda dipanggil supaya mengerjakan shalat pada suatu waktu, lalu anda terima panggilan itu dan anda tegak berdiri. Was-was itu, adalah semata-mata kebodohan. Segala maksud dan pengetahuan itu, berkumpul dalam hati pada suatu keadaan. Dan tidaklah berpisah-pisah satu dengan lainnya di dalam hati, dari segi dilihat dan diperhatikan semuanya itu oleh hati. Berbeda antara kehadiran sesuatu dalam hati dan perinciannya dengan pemikiran. Kehadiran adalah berlawanan dengan keghaiban dan kealpaan, meskipun tidak diperincikan. Siapa yang mengetahui suatu kejadian, umpamanya, maka ia mengetahuinya dengan suatu pengetahuan dalam suatu keadaan. Pengetahuan itu mengandung beberapa pengetahuan yang mendatang, walaupun tiada diperincikan. Siapa yang mengetahui suatu kejadian, sesungguhnya ia telah mengetahui: yang ada (maujud), yang tiada (ma’dum), yang dahulu, yang kemudian dan waktu. Dan yang dahulu itu, adalah untuk tiada dan kemudian itu, adalah untuk ada. Segala pengetahuan tadi, tersimpul di bawah pengetahuan dengan suatu kejadian itu, dengan dalil bahwa orang itu mengetahui kejadian itu, apabila ia tiada mengetahui yang lain. Kalau umpamanya ditanyakan kepadanya: “Adakah anda mengetahui yang dahulu saja atau yang kemudian atau tiada atau terdahulu tiada atau terkemudian ada atau waktu yang terbagi kepada yang dahulu dan yang terkemudian?”, lalu ia menjawab: “Aku tiada mengetahuinya sekali-kali”, maka adalah dia itu pembohong. Dan perkataannya itu bertentangan dengan perkataannya: “Aku mengetahui kejadian itu”. Dari kebodohan dengan pengertian yang halus ini, melonjaklah ke-waswas-an itu. Orang yang waswas itu, memberatkan dirinya untuk menghadirkan ke dalam hatinya, pengertian ke Dhuhuran, dalam waktu (adaa’) dan fardlu, dalam suatu keadaan yang terperinci dengan kata-kata yang dibacanya. Yang demikian itu, adalah mustahil! Kalau ia memberatkan dirinya yang demikian, mengenai bangunnya untuk menghormati seorang ahli ilmu, niscaya amat sukarlah baginya. Dengan pengetahuan tersebut, tertolaklah waswas itu. Yaitu, ia mengetahui bahwa menuruti perintah Allah Ta’ala dalam niat, adalah seperti menuruti perintah selain ALLAH. Kemudian, aku tambahkan untuk lebih memudahkan dan menjelaskan, bahwa kalau orang yang waswas itu tidak memahami niat, kecuali dengan menghadirkan segala keadaan itu dengan terperinci dan tidak tergambar dalam hatinya dengan sekaligus, mengikuti perintah Allah dan ia menghadirkaan secara keseluruhan yang demikian itu, waktu sedang bertakbir, dari permulaannya sampai kepada penghabisannya, dimana ia tiada selesai daripada takbir itu, melainkan telah berhasillah niat tadi, niscaya memadailah yang demikian. Kita tidak memberatkan orang yang waswas itu, bahwa menyertakan semua tadi, dengan awal takbir atau dengan akhir takbir. Karena yang demikian adalah amat memberatkan. Dan kalau itu disuruh, tentu telah menimbulkan pertanyaan bagi orang-orang dahulu. Dan tentulah mendatangkan waswas bagi seseorang daripada shahabat tentang niat. Maka tidak terjadinya yang demikian itu, adalah menjadi dalil bahwa hal itu dipermudahkan (tidak dipersulitkan). Maka bagaimanakah niat itu menjadi mudah bagi orang waswas, selayaknyalah dicukupkan dengan itu. Sehingga ia terbiasa yang demikian dan ia terpisah daripada sifat waswas. Dan tidak memaksakan dirinya dengan meyakinkan yang demikian itu. Karena untuk meyakinkan itu, menambahkan kewaswasan. Telah kami sebutkan dalam “Al-Fatawa”, cara-cara yang meyakinkan, untuk mendatangkan keyakinan bagi segala pengetahuan dan maksud-maksud yang berhubungan dengan niat, di mana para ulama memerlukan untuk mengetahuinya. Adapun orang awwam, mungkin membawa kemelaratan mendengarnya dan membangkitkan was-was kepada mereka. Dari itu, kami tinggalkan menerangkannya!. Masalah: Seyogyalah ma’mum tidak mendahului imam pada ruku’, sujud, pada bangkit daripada keduanya dan pada perbuatan-perbuatan yang lain. Dan tidak seyogyalah ma’mum menyamai imam, tetapi hendaklah ia mengikuti imam dan menuruti di belakangnya. Inilah, arti mengikuti imam. Kalau ma’mum itu menyamai imam dengan sengaja, tidaklah batal shalatnya, sebagaimana kalau ma’mum itu berdiri di samping imam, tidak terbelakang daripada iman. Kalau ma’mum itu mendahului imam, maka mengenai batal shalatnya terdapat perbedaan paham diantara para ulama. Dan tidaklah jauh daripada kebenaran, kalau dihukum dengan batalnya. Karena diserupakan dengan: kalau ma’mum itu, lebih ke muka tempat berdirinya daripada imam. Bahkan ini lebih utama lagi, karena berjama’ah ialah mengikuti imam pada perbuatan, bukan pada tempat berdiri. Maka mengikuti pada perbuatan itu, adalah lebih penting!. Disyaratkan, tidak ke muka pada tempat berdiri, adalah untuk memudahkan bagi ma’mum mengikuti perbuatan imam dan untuk memperoleh bentuk mengikuti itu. Karena selayaknyalah bagi yang diikut, mendahului daripada yang mengikut. Tak adalah cara bagi ma’mum mendahului perbuatan imam, kecuali ia terlupa. Karena itulah Rasulullah saw sangat menantangnya, dengan sabdanya: “Apakah tidak takut orang yang mengangkatkan kepalanya sebelum imam, bahwa diputar oleh Allah kepalanya itu, menjadi kepala keledai?”. Adapun terkemudian daripada imam dengan satu rukun, tidaklah membatalkan shalat. Yang demikian itu, umpamanya: imam i’tidal dari ruku’, sedang ma’mum belum lagi ruku’. Tetapi terkemudian sampai batas ini adalah makruh. Kalau imam telah meletakkan dahinya ke lantai, sedang ma’mum belum lagi sampai kepada batas ruku’, niscaya batallah shalat ma’mum itu. Begitu pula kalau imam telah meletakkan dahinya untuk sujud kedua, sedang ma’mum belum lagi sujud pertama. Masalah: Berhaklah orang yang menghadiri shalat, apabila melihat orang lain berbuat salah pada shalatnya, menegur dengan memperbaiki dan menantang. Kalau kesalahan itu timbul pada orang bodoh, maka hendaklah orang bodoh itu dikawani dan diajari. Diantara yang tersebut itu, ialah menyuruh menyamakan shaf, melarang sendirian berdiri di luar shaf dan menegur orang yang mengangkatkan kepalanya sebelum imam dan lain-lain sebagainya. Bersabda Nabi saw: “Neraka wailun bagi orang berilmu, daripada orang bodoh, yang tidak diajarinya”. Berkata Ibnu Mas’ud ra: “Siapa yang melihat orang berbuat salah dalam shalatnya dan tidak ditegurnya, maka dia adalah sekutu orang itu dalam kedosaan”. Dari Bilal bin Sa’ad, bahwa ia berkata: “Kesalahan apabila disembunyikan, maka tidak mendatangkan melarat, kecuali atas orang yang berbuat kesalahan itu. Apabila kesalahan itu telah lahir dan tidak diadakan perobahan, maka adalah memberi melarat kepada orang awwam”. Pada hadits tersebut: “Bahwa Bilal meratakan shaf-shaf shalat dan memukul ujung betis mereka dengan cambuk”. Dari Umar ra, bahwa ia berkata: periksalah saudara-saudaramu yang tidak hadir pada shalat! Apabila kami dapati, mereka tidak menghadiri shalat, kalau mereka sakit, maka hendaklah kamu kunjungi mereka. Dan kalau mereka sehat, maka hendakah kamu menentang mereka. Menentang itu ialah, membantah tehadap orang yang meninggalkan jama’ah. Tidak layaklah mempermudah-mudahkan shalat jama’ah. Orang-orang dahulu, bersangatan benar padanya, sampai sebahagian mereka membawa jenazah kepada sebahagian orang yang meninggalkan shalat jama’ah, sebagai pertanda bahwa orang matilah yang meninggalkan jama’ah. Tidak orang yang hidup. Siapa yang masuk masjid, hendaklah menuju kebahagian kanan shaf. Dari itulah, berdesak-desak manusia kejurusan itu pada masa Rasulullah saw, sampai orang mengatakan kepada Nabi saw: Telah kosonglah bahagian kiri shaf. Maka menjawab Nabi saw: “Siapa yang meramaikan bahagian kiri masjid, adalah baginya 2 kali pahala”. Manakala dijumpai seorang budak dalam shaf dan ia sendiri tidak memperoleh tempat, maka bolehlah ia mengeluarkan budak itu ke shaf belakang dan ia masuk ke tempat tadi. Ini maksudnya, kalau budak itu belum dewasa. Inilah yang kami maksudkan menyebutnya mengenai masalah-masalah yang meratai bencananya! Dan akan datang hukum beberapa shalat yang bercerai-berai dalam “Kitab Wirid”. Insya Allah Ta’ala!. BAB KETUJUH: Tentang shalat sunnat (Shalat nawaafil). Ketahuilah, bahwa selain dari shalat-shalat fardlu, terbagi kepada 3 bahagian, yaitu: sunat, mustahab dan tathawwu’. Yang kami maksudkan dengan sunnat, ialah yang dinukilkan daripada Rasulullah saw bahwa beliau rajin mengerjakannya, seperti shalat sunat rawatib di belakang shalat fardlu, shalat Dluha, witir, tahajjud dan lainnya, karena sunat, adalah ibarat jalan yang selalu ditempuh. Yang kami maksudkan dengan mustahab, ialah yang datang hadits menerangkan keutamaannya dan tidak dinukilkan bahwa Nabi saw rajin mengerjakannya. Seperti apa yang akan kami nukilkan tentang shalat siang dan malam dalam seminggu dan seperti shalat ketika keluar dari rumah dan masuk ke dalam rumah dan lain-lain sebagainya. Yang kami maksudkan dengan tathawwu’, ialah yang lain dari itu, yang tak datang pada atsar. Hanya hamba berbuat tathawwu’ (amalan sunat dan bakti), karena ingin bermunajah dengan Allah Ta’ala, dengan shalat yang diterangkan agama keutamaannya secara mutlak. Seolah-olah ia berderma, karena tidak disunatkan shalat itu secara khusus, tetapi disunatkan mengerjakan shalat secara mutlak. Tathawwu’, adalah ibarat daripada berderma (ber-tabarru’!). Shalat yang tiga macam tadi dinamakan shalat nawaafil, dari segi bahwa, kata-kata “an-nafl”, ialah: tambah. Karena jumlahnya, menambahkan kepada shalat fardlu. Kata-kata: nafilah; sunat (sunnah), mustahab dan tathawwu’ kami maksudkan memberikan, istilah kepadanya, ialah untuk memperkenalkan maksud-maksud tersebut tadi dan tak ada salahnya orang yang merobah istilah itu. Maka tak ada artinya perbedaan kata-kata, setelah dipahami maksudnya. Masing-masing bahagian tadi, berlebih kurang derajat kelebihannya, sepanjang yang datang dari hadits dan atsar, yang menerangkan kelebihannya dan menurut tingkat kerajinan. Nabi saw mengerjakannya dan menurut syahnya dan terkenalnya hadits-hadits yang meriwayatkannya. Dari itu dikatakan: shalat sunat yang dikerjakan dengan berjama’ah, adalah lebih utama dari shalat sunat yang dikerjakan sendirian. Dan yang lebih utama dari shalat sunat yang dikerjakan dengan berjama’ah, ialah: shalat hari raya, kemudian shalat gerhana bulan atau matahari, kemudian shalat minta hujan (shalat istisqa’). Dan yang lebih utama dari shalat yang dikerjakan sendirian, ialah: shalat witir, kemudian dua raka’at fajar (sebelum shalat Shubuh), kemudian sunat-sunat rawatib sesudah yang dua ini, menurut tingkat kelebih-kurangannya. Ketahuilah, bahwa shalat nawaafil, mengingat kepada hubungannya, terbagi kepada: yang berhubungan kepada sebab, seperti shalat gerhana dan shalat minta hujan dan yang berhubungan dengan waktu. Dan yang berhubungan dengan waktu, terbagi kepada: yang berulang-ulang dengan berulang-ulangnya siang dan malam atau dengan berulang-ulangnya minggu atau dengan berulang-ulangnya tahun. Maka jumlahnya 4 bahagian: BAHAGIAN PERTAMA: Yang berulang-ulang dengan berulang-ulangnya siang dan malam. Yaitu: Delapan, Lima, yaitu: shalat sunat rawatib dari 5 shalat fardlu. Dan tiga, yang lain, yaitu: shalat Dluha, shalat yang dikerjakan diantara Maghrib dan ‘Isya’ & Tahajjud. Pertama: sunat rawatib Shubuh, yaitu dua raka’at. Bersabda Nabi Muhammad saw: “Dua raka’at fajar adalah lebih baik daripada dunia dan isinya”. Masuk waktunya dengan terbit fajar shadiq. Yaitu yang melayang tidak memanjang. Mengetahuinya dengan memandangnya, adalah sukar pada mulanya. Kecuali orang yang mempelajari tempat kedudukan bulan atau mengetahui persamaan terbitnya dengan bintang-bintang yang kelihatan dengan mata. Lalu diambil dalil dengan bintang-bintang itu, atas terbitnya fajar. Dapat dikenal fajar itu dengan bulan, pada dua malam dari tiap-tiap bulan. Karena bulan terbit bersama fajar pada malam 26 dan terbit cahaya fajar serta terbenam bulan pada malam 12 dari tiap-tiap bulan. Ini adalah menurut kebiasaan dan terjadi padanya berlebih kurang pada sebahagian buruj. Untuk menerangkannya memerlukan kepada waktu panjang. Mempelajari tempat kedudukan (munazil) bulan, adalah termasuk yang penting bagi murid, sehingga ia mengetahui batasan waktu pada malam hari dan Shubuh. Dan hilanglah waktu dua raka’at fajar, dengan hilangnya waktu fardlu Shubuh. Yaitu terbitnya matahari. Tetapi sunat mengerjakannya, adalah sebelum mengerjakan fardlu. Kalau masuk ke masjid dan telah diqamatkan, bahwa hendaklah dikerjakan shalat fardlu, karena sabda Nabi saw: “Apabila telah ditegakkan shalat (diqamatkan), maka tak ada shalat selain dari fardlu”. Kemudian, apabila telah selesai dari shalat fardlu, maka bangunlah mengerjakan dua raka’at fajar itu. Dan yang shahih (pendapat yang lebih benar) keduanya masih di dalam waktunya (adaa’), selama dikerjakan sebelum terbit matahari. Karena keduanya, mengikuti fardlu tentang waktunya. Dan terbit diantara keduanya yaitu mendahulukan yang sunat dan mengemudiankan yang fardlu, adalah sunat apabila tidak menjumpai shalat jama’ah. Apabila menjumpai shalat jama’ah, maka terbaliklah tertib dan tinggallah dua raka’at fajar itu masih di dalam waktu (dengan mengerjakannya sesudah berjama’ah itu). Disunatkan dua raka’at fajar dikerjakan di rumah dengan diringankan. Kemudian masuk ke masjid dan mengerjakan dua raka’at tahiyat masjid. Kemudian duduk dan tidak mengerjakan shalat, sampai kepada mengerjakan shalat fardlu. Diantara waktu shalat Shubuh sampai terbit matahari, disunatkan berdzikir, berfikir dan menyingkatkan dengan mengerjakan saja dua raka’at fajar dan fardlu Shubuh. Kedua: sunat rawatib Dhuhur, yaitu 6 raka’at. Dua raka’at sesudah Dhuhur, dan dia juga sunat muakkadah (sunat dikuatkan) dan 4 rakaa’at sebelumnya, yaitu sunat juga, walaupun yang 4 raka’at ini, kurang derajatnya dari dua raka’at yang kemudian shalat Dhuhur. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra daripada Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat 4 raka’at sesudah tergelincir matahari, dengan membaguskan bacaan, ruku’ dan sujudnya, niscaya bershalatlah sertanya 70.000 malaikat, yang meminnta ampun kepadanya malam”. Adalah Nabi saw tidak meninggalkan shalat 4 raka’at sesudah tergelincir matahari, yang dipanjangkannya, seraya bersabda: “Bahwa segala pintu langit terbuka pada saat itu, maka aku menyukai bahwa diangkatkan amalanku padanya”. Hadits ini diriwayatkan Abu Ayyub Al-Anshari dan dia sendiri saja yang meriwayatkannya. Dan juga ditunjukkan kepada yang tersebut tadi, oleh apa yang diriwayatkan Ummu Habibah - isteri Nabi saw- bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat tiap-tiap hari 12 raka’at, di luar shalat fardlu, niscaya dibangun baginya sebuah rumah dalam sorga, yaitu: 2 raka’at sebelum fajar, 4 raka’at sebelum Dhuhur dan 2 raka’at sesudahnya, 2 raka’at sebelum ‘Ashar dan 2 raka’at sesudah Maghrib”. Berkata Ibnu Umar ra: “Saya hafal dari Rasulullah saw, pada tiap-tiap hari 10 raka’at, lalu disebutkannya apa yang disebutkan Ummu Habibah ra, kecuali 2 raka’at fajar. Maka mengenai ini, berkata Ibnu Umar ra: “Itulah saat yang tidak dikerjakan Rasulullah saw di muka saja. Tetapi diceriterakan kepada saya oleh saudara perempuan saya Hafshah ra bahwa Nabi saw mengerjakan shalat 2 raka’at di rumahnya, kemudian beliau keluar. Dan beliau bersabda dalam haditsnya: 2 raka’at sebelum Dhuhur dan 2 raka’at sesudah ‘Isya’. Maka jadilah 2 raka’at sebelum Dhuhur lebih muakkadah dari 4 raka’at itu. Dan masuk waktunya, dengan tergelincir matahari. Tergelincir matahari (zawal), dapat dikenal dengan bertambahnya bayang-bayang sesuatu yang ditegakkan, condong arah ke Timur, karena bayang-bayang sesuatu ketika terbit matahari menuju arah ke Barat dengan memanjang. Kian matahari meninggi, kian bayang-bayang itu berkurang panjangnya dan beralih dari pihak Barat, sampai matahari itu meninggi ke puncaknya, yaitu lingkaran setengah hari. Maka yang demikian itu penghabisan kurangnya bayang-bayang. Apabila matahari sudah tergelincir dari penghabisan ketinggiannya, lalu bayang-bayang kian bertambah. Tatkala bertambahnya bayang-bayang tengah hari sudah kelihatan, maka masuklah waktu Dhuhur. Dan diketahui dengan sebenarnya, bahwa zawal pada ilmu Allah Ta’ala telah terjadi sebelumnya. Tetapi kewajiban hukum tidaklah terikat selain dengan yang tampak pada pancaindra. Kadar sisa dari bayang-bayang tengah hari, yang akan bertambah itu, adalah panjang pada musim dingin dan pendek pada musim panas. Dan sepanjang-panjangnya, ialah sampainya matahari pada awal lingkaran bintang al-jad-yi (anak kambing) dan sependek-pendeknya, ialah sampainya matahari pada awal lingkaran bintang assarthan (ketam). Dan ini dapat diketahui dengan tapak kaki dan timbangan. Jalan yang dekat untuk membuktikan nya bagi orang yang mau menjaganya baik-baik, ialah memperhatikan kutub Utara di malam hari dan meletakkan papan 4 persegi dengan meratakan di atas tanah, dimana salah satu pinggirnya dari pihak kutub, sehingga kalau diumpamakan jatuh sebutir batu dari kutub ke bumi, kemudian diumpamakan suatu garis dari tempat jatuh batu itu ke pinggir seterusnya dari papan, niscaya tegaklah suatu garis atas pinggir itu, diatas dua sudut yang lurus. Artinya: garis itu tiada miring ke salah satu dari dua pinggir tadi. Kemudian, ditegakkan suatu tiang ke atas papan dengan lurus, pada tempat yang bertanda X, yaitu: yang setentang dengan kutub. Maka terjadilah bayang-bayang di atas papan pada awal siang, miring ke arah barat, jurusan garis A. Kemudian bayang-bayang itu terus miring, sampai melimpit ke atas garis B, dimana kalau ujung dari tiang itu dipegang, maka sampailah ia lurus ke tempat jatuh batu itu. Dan setentang dengan pinggir bahagian Timur dan bahagian Barat, tanpa miring kepada salah satu daripada keduanya. Apabila tiada miring lagi ke pihak Barat, maka adalah matahari pada keadaan yang tertinggi sekali. Dan apabila bayang-bayang miring dari garis yang diatas papan itu ke arah Timur, maka nyatalah telah gelincir matahari. Dan ini dapat diketahui kebenarannya dengan pancaindra, pada waktu yang dekat dari permulaan gelincir pada ilmu Allah Ta’ala. kemudian diketahui atas ujung bayang-bayang ketika berpalingnya dari tanda. Apabila bayang-bayang dari tanda itu telah menjadi sepanjang tiang, maka masuklah waktu ‘Ashar. Sekedar ini, tak mengapalah mengetahuinya mengenai pengetahuan tentang bayang-bayang. Inilah gambarnya!. Ketiga: sunat rawatib “Ashar, yaitu 4 raka’at sebelum ‘Ashar. Diriwayatkan Abu Hurairah ra daripada Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Dirahmati Allah akan hamba yang mengerjakan shalat 4 raka’at sebelum ‘Ashar”. Mengerjakan yang demikian, dengan mengharap agar termasuk dalam do’a Nabi saw, adalah disunatkan sebagai sunat muakkadah. Dan do’a Nabi saw, -tidak meragukan lagi- adalah diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan kerajinan Nabi saw mengerjakan sunat sebelum ‘Ashar, tidaklah seperti kerajinannya mengerjakan 2 raka’at sebelum Dhuhur. Keempat: sunat rawatib Maghrib, yaitu 2 raka’at sesudah fardlu Maghrib, yang tak ada perselisihan riwayat tentang 2 raka’at itu. Mengenai 2 raka’at sebelum fardlu Maghrib, antara adzan dan qamat, secara cepat saja, maka telah dinukilkan dari segolongan shahabat seperti Ubai bin Ka’b, Ubaddah bin Ash-Shamit, Abi Dzar, Zaid bin Tsabit dan lain-lain. Berkata Ubaddah atau orang lain: “Adalah muadzin apabila telah mengerjakan adzan untuk shalat Maghrib, lalu bersegeralah para shahabat Rasulullah saw ke dekat tiang, untuk mengerjakan 2 raka’at shalat”. Berkata setengah mereka: “Adalah kami mengerjakan 2 raka’at shalat sebelum Maghrib, sehingga masuklah orang yang masuk ke dalam masjid, lalu menyangka kami telah mengerjakan shalat. Lalu orang yang masuk itu bertanya: “Sudahkah tuan-tuan mengerjakan shalat fardlu Maghrib?”. Hal itu termasuk dalam umumnya sabda Nabi saw: ”Diantara tiap-tiap dua adzan, ada shalat bagi siapa yang mau mengerjakannya”. Imam Ahmad bin Hanbal mengerjakan shalat 2 raka’at itu, lalu beliau dilecehkan oleh orang banyak, maka beliau tinggalkan. Beliau ditanyakan tentang itu, lalu menjawab: “Aku tiada melihat orang banyak mengerjakannya, dari itu aku tinggalkan”. Kemudian beliau menyambung: “Kalau seseorang mengerjakan kedua raka’at itu di rumahnya atau di tempat yang tidak dilihat orang banyak, maka adalah baik”. Waktu Maghrib itu masuk dengan terbenam matahari dari pandangan mata, pada daerah yang rata tanahnya, yang tiada dikelilingi oleh bukit-bukit. Kalau dikelilingi oleh bukit-bukit pada arah matahari terbenam, maka terletaklah waktu Maghrib itu, kepada tampaknya kedatangan hitam di sebelah Timur. Bersabda Nabi saw: “Apabila datanglah malam dari sini dan pergilah siang dari sini, maka berbuka puasalah orang yang berpuasa”. Lebih disunatkan, menyegerakan shalat Maghrib khususnya. Kalau dilambatkan dan dikerjakan sebelum terbenam syafaq-merah, maka Maghrib itu jatuh dalam waktunya (‘adaa), akan tetapi makruh. Pada suatu malam, Umar ra terlambat mengerjakan Maghrib, sampai terbit sebuah bintang, lalu beliau memerdekakan seorang budak. Dan Ibnu Umar terlambat mengerjakan Maghrib, sampai terbit dua bintang, lalu ia memerdekakan dua orang budak. Kelima: sunat rawatib ‘Isya’, 4 raka’at sesudah shalat fardlu ‘Isya’. Berkata ‘Aisyah: “Adalah Rasulullah saw mengerjakan shalat 4 raka’at sesudah ‘Isya’, kemudian ia tidur”. Dipilih oleh setengah ulama dari kumpulan hadits-hadits, bahwa bilangan shalat rawatib, ialah 17 raka’at, seperti bilangan raka’at shalat fardlu. Yaitu: 2 raka’at sebelum Shubuh, 4 raka’at sebelum Dhuhur dan 2 rak’at sesudahnya, 4 raka’at sebelum ‘Ashar, 2 raka’at sesudah Maghrib dan 3 raka’at sesudah ‘Isya’. Yaitu shalat Witir. Manakala telah dikenal hadits-haddits yang menerangkan apa yang tersebut tadi, maka tak adalah artinya untuk diterkakan. Nabi saw telah bersabda: “Shalat adalah sebaik-baik tempat. Siapa yang mau, perbanyakkanlah dan siapa yang mau, sedikitkanlah!”. Jadi, pilihan tiap-tiap murid, dari shalat-shalat ini adalah menurut kegemarannya pada kebajikan. Dan telah terang pada apa yang telah kami sebutkan, bahwa setengahnya adalah lebih kuat sunatnya daripada yang lain. Meninggalkan yang lebih muakkad itu adalah lebih jauh daripada kebaikan. Apalagi, yang fardlu itu disempurnakan dengan yang sunat. Siapa yang tidak memperbanyakkan sunat, mungkin fardlunya itu tidak selamat, tanpa ada yang menempelkan dari kekurangan. Keenam: Sunat Witir. Berkata Anas bin Malik: “Adalah Rasulullah saw mengerjakan shalat witir sesudah ‘Isya’ 3 raka’at. Beliau baca pada raka’at pertama “Sabbihisma rabbikal-a’laa”, pada raka’at kedua “Qul yaa ayyuhal kaafiruun”, dan pada raka’at ketiga “Qul huwallaahu ahad”. Tersebut pada hadits bahwa Nabi saw mengerjakan shalat 2 raka’at sesudah witir dengan duduk dan pada sebahagiannya dengan duduk tarabbu’ (duduk dengan melipatkan kedua tapak kaki ke bawah dua paha). Pada setengah hadits tersebut: “Apabila Nabi saw bermaksud masuk ke tempat tidur, maka beliau merangkak kepadanya dan mengerjakan shalat di atas tempat tidur itu 2 raka’at, sebelum tidur, dimana beliau membaca pada kedua raka’at tadi “Idzaa zulzilatil-ardlu” dan surat “At-Takaatsur”. Pada riwayat lain “Qul yaa ayyuhal kaafiruun”. Dibolehkan witir itu becerai dan bersambung dengan sekali salam atau dua kali salam. Rasulullah saw mengerjakan shalat witir dengan seraka’at, dengan tiga, lima dan begitulah seterusnya dengan ganjil sampai kepada sebelas raka’at. Riwayat mengenai 13 raka’at diragukan. Dan pada suatu hadits syadz (sangat tipis untuk dipercayai), 17 raka’at. Segala raka’at ini, yakni: apa yang telah kami sebutkan jumlahnya ganjil, adalah shalat malam. Yaitu shalat Tahajjud. Shalat Tahajjud di malam hari, adalah sunat muakkadah. Dan akan datang penjelasan kelebihannya pada “kitab wirid”. Dan tentang keutamaannya, terdapat khilaf, (perbedaan pendapat). Ada yang mengatakan, bahwa berwirid dengan seraka’at saja, adalah lebih utama. Karena syahlah hadits bahwa Nabi saw membiasakan berwitir dengan seraka’at. Ada yang mengatakan, disambung adalah lebih utama, untuk menghindarkan dari khilaf yang meragukan. Lebih-lebih bagi imam. Karena mungkin ia diikuti orang, yang berpendapat, seraka’at itu bukan shalat. Kalau ia mengerjakan shalat dengan disambung (disambung lebih dari seraka’at kepada tiga raka’at umpamanya), maka semuanya itu diniatkan witir. Dan kalau disingkatkan seraka’at saja sesudah 2 raka’at sunat ‘Isya’ atau sesudah fardlu ‘Isya’, niscaya diniatkan witir dan syah. Karena syarat witir ialah ganjil pada dirinya sendiri dan mengganjilkan bagi shalat lain yang terdahulu sebelumnya. Dan itu telah mengganjilkan shalat fardlu. Kalau dikerjakan witir sebelum shalat ‘Isya’, maka tidak syah. Artinya: tidak memperoleh kelebihan witir, yang “lebih baik baginya, daripada unta merah”, sebagaimana tersebut pada hadits. Kalau tidak demikian, maka seraka’at tunggal, adalah syah untuk witir, pada sembarang waktu. Witir itu tidak syah sebelum ‘Isya’, karena bertentangan dengan ijama’ semua orang tentang pelaksanaan witir. Dan karena tidak didahului oleh suatu shalat yang membuatkan dia menjadi ganjil raka’atnya (witir). Apabila bermaksud mengerjakan shalat witir dengan 3 raka’at terpisah, maka mengenai niatnya pada dua raka’at, ada penilikan. Yaitu kalau diniatkan dengan dua raka’at itu tahajjud atau sunat ‘Isya’, maka tidaklah itu menjadi witir. Kalau diniatkan witir, maka tidaklah itu sendiri menjadi witir, tetapi yang menjadi witir, ialah yang sesudahnya. Tetapi yang lebih kuat, bahwa diniatkan witir, sebagaimana diniatkan witir pada 3 raka’at yang bersambung. Tetapi witir itu, mempunyai dua pengertian. Pertama, adalah dia itu witir pada dirinya sendiri. Dan kedua, bahwa ia ada, untuk menjadikan witir dengan apa yang sesudahnya. Sehingga jumlah yang tiga itu adalah witir (ganjil) dan dua raka’at itu adalah dalam jumlah yang tiga tadi. Hanya kewitirannya itu, terletak atas raka’at yang tiga. Apabila bermaksud membuat yang dua raka’at itu witir (ganjil) dengan raka’at yang ketiga, maka hendaklah diniatkan yang dua raka’at itu witir dan raka’at ketiga adalah witir dengan sendirinya dan mewitirkan pula lainnya. Sedang yang dua raka’at, tidaklah mewitirkan yang lain dan tidaklah ia menjadi witir dengan sendirinya. Tetapi kedua raka’at itu menjadi witir, disebabkan oleh yang lain. Selayaknyalah witir itu menjadi penghabisan shalat malam, sehingga dia itu dikerjakan sesudah shalat tahajjud. Dan akan diterangkan kelebihan witir dan tahajud serta cara tertib diantara keduanya dalam Kitab Wirid nanti. Ketujuh: shalat Dluha. Membiasakan shalat Dluha, adalah termasuk amal perbuatan yang penting dan utama. Bilamana raka’at, yang terbanyak menurut riwayat yang dinukilkan, adalah 8 raka’at. Diriwayatkan oleh Ummu Hani’ saudara perempuan dari Saidina Ali bin Abi thalib ra bahwa Nabi saw mengerjakan shalat Dluha 8 raka’at, di mana Nabi saw mengerjakannya dengan berlama-lama dan dengan sebaik-baiknya. Dan tidaklah dinukilkan yang demikian lamanya itu pada shalat yang lain. Dan ‘Aisyah menyebutkan, bahwa Nabi saw mengerjakan shalat Dluha 4 raka’at dan menambahkannya sebanyak-banyaknya, sehingga tambahan itu tidak terbatas. Artinya: adalah Nabi saw membiasakan 4 raka’at dan tidak kurang daripadanya. Kadang-kadang ditambahkannya dengan beberapa tambahan. Dan diriwayatkan pada hadits yang tunggal perawinya (hadits mufrad), bahwa Nabi saw mengerjakan shalat Dluha 6 raka’at. Waktu shalat Dluha, menurut riwayat yang diriwayatkan Ali ra bahwa Nabi saw mengerjakan shalat Dluha 6 raka’at pada dua waktu. Yaitu apabila telah terbit matahari dan sudah meninggi, lalu beliau bangun dan bershalat dua raka’at. Yaitu: yang pertama bagi wirid kedua, dari wirid-wirid siang, sebagaimana akan diterangkan. Dan apabila matahari telah membentang dan berada pada seperempat langit dari sebelah Timur, lalu beliau mengerjakan shalat 4 raka’at. Yang pertama tadi adalah ketika matahari telah meninggi kira-kira setengah anak panah. Dan yang kedua, apabila telah berlalu 1/4 siang, sebanding dengan shalat ‘Ashar (waktu sorenya). Maka waktunya, bahwa masih tinggal dari siang, kira-kira 1/4nya. Dan Dhuhur adalah pada pertengahan hari dan Dluha adalah pada pertengahan diantara terbit matahari, sampai kepada gelincirnya, sebagaimana ‘Ashar adalah pada pertengahan diantara gelincir matahari, sampai kepada terbenamnya. Inilah waktu-waktu yang paling utama. Dan dari waktu meninggi matahari, sampai kepada sebelum gelincirnya, adalah waktu bagi shalat Dluha umumnya. Kedelapan: menghidupkan shalat diantara Maghrib dan ‘Isya’. Yaitu sunat muakkadah. Diantara yang dinukilkan bilangan raka’atnya daripada perbuatan Nabi saw diantara Maghrib dan ‘Isya’ itu, ialah 6 raka’at. Shalat ini mempunyai kelebihan besar. Dan ada yang mengatakan bahwa shalat itulah yang dimaksudkan dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Mereka meninggalkan tempat tidurnya, menyeru Tuhannya”. S 32 As Sajdah ayat 16. Diriwayatkan daripada Nabi saw bahwa beliau bersabda: “Siapa yang bershalat diantara Maghrib dan ‘Isya’, maka sesungguhnya shalat itu sebahagian dari shalat orang-orang yang bertobat”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang beri’tikaf antara Maghrib dan ‘Isya’, dalam masjid tempat berjama’ah, di mana ia tidak berkata-kata, selain daripada bershalat atau membaca Al-Qur’an, niscaya ia berhak pada Allah Ta’ala, untuk dibangun baginya 2 istana di dalam sorga. Masing-masing istana itu sejauh perjalanan 100 tahun dan ditanamkan baginya diantara kedua istana tadi tanam-tanaman. Kalau dikelilingi oleh penduduk bumi, maka termuatlah mereka semuanya”. Dan akan datang penjelasan segala kelebihan nya yang lain dalam Kitab Wirid nanti, Insya Allah Ta’ala!. BAHAGIAN KEDUA: Yang berulang-ulang dengan berulang-ulangnya minggu. Yaitu shalat dalam segala siang dan malamnya dari seminggu, bagi tiap-tiap hari dan tiap-tiap malam. Maka kami mulai dari segala hari itu, dengan hari ahad. Hari Ahad: Diriwayatkan Abu Hurairah ra daripada Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Ahad 4 raka’at di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’atnya “Al-Fatihah” dan Aamanar-rasuul” 1X (S. Al Baqarah 284-826) , niscaya dituliskan oleh Allah untuknya sebanyak bilangan orang Nasrani, prianya dan wanitanya, akan kebajikan. Dan diberikan oleh Allah Ta’ala kepadanya pahala nabi dan dituliskan baginya hajji dan ‘umrah. Dituliskan baginya tiap-tiap raka’at 1000 shalat. Dan diberikan Allah kepadanya di dalam sorga, tiap-tiap huruf, satu kota dari kesturi yang harum semerbak baunya”. Diriwayatkan daripada Ali bin Abi Thalib ra bahwa Nabi saw bersabda: “Bertauhidlah kepada Allah Ta’ala dengan memperbanyakkan shalat pada hari Ahad. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu Esa, tiada sekutu bagi Allah. Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Ahad, sesudah shalat Dhuhur, 4 raka’at setelah fardlu dan sunat, dimana ia membaca pada raka’at pertama, surat Al-Fatihah dan surat As-Sajadah dan pada raka’at kedua, surat Al-Fatihah dan surat Al-Mulk, kemudian ia bertasyahhud dam memberi salam. Kemudian ia bangun, lalu bershalat 2 raka’at lagi, di mana ia membaca pada keduanya, surat Al-Fatihah dan surat Al-Jumu’ah serta bermohon pada Allah Ta’ala akan hajatnya, niscaya ia berhak atas Allah untuk disampaikan hajatnya”. Hari Senin: Diriwayatkan oleh Jabir daripada Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Senin ketika meninggi hari, 2 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at, surat Al-Fatihah sekali, ayat Al-Kursy sekali, Qul huwallaahu ahad, Qul a’uudzubirab-bil-falaq dan Qul a’uudzu birab-binnas sekali. Apabila ia sudah memberi salam, lalu beristighfar (meminta ampunan dosa pada Allah Ta’ala) 10 kali dan berselawat kepada Nabi saw 10 kali, niscaya diampunkan Allah Ta’ala dosanya semuanya”. Diriwayatkan oleh Annas bin Malik daripada Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Senin 12 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah dan ayat Al-Kursy sekali. Setelah siap daripada shalat itu, lalu membaca Qul huwallaahu ahad 12 kali dan beristighfar 12 kali, maka ia akan dipanggil pada hari Qiamat nanti: “Manakah si Anu anak si Anu? Hendaklah bangun, untuk mengambil pahalanya daripada Allah Ta’ala! Maka yang mula-mula daripada pahala yang diberikan, ialah 1000 helai pakaian dan ia memakai mahkota, seraya dikatakan kepadanya: “Masuklah ke sorga!”. Maka ia diterima oleh 100.000 malaikat, masing-masing malaikat membawa hadiah, yang akan diserahkan kepadanya. Kemudian ia dibawa berkeliling 1000 mahligai daripada nur yang gilang gemilang”. Hari Selasa: Diriwayatkan oleh Yazid Ar-Raqqasyi dari Anas bin Malik. Berkata Anas, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Selasa, 10 raka’at ketika menengah hari”, dan pada hadits lain “ketika meninggi hari, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah dan ayat Al-Kursy sekali dan Qul huwallaahu ahad 3 kali, maka tidak dituliskan kesalahannya sampai 70 hari lamanya. Kalau ia meninggal dunia sampai hari ke-70 itu, niscaya ia mati syahid dan diampunkan baginya dosa 70 tahun”. Hari Rabu: Diriwayatkan oleh Abu Idris Al-Khaulani dari Mu’adz bin Jabal ra, berkata Mu’adz, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Rabu 12 raka’at ketika meninggi hari, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah dan ayat Al-Kursy sekali dan Qul huwallaahu ahad 3 kali, Qul a’uudzu birab-bil-falaq 3 kali dan Qul a’uudzu birab-binnaas 3 kali, niscaya diserukan oleh penyeru di sisi ‘Arasy: “Wahai hamba Allah! kerjakanlah kembali perbuatan itu! Sesungguhnya telah diampunkan bagi engkau, yang telah terdahulu daripada dosa engkau. Diangkatkan oleh Allah daripada engkau ‘azab kubur, kesempitan dan kegelapannya, diangkatkan oleh Allah daripada engkau kesengsaraan hari Qiamat”. Dan diangkatkan oleh Allah untuknya dari harinya itu amal perbuatan nabi”. Hari Kamis: Dari ‘Akramah, dari Ibnu Abbas, berkata Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada hari Kamis, antara Dhuhur dan ‘Ashar 2 raka’at, di mana ia membaca pada raka’at pertama surat Al-Fatihah dan ayat Al-Kursy 100 kali dan pada raka’at kedua surat Al-Fatihah dan Qul huwallaahu ahad 100 kali dan berselawat kepada Muhammad 100 kali, niscaya ia diberikan oleh Allah pahala orang yang berpuasa bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadlan dan baginya pahala seperti pahala orang yang mengerjakan hajji ke Baitullah dan dituliskan baginya kebaikan, sebanyak bilangan semua orang yang beriman kepada Allah dan bertawakkal kepada Allah”. Hari Jum’at: Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra, daripada Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Hari Jum’at, adalah shalat seluruhnya. Tidaklah seorang hamba yang mu’min, yang bangun berdiri, ketika matahari telah terbit dan meninggi segalah atau lebih, lalu ia berwudlu dan menyempurnakan wudlunya, kemudian mengerjakan sunat Dluha 2 raka’at, karena beriman dan karena Allah semata-mata, melainkan dituliskan Allah baginya 200 kebaikan dan dihapuskan daripadanya 100 kejahatan. Siapa mengerjakan shalat 4 raka’at, niscaya diangkatkaan Allah baginya di dalam sorga 400 tingkat. Siapa mengerjakan 8 raka’at, niscaya diangkatkan Allah baginya di dalam sorga 800 tingkat dan diampunkan dosanya seluruhnya. Dan siapa mengerjakan shalat 12 raka’at, niscaya dituliskan Allah baginya 2200 kebaikan dan dihapuskan daripadanya 2200 kejahatan dan diangkatkan Allah baginya di dalam sorga 2200 tingkat”. Dari Nafi’, dari Ibnu Umar ra, dari Nabi saw bahwa beliau bersabda: “Siapa masuk masjid jami’ (masjid tempat bershalat Jum’at) pada hari Jum’at, lalu mengerjakan shalat 4 raka’at sebelum shalat Jum’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at Al-hamdulillah (surat Al-Fatihah) sekali dan Qul huwallaahu ahad 50 kali, niscaya ia tidak mati sehingga ia melihat tempatnya dari sorga atau diperlihatkan kepadanya”. Hari Sabtu: Diriwayatkan Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada hari Sabtu 4 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah sekali dan Qul huwallaahu ahad 3 kali, kemudian tatkala telah selesai daripada shalat, ia membaca ayat Kursy, niscaya dituliskan Allah baginya dengan tiap-tiap satu huruf, akan pahala hajji dan ‘umrah dan diangkatkan Allah baginya dengan tiap-tiap satu huruf, akan pahala puasa setahun siangnya dan pahala ibadah shalat setahun malamnya. Dan diberikan Allah kepadanya dengan tiap-tiap satu huruf akan pahala orang syahid dan adalah ia di bawah naungan ‘Arasy Allah, bersama para nabi dan orang-orang syahid”. Adapun malam: malam Ahad, diriwayatkan Anas bin Malik, mengenai malam Ahad itu, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Ahad 20 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah sekali, Qul huwallaahu ahad 50 kali, Qul a’uudzu birab-bil-falaq sekali dan Qul a’uudzu birab-binnaas sekali, bermohon ampunan Allah ‘Azza wa Jalla 100 kali (membaca: Astaghfirullah), mengucapkan istighfar untuk dirinya sendiri dan untuk ibu bapaknya 100 kali, berselawat kepada Nabi saw 100 kali, melepaskan diri dari daya dan upayanya dan berpegang kepada Allah dengan membaca: “Tiada daya dan upaya, selain dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung”. Kemudian membaca: “Niscaya baginya pahala sebanyak bilangan orang, yang mendakwakan Allah mempunyai anak dan orang yang tidak mendakwakan Allah mempunyai anak. Dan ia dibangkitkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla pada hari qiamat bersama orang-orang yang memperoleh keamanan, serta ia berhak atas Allah Ta’ala, masuk ke dalam sorga bersama nabi-nabi”. Malam Senin: Diriwayatkan Al-A’masy dari Anas, berkata Anas, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Senin 4 raka’at, di mana ia membaca pada raka’at pertama Surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 11X, pada raka’at kedua surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 20 X, pada raka’at ketiga surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 30 X dan pada raka’at keempat surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 40 X. Kemudian ia memberi salam dan membaca Qul huwallaahu ahad 75 X dan mengucapkan istighfar (memohon ampunan Allah) untuk dirinya dan kedua ibu bapaknya 75 X, kemudian ia meminta pada Allah, disampaikan hajat pintanya, niscaya ia berhak atas Allah untuk dikabulkan permintaannya, akan apa yang dimintanya”. Shalat tersebut, dinamakan Shalat Hajat. Malam Selasa: Siapa mengerjakan shalat pada malam Selasa 2 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at itu, surat Al-Fatihah 1X, Qul huwallaahu ahad, Qul a’uudzu birab-bil-falaq dan Qul a’uudzu birab-binnaas, masing-masing 15X. Dan sesudah salam, ia membaca 15X ayat Al-Kursy dan membaca istighfar 15X, niscaya adalah baginya pahala yang amat besar dan balasan yang amat banyak. Diriwayatkan dari Umar ra dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Selasa 2 raka’at, dimana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah 1X, innaa anzalnah dan Qul huwallaahu ahad, masing-masing daripadanya 7X, niscaya ia dibebaskan oleh Allah daripada api neraka dan adalah amal perbuatan itu pada hari qiamat menjadi pemimpin dan penunjuk baginya ke sorga”. Malam Rabu: Diriwayatkan Fatimah ra daripada Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada malam Rabu 2 raka’at, di mana ia membaca pada raka’at pertama surat Al-Fatihah 1X dan Qul a’uudzu birab-bil-falaq 10 X dan pada raka’at kedua, sesudah Al-Fatihah, Qul a’uudzu birab-binnaas 10X. Kemudian, apabila telah memberi salam, lalu membaca istighfar 10X, kemudian berselawat kepada Muhammad saw 10X, niscaya turunlah dari tiap-tiap langit 70.000 malaikat, yang menuliskan pahalanya sampai kepada hari qiamat”. Pada hadits lain, tersebut: “16 raka’at, di mana ia membaca sesudah Al-Fatihah “Maa syaa-allaahu” dan ia membaca pada akhir dari kedua raka’at itu, ayat Al-Kursy 30X dan pada yang pertama dari kedua raka’at itu 30 X Qul huwallaahu ahad, maka adalah ia memberi syafa’at kepada 10 orang dari familinya, di mana semuanya harus memperoleh sorga”. Diriwayatkan oleh Fatimah ra dengan mengatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Rabu 6 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’atnya sesudah Al-Fatihah, “Qulillaahum-ma maalikal-mulk” sampai akhir ayat. Kemudian tatkala telah selesai dari shalatnya, lalu ia membaca: “Jazallaahu Muhammadan ‘annaa maa huwa ahluh” (Dibalasi Allah akan Muhammad dari kita, apa yang berhak ia mempunyainya), niscaya diampunkan baginya dosa 70 tahun dan dituliskan baginya kelepasan daripada neraka”. Malam Kamis: Berkata Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Kamis, antara Maghrib dan ‘Isya’ 2 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at, surat Al-Fatihah 1X, ayat Al-Kursy 5X, Qul huwallaahu ahad 5X, Qul a’uudzu birabbil falaq 5X, dan Qul a’uudzu birabbinnaas 5X. Dan tatkala telah selesai dari shalatnya, lalu mengucapkan “istighfar” 15X dan diniatkannya pahalanya untuk ibu bapaknya, maka adalah ia telah menunaikan hak kedua ibu bapaknya atasnya, meskipun ia durhaka kepada keduanya. Dan ia dianugerahkan oleh Allah akan apa yang dianugerahkan kepada orang-orang shiddiq dan syahid”. Malam Jum’at: “Berkata Jabir, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Jum’at, antara Maghrib dan ‘Isya’, 12 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’atnya, surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 11X, maka seakan-akan ia telah beribadah kepada Allah Ta’ala selama 12 tahun dengan puasa siangnya dan bangun mengerjakan shalat malamnya”. Berkata Anas, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada malam Jum’at, shalat ‘Isya’ yang akhir dalam berjama’ah dan mengerjakan shalat 2 raka’at sunat, kemudian daripada fardlu ‘Isya’. Kemudian ia bershalat sesudah 2 raka’at sunat tadi 10 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’atnya, surat Al-Fatihah, Qul huwallaahu ahad, Qul a’uudzu birabbil falaq dan Qul a’uudzu birabbinnaas sekali-sekali. Kemudian ia bershalat witir 3 raka’at dan ia tidur atas lembungnya yang kanan serta mukanya menghadap qiblat, maka seolah-olah ia telah berbuat ibadah pada malam Lailatul Qadar”. Bersabda Nabi saw: “Perbanyakkanlah selawat kepadaku pada malam yang cemerlang dan siang yang gemilang, yaitu malam Jum’at dan hari Jum’at”. Malam Sabtu: Berkata Anas bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Sabtu, antara Maghrib dan ‘Isya’, 12 raka’at, niscaya didirikan baginya suatu mahligai dalam sorga dan seolah-olah ia telah bersedekah kepada orang mu’min, pria dan wanitanya dan ia terlepas daripada Yahudi dan adalah hak atas Allah Ta’ala mengampuni dosanya”. BAHAGIAN KETIGA: Tentang shalat yang berulang-ulang dengan berulang-ulang tahun. Yaitu 4: 1. shalat dua hari raya (hari raya puasa dan hari raya hajji), 2. shalat tarawih, 3. shalat Rajab, dan 4. shalat Sya’ban. PERTAMA: Shalat 2 hari raya. Yaitu: sunat muakkadah & salah satu daripada syi’ar agama. Seyogyalah diperhatikan pada shalat hari raya 7 perkara: Pertama: takbir 3 kali dengan teratur. Yaitu membaca: “Allah Maha Besar - Allah Maha Besar - Allah Maha Besar, segala puji-pujian sebanyak-banyaknya bagi Allah - Maha suci Allah pagi dan petang-tiada Tuhan yang sebenarnya, selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi Allah semuanya ikhlas mengerjakan suruhan agama karena Allah walaupun orang-orang kafir itu tidak suka”. Dimulai takbir pada malam hari raya puasa (‘Idil-fithri), sampai kepada waktu mengerjakan shalat baginya. Dan pada hari raya hajji (‘Idil-qurban), di mulai takbir sesudah shalat Shubuh hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), sampai kepada penghabisan siang hari ke-13 Dzulhijjah. Inilah yang lebih sempurna segala pembacaan. Dan takbir itu dibacakan di belakang shalat fardlu dan shalat sunat. Dan di belakang shalat fardlu, adalah lebih muakkad. Kedua: Apabila telah datang pagi hari raya, lalu mandi, menghiasi diri dan memakai bau-bauan, sebagaimana telah kami terangkan dahulu pada Jum’at. Rida’ (selendang) dan serban, adalah lebih utama bagi laki-laki. Dan hendaklah disingkirkan dari pakaian sutera untuk anak-anak dan penghiasan diri untuk orang-orang perempuan tua, ketika keluar ke tempat shalat. Ketiga: Hendaklah keluar dari satu jalan dan pulang dari jalan lain. Begitulah yang diperbuat Rasulullah saw. Dan adalah Rasulullah saw: “menyuruh supaya dikeluarkan (ke tempat shalat hari raya) budak-budak wanita dan anak gadis-gadis pingitan”. Keempat: disunatkan keluar ke tanah lapang, selain di Makkah dan Baitul-mukaddis. Kalau hari hujan, maka tidak mengapa bershalat di masjid. Dan boleh pada hari terang (tidak ada hujan), imam menyuruh seorang bershalat sebagai imam dengan orang-orang lemah di masjid dan ia sendiri keluar dengan orang-orang kuat ke tanah lapang dengan bertakbir. Kelima: Dijaga waktu. Waktu shalat hari raya itu, ialah antara terbit matahari sampai kepada gelincir matahari. Dan waktu penyembelihaan qurban, ialah antara meninggi matahari sekedar dua khutbah dan dua raka’at shalat, sampai kepada akhir hari ketiga belas. Disunatkan menyegerakan shalat hari raya qurban, untuk penyembelihan yang dilakukan sesudah shalat. Dan melambatkan hari raya puasa, karena pembahagian zakat fitrah sebelumnya. Begitulah sunnah Rasulullah saw!. Keenam: tentang cara shalat. Maka hendaklah orang banyak keluar ke tempat shalat dengan bertakbir di jalan! Apabila imam telah sampai ke tempat shalat, maka ia tidak duduk dan tidak mengerjakan shalat sunat dan menyuruh orang banyak menghabiskan shalat sunatnya. Kemudian, berserulah seorang penyeru: “Ash-shalaatu jaami’ah (Shalat itu berjama’ah). Dan imam mengerjakan shalat dengan orang banyak itu, 2 raka’at, di mana ia bertakbir pada raka’at pertama, selain dari takbiratul-ihram dan takbir ruku’, sebanyak 7 X. Dan membaca diantara tiap-tiap 2 takbir itu: Subhaanallaahi wal hamdu lillaahi wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar” dan membaca “Wajjahtu wajhia lilladzii fatharas samaawaati wal ardl”, sesudah takbiratul-ihram dan mengemudian kan membaca “A-‘uudzu billaahi minasy-syaithaanir-rajiim”, sampai kepada sesudah takbir ke-8 (yaitu: 7 takbir tadi, ditambah dengan takbiratul-ihram pada permulaan shalat). Dan dibaca surat Qaaf, pada raka’at pertama sesudah Al-Fatihah dan iqtarabat, pada raka’at kedua. Dan tambahan takbir pada raka’at kedua, ialah 5, selain dari takbir untuk berdiri dan untuk ruku’. Dan dibacakan diantara tiap-tiap dua takbir, apa yang telah kami sebutkan di atas tadi. Kemudian, dibaca 2 khutbah. Diantara kedua khutbah itu, duduk sebentar. Orang yang ketinggalan shalat hari raya, maka sunat diqodokan. Ketujuh: menyembelih qurban seekor kambing atau biri-biri (kibasy) “Rasulullah saw menyembelih dua ekor kibasy, yang manis bentuknya dengan tangan beliau sendiri dan membaca: “Dengan nama Allah - Allah Maha Besar - ini, dariku dan dari orang yang tidak berqurban dari umatku”. Bersabda Nabi saw: “Siapa melihat hilal (bulan sabit) bulan Dzulhijjah dan bermaksud menyembelih qurban, maka janganlah ia mencukur rambutnya dan memotong kukunya walaupun sedikit”. Berkata Abu Ayyub al-Anshari: “Adalah seorang laki-laki menyembelih qurban pada masa Rasulullah saw seekor kambing dari keluarganya dan mereka makan serta memberikan untuk makanan orang lain”. Orang yang berqurban, boleh memakan dari qurbannya sesudah tiga hari dan seterusnya. Pembolehan ini, datangnya adalah sesudah ada pelarangan untuk dimakan sendiri. Berkata Sufyan Ats-Tsuri: “Disunatkan mengerjakan shalat 12 raka’at sesudah shalat ‘Idul-fithri dan 6 raka’at sesudah ‘Idul-adhha”. Berkata Sufyan, bahwa shalat itu termasuk diantara shalat sunat. KEDUA: Shalat Tarawih: yaitu 20 raka’at. Dan cara mengerjakannya, sudah terkenal. Shalat tarawih itu, sunat muakkadah, walaupun muakkadahnya kurang dari shalat dua hari raya. Dan berbeda pendapat alim ulama, tentang berjama’ah pada shalat tarawih. Apakah lebih utama dengan berjama’ah atau dengan sendirian? Rasulullah saw telah keluar untuk bershalat tarawih, dua malam atau tiga malam, dengan berjama’ah. Kemudian beliau tiada keluar lagi, dengan mengatakan: “Aku takut nanti diwajibkan atas kamu!”. Umar ra mengumpulkan manusia, untuk bershalat tarawih dengan berjama’ah, di mana sudah dirasa aman daripada diwajibkan, karena wahyu tidak ada lagi. Ada yang mengatakan, bahwa berjama’ah lebih utama karena dikerjakan Umar ra demikian dan karena berjama’ah, ada berkatnya. Dan berjama’ah itu mempunyai kelebihan, dengan dalil shalat-shalat fardlu. Dan kadang-kadang dengan sendirian itu mendatangkan kemalasan dan menjadi rajin, ketika melihat orang banyak. Ada yang mengatakan, sendirian lebih utama, karena shalat ini adalah sunnah Nabi saw, yang tidak termasuk dalam golongan syi’ar agama, seperti shalat dua hari raya. Maka, disamakan shalat tarawih itu dengan shalat Dluha. Dan tahiyyat masjid, adalah lebih utama, di mana tidak disuruh padanya jama’ah. Dan telah berlaku adat kebiasaan bahwa serombongan orang bersama-sama masuk masjid, kemudian tidak melakukan shalat tahiyyat masjid dengan berjama’ah. Dan karena sabda Nabi saw: “Kelebihan shalat sunat di rumah dengan shalat sunat di masjid, adalah seperti kelebihan shalat fardlu di masjid dengan shalatnya di rumah”. Diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Suatu shalat pada masjidku ini, adalah lebih utama daripada 100 shalat pada masjid-masjid lain. Dan suatu shalat dalam Masjidil-haram, adalah lebih utama daripada 1000 shalat pada masjidku. Dan yang lebih utama dari itu semuanya, ialah seorang laki-laki yang melakukan shalat dalam sudut rumahnya 2 raka’at, yang tidak diketahui selain oleh Allah ‘Azza wa Jalla”. Pahamilah ini! Karena ria dan berbuat-buat kadang-kadang datang kepada seseorang dalam ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah sekali, Innaa anzalnaahu fi lailatil-qadr 3 kali dan Qul huwallaahu ahad 12 kali. Kemudian tatkala telah siap dari shalat, lalu berselawat kepadaku 70 X , yaitu: “Allaahumma shalli ‘alaa Muhammadinin-nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aalihi” kemudian ia sujud dan membaca dalam sujudnya 70 X : “Maha suci, Maha Qudus, Tuhan para malaikat dan nyawa”. Kemudian, ia mengangkat kepalanya dan membaca 70 X : “Hai Tuhanku! Ampunilah dan kasihanilah! Dan lampauilah daripada apa yang Engkau ketahui ! Sesungguhnya Engkau Maha Agung, lagi Maha Mulia”. Kemudian ia sujud sekali lagi dan membaca di dalamnya, seperti apa yang dibacanya pada sujud pertama. Kemudian ia meminta hajatnya dalam sujud, maka hajat itu, akan dipenuhinya”. Bersabda Rasulullah saw: “Tidaklah seorang mengerjakan shalat ini, melainkan diampunkan oleh Allah Ta’ala segala dosanya, meskipun dosa itu seperti buih di laut, sebanyak pasir, seberat bukit dan daun kayu-kayuan. Dan diberi syafa’at pada hari qiamat kepada 700 daripada keluarganya, yaitu orang-orang yang seharusnya masuk neraka”. Inilah shalat sunat! Dan kami kemukakan dalam bahagian ini, karena ia berulang-ulang dengan berulang-ulangnya tahun. Meskipun derajatnya, tidak sampai sederajat shalat tarawih dan hari raya. Karena shalat tadi dinukilkan oleh seorang-seorang (tidak oleh orang banyak). Tetapi saya melihat penduduk Baitul mukaddis umumnya biasa mengerjakan shalat tadi dan tidak membolehkan ditinggalkan. Dari itu, saya ingin membentangkan nya di sini. KEEMPAT: Shalat Sya’ban yaitu, malam ke-15 daripadanya, di mana dikerjakan shalat itu sebanyak 100 raka’at. Tiap-tiap dua raka’at diberi salam, dimana dibacakan pada tiap-tiap raka’at, sesudah surat Al-Fatihah, Qul huwallaahu ahad 11X dan kalau ia mau, maka ia mengerja kan shalat itu 10 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at, sesudah surat Al-Fatihah, 100 X Qul huwallaahu ahad. Ini juga diriwayatkan dalam kumpulan shalat-shalat, di mana orang-orang dahulu (salaf), mengerjakan shalat ini. Dan menamakannya “Shalat Kebajikan” dan mereka berkumpul pada shalat itu. Kadang-kadang mereka kerjakan dengan berjama’ah. Diriwayatkan daripada Al-Hasan, bahwa beliau berkata: “Telah berceritera kepadaku, 30 orang shahabat Nabi saw, bahwa siapa yang mengerjakan shalat ini pada malam tersebut, niscaya Allah memandang kepadanya 70 pandangan dan menyampaikan dengan tiap-tiap pandangan itu, 70 hajat keperluannya, yang sekurang-kurangnya, ialah pengampunan dosa”. BAHAGIAN KEEMPAT: Tentang shalat-shalat sunat yang berhubungan dgn sebab-sebab mendatang & tidak berhubungan dengan waktu. Yaitu: 9: 1. Shalat gerhana bulan 2. Sholat gerhana matahari, 3. Shalat minta hujan, 4. Shalat jenazah, 5. Shalat tahiyyat masjid, 6. Sholat 2 raka’at wudlu 7. Sholat 2 raka’at antara adzan dan qamat, 8. Sholat dua raka’at ketika keluar dari rumah dan 9. Sholat ketika masuk ke rumah dan sebagainya. Akan kami terangkan semuanya itu, satu persatu. Pertama: shalat gerhana bulan. Bersabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda dari tanda-tanda wujud Allah. keduanya tidak gerhana, karena mati seseorang atau hidup seseorang. Apabila kamu melihat gerhana itu, bersegeralah mengingati Allah dan mengerjakan shalat!”. Nabi saw bersabda demikian, tatkala meninggal anaknya Ibrahim as dan matahari gerhana, lalu berkatalah orang banyak: “Matahari itu gerhana, karena meninggalnya Ibrahim as”. Memperhatikan kepada cara dan waktunya, adalah: Caranya, ialah apabila gerhana matahari pada waktu, di mana shalat padanya makruh atau tidak makruh, maka diserukan dengan suara keras: “Ash-shalaatu jaami’ah” (sholat itu berjama’ah). Imam, mengerjakan shalat gerhana itu dengan orang banyak di masjid, dua raka’at banyaknya, di mana ia ruku’ pada tiap-tiap raka’at dua ruku’. Yang pertama lebih panjang daripada yang kedua. Dan tidak dibacakan dengan keras (tidak dengan jahr). Dibacakan pada yang pertama dari berdiri raka’at pertama, surat Al-Fatihah dan surat Al-Baqarah dan pada yang kedua dari berdiri raka’at kedua, surat Al-Fatihah dan Ali ‘Imran. Pada yang ketiga dari berdiri raka’at ketiga, surat Al-Fatihah dan surat An-Nisaa’ dan pada rakaat ke 4 surat Al fateha dan surat Al-Maidah. Ataupun sepanjang itu dari Al-Qur’an, di mana saja di kehendakinya. Kalau disingkatkan dengan membaca surat Al-Fatihah saja, pada tiap-tiap berdiri, niscaya memadai. Dan kalau disingkatkan atas surat-surat yang pendek, maka tiada mengapa. Dan yang dimaksudkan dengan memanjangkan bacaan, ialah supaya terus-menerus shalat sampai habis gerhana. Pada ruku’ pertama, dibacakan tasbih, kira-kira 100 ayat panjangnya, pada ruku’ kedua, kira-kira 80, pada ruku’ ketiga, kira-kira 70 dan pada ruku’ keempat, kira-kira 50 ayat. Dan hendaklah sujud itu, kira-kira sepanjang ruku’ pada tiap-tiap raka’at. Kemudian, imam, membaca dua khutbah sesudah selesai shalat, dengan duduk sebentar diantara kedua khutbah itu. Dan menyuruh orang banyak dengan bersedekah, memerdekakan budak dan bertobat. Dan seperti itu juga, dikerjakan pada gerhana bulan. Hanya pada gerhana bulan, pembacaan dijahr, karena dia itu malam. Adapun waktu shalat gerhana matahari, maka yaitu, ketika permulaan gerhana, sampai kepada terang benar. Dan waktunya habis, dengan terbenamnya matahari, sedang dalam keadaan gerhana. Dan habis waktu shalat gerhana bulan, dengan terbit bundaran matahari, karena telah lenyap kekuasaan malam. Dan tidak luput shalat gerhana bulan, dengan terbenamnya bulan dalam keadaan masih gerhana. Karena malam seluruhnya, adalah di bawah kekuasaan bulan. Kalau gerhana itu habis sedang shalat, maka shalat itu diteruskan dengan diringkaskan. Kalau ma’mum memperoleh ruku’ kedua serta imam, maka luputlah baginya raka’at pertama, karena yang pokok ialah ruku’ pertama. Kedua: shalat minta hujan (shalat istisqa’): Apabila telah kering segala sungai dan telah putus hujan atau telah runtuh saluran air, maka disunatkan bagi imam, menyuruh orang banyak: pertama, puasa 3 hari dan sekedar yang disanggupi dari sedekah. Dan keluar dari segala perbuatan dhalim dan bertobat dari segala perbuatan ma’siat. Kemudian keluar bersama orang banyak, pada hari keempat, bersama dengan wanita-wanita tua dan anak-anak dalam keadaan bersih, memakai pakaian tua dan tenang, menundukkan diri kepada Tuhan. Kebalikan dari keadaan hari raya. Ada yang mengatakan, sunat dikeluarkan binatang-binatang ternak, karena binatang-binatang itupun mempunyai kepentingan yang sama dengan manusia dan karena sabda Nabi saw: “Kalau tidaklah anak-anak - kecil yang menyusu, orang-orang tua yang ruku’ kepada Tuhan dan binatang-binatang ternak yang memerlukan kepada yang dimakan dan yang diminumnya maka sesungguhnya dituangkan azab sengsara kepada kamu sekalian”. Kalau turut juga keluar orang-orang dzimmi (orang tidak Islam yang berlindung di bawah kekuasaan Islam) dengan keadaan yang membedakan, jangan dilarang. Apabila orang banyak telah berkumpul pada tempat shalat yang luas, dari tanah lapang, lalu diserukan dengan suara yang nyaring: “Ash-shalaatu jaami’ah”(sholat itu berjama’ah). Maka imam bershalat dengan orang banyak itu dua raka’at, seperti shalat hari raya, tanpa takbir. Kemudian, imam membaca dua khutbah dan diantara kedua khutbah itu, duduk sebentar. Dan hendaklah istighfar (memohonkan ampunan Allah), menjadi isi yang terbanyak dari kedua khutbah itu. Dan seyogyalah pada pertengahan khutbah kedua, imam membelakangi orang banyak dan menghadap qiblat, membalikan selendangnya ketika itu, sebagai sempena (tafaa-ul) akan berobah keadaan yang sedang di alami. Begitulah diperbuat Rasulullah saw. Maka dijadikan yang di atas ke bawah, yang di kanan ke kiri dan yang di kiri ke kanan. Dan orang banyakpun berbuat begitu pula. Pada saat ini, semuanya berdo’a dengan suara yang dapat didengar sendiri (sirriyah). Kemudian, imam menghadap orang banyak kembali, lalu menyudahi khutbahnya. Dan dibiarkan selendangnya itu dalam keadaan yang berbalik itu, sampai dibuka, kapan kain yang dipakai itu mau dibuka. Dibacakan dalam do’a itu: “Ya Allah, ya Tuhanku! Sesungguhnya Engkau telah menyuruhkan kami, dengan berdo’a kepada Engkau dan menjanjikan kepada kami akan perkenan Engkau. Maka kami telah berdo’a kepada Engkau, sebagaimana Engkau suruhkan kami, maka perkenankanlah akan do’a kami, sebagaimana Engkau janjikan kepada kami! Ya Allah, ya Tuhan kami! Anugerahilah kepada kami ampunan, dari dosa yang telah kami perbuat dan penerimaan ALLAH dari permintaan kami akan hujan serta keluasan rezeki kami!”. Dan tidak mengapa dengan berdo’a, sesudah shalat dalam tiga hari berpuasa itu, sebelum keluar ke tanah lapang. Do’a ini, mempunyai adab dan syarat bathiniyah dengan bertobat, mengembalikan segala hak orang yang diambil secara dhalim dan lain-lain sebagainya, yang akan datang nanti penjelasannya pada Kitab Do’a. Ketiga: shalat jenazah: Caranya sudah terkenal. Dan telah ijma’ do’a yang diterima dari Nabi saw ialah do’a yang diriwayatkan dalam hadits shahih, dari ‘Auf bin Malik. Berkata ‘Auf: “Aku melihat Rasulullah saw bershalat jenazah, maka aku hafal daripada do’anya ialah: “Ya Allah, ya Tuhan kami! Ampunilah dosa mayit ini, kasihanilah dia, peliharalah jiwanya, ma’afkanlah kesalahannya, muliakanlah tempatnya, lapangkanlah kuburnya, basuhkanlah dia dengan air, dengan air beku dan air hujan batu, sucikanlah dia dari segala kesalahan, sebagaimana disucikan kain putih dari kotoran, gantikanlah dia dengan negeri yang lebih baik daripada negerinya, keluarga yang lebih baik daripada keluarganya, teman hidup yang lebih baik daripada teman hidupnya, masukkanlah dia ke dalam sorga, lindungilah dia dari azab kubur dan siksaan api neraka!” Sehingga ‘Auf berkata: “Aku berangan-angan, kiranya akulah mayit itu!”. Ma’mum yang mendapat takbir kedua, maka seyogyalah menjaga tertib shalatnya sendiri dan bertakbir bersama takbir imam. Apabila imam telah memberi salam, lalu ia menyelesaikan takbirnya yang ketinggalan, seperti yang diperbuat oleh seorang masbuq (ma’mum yang terkemudian mengikuti imam). Karena, kalau ma’mum itu menyegerakan takbirnya, maka tidak ada lagi arti mengikuti imam dalam shalat ini. Sebab takbir-takbir itu adalah merupakan rukun-rukun yang terang padanya. Dan layaklah takbir-takbir itu ditempatkan seperti raka’at-raka’at pada shalat lain. Inilah yang lebih kuat menurut pendapatku, walaupun yang lain itu, merupakan suatu kemungkinan. Hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan shalat jenazah dan mengurus jenazah itu, adalah terkenal. Maka tidaklah kami memperpanjangkan lagi. Bagaimanakah tidak besar keutamaannya, sedang dia termasuk sebahagian daripada fardlu kifayah? Dan shalat jenazah itu menjadi sunat, terhadap orang yang tidak menjadi fardlu ‘ain atasnya, disebabkan orang lain. Kemudian, ia memperoleh kelebihan fardlu kifayah, walaupun tidak menjadi fardlu ‘ain, karena mereka secara bersama-sama, telah mengerjakan, apa yang menjadi fardlu kifayah itu dan mereka telah menghapuskan dosa dari orang-orang lain. Dari itu, tidaklah yang demikian menjadi sunat, di mana dengan sunat itu tidak terhapus sesuatu fardlu dari seseorang. Disunatkan mencari sebanyak mungkin orang yang bershalat janazah, karena mengharapkan keberkatan dengan banyaknya harapan dan do’a dan dengan banyaknya itu, termasuk di dalamnya orang yang berdo’a yang kiranya diterima Tuhan. Karena apa yang diriwayatkan oleh Kuraib daripada Ibnu Abbas, bahwa telah meninggal seorang anak laki-laki dari Ibnu Abbas, maka berkatalah beliau: “Hai Kuraib! Lihatlah berapa banyak sudah manusia berkumpul!”. Berceritera Kuraib seterusnya: “Lalu aku keluar, maka aku melihat manusia sudah banyak berkumpul. Aku ceriterakan itu kepada Ibnu Abbas”. Menyambung Ibnu Abbas: “Engkau katakan, mereka itu 40 orang?”. Aku menjawab: “Ya!”. Berkata Ibnu Abbas: “Keluarkanlah mayit itu untuk dishalatkan! Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang laki/wanita muslim yang mati, lalu berdiri untuk bershalat pada jenazahnya 40 orang, di mana mereka tidak mempersekutukan sesuatu dengan Allah, melainkan mereka diberi syafa’at oleh Allah ‘Azza wa Jalla pada mayit itu”. Apabila jenazah itu dibawa dan telah sampai ke kuburan atau pada permulaan masuk ke daerah perkuburan, maka hendaklah dibacakan: “Salam sejahtera kepadamu, wahai kaum mu’minin dan muslimin, penduduk dari perkampungan ini! Diberi rahmat kiranya oleh Allah orang-orang yang terdahulu dan yang terkemudian daripada kami. Dan kami - insya Allah - akan mengikuti kamu”. Yang lebih utama, tidaklah meninggalkan tempat itu, sebelum selesai penguburan. Apabila telah diratakan kuburan mayit itu, lalu berdirilah dan bacakan: “Ya Allah, ya Tuhanku! Ini hambaMU, dikembalikan kepadaMU, maka berilah rahmat kepadanya dan kasihanilah dia! Ya Allah, ya Tuhanku! Renggangkanlah bumi daripada kedua lembungnya! Bukakanlah segala pintu langit, untuk ruhnya! Terimalah dia dipihakMU dengan penerimaan yang baik! Ya Allah, ya Tuhanku! Kalau adalah ia berbuat kebaikan, maka lipat gandakanlah pada kebaikannya itu! Dan kalau adalah ia berbuat kejahatan, maka hapuskanlah kejahatannya itu!”. Keempat: shalat tahiyyat masjid: dua raka’at atau lebih, adalah sunat muakkadah, sehingga sunat itu tidak hilang walaupun imam sedang membaca khutbah pada hari Jum’at, serta diperkuatkan wajibnya memperhatikaan kepada khutbah dari khatib itu. Kalau dikerjakan shalat fardlu atau shalat qodo (ketika masuk ke dalam masjid), maka berhasillah tahiyyat itu dengan yang demikian dan berolehlah pahala. Karena yang dimaksud, ialah tidak kosong pada permulaan masuknya, daripada ibadah yang tertentu dengan masjid, sebagai menegakkan hak dari masjid. Dari itu, dimakruhkan memasuki masjid tanpa wudlu. Kalau masjid itu dimasuki untuk dilewati saja atau untuk duduk, maka hendaklah dibacakan: “Subhaanallah, walhamdulillaah, walaa ilaaha illallaah, wallahu akbar”. (Maha suci Allah, semua puji-pijian untuk Allah, tidak ada Tuhan kecuali Allah, Allah maha besar) Dibacakan 4 X dan itu adalah menyamai pahalanya dengan 2 raka’at shalat. Menurut mazhab Asy-Syafi’i ra, tidak dimakruhkan shalat tahiyyat masjid pada waktu-waktu makruh mengerjakan shalat, yaitu: sesudah ‘ashar, sesudah Shubuh, waktu tengah hari, waktu terbit & waktu terbenam matahari, karena diriwayatkan: “Bahwa Rasulullah saw mengerjakan shalat 2 raka’at sesudah ‘Ashar. Lalu ditanya kan kepadanya: “Bukankah engkau telah melarang kami dari ini?”. Menjawab Nabi saw: “Keduanya itu adalah 2 raka’at, yang hendaknya aku kerjakan sesudah Dhuhur, tetapi aku sibuk dengan kedatangan utusan”. Hadits ini menimbulkan 2 hasil pemahaman 1. Kemakruhan itu terletak pada shalat yang tak ada sebab. Dan diantara sebab yang paling lemah, ialah meng-qodo-kan shalat sunat, karena berbeda pendapat para ulama, tentang shalat sunat, apakah di-qodo-kan? Dan kalau dikerjakan kembali shalat sunat yang telah tertinggal itu, apakah qodo itu namanya? Apabila kemakruhan tidak ada, dengan sebab yang paling lemah itu, maka lebih layak lagi, kemakruhan itu tidak ada dengan sebab masuk masjid. Dan masuk masjid itu, adalah suatu sebab yang kuat. Dari itu, tidak dimakruhkan shalat jenazah, apabila jenazah itu telah ada dan tidak dimakruhkan shalat gerhana dan shalat minta hujan pada waktu-waktu dimakruhkan bershalat, karena mempunyai sebab-sebab yang membolehkan. 2. Meng-qodo-kan shalat-shalat sunat, karena Rasulullah saw, telah berbuat demikian. Dan Rasulullah saw adalah ikutan yang paling utama bagi kita. Berkata ‘Aisyah: “Adalah Rasulullah saw apabila sangat tertidur atau sakit, maka beliau tidak bangun mengerjakan shalat pada malam itu. Tetapi beliau mengerjakan shalat dari permulaan siang besoknya, 12 raka’at”. Berkata para ulama, bahwa siapa yang ada di dalam shalat, sehingga tiada dapat menjawab adzan dari muadzin, maka apabila telah memberi salam, lalu meng-qodo-kan dengan menjawabkannya, meskipun muadzin itu sudah diam. Dan tidaklah ada artinya perkataan orang yang mengatakan, bahwa itu adalah seperti yang pertamanya dan bukanlah qodo. Karena, kalau benar demikian, tentulah Nabi saw tidak mengerjakan shalat itu pada waktu dimakruhkan (waktu kirahah). Memang, siapa yang mempunyai wirid, lalu terhalang mengerjakannya dengan sesuatu halangan, maka seyogyalah ia tidak mempermudahkan dirinya untuk meninggalkan wirid itu. Tetapi mengerjakan kembali pada waktu lain, sehingga tidak terbawa-bawa meninggalkan wirid dan bersenang-senang. Mengerjakan kembali itu adalah baik, untuk bermujahadah melawan hawa nafsu. Dan karena Nabi saw bersabda: “Amal perbuatan yang amat disukai Allah Ta’ala, ialah yang terus-menerus, meskipun sedikit”. Dimaksudkan dengan hadits ini, supaya tidak kendur meneruskan amal perbuatan. Dan ‘Aisyah telah meriwayatkan daripada Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu ibadah, kemudian ditinggalkannya karena malas, maka dia dikutuk oleh Allah ‘Azza wa Jalla”. Maka hendaklah menjaga diri, jangan sampai termasuk dalam peringatan ini!. Untuk memahami hadits tersebut, bahwa Allah Ta’ala mengutuknya, adalah karena meninggalkan ibadah karena malas. Kalau tidak adalah kutukan dan menjauhkan diri daripada ibadah, tentulah kemalasan itu tidak mempengaruhi apa-apa terhadap dirinya. Kelima: dua raka’at sesudah wudlu: disunatkan. Karena wudlu itu, adalah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dan maksudnya, ialah shalat. Dan hadats adalah penghalang. Kadang-kadang datang hadats, sebelum shalat, maka runtuhlah wudlu dan sia-sialah usaha yang telah dikerjakan. Dari itu, bersegera kepada dua raka’at tadi, adalah penyempurnaan bagi maksud wudlu, sebelum hilang. Hal ini, dapat diketahui dengan hadits yang diriwayatkan Bilal, karena Nabi saw bersabda: “Aku masuk ke dalam sorga, lalu aku lihat Bilal di dalamnya. Maka aku tanyakan kepada Bilal: “Dengan apa engkau mendahului aku ke dalam sorga?”. Menjawab Bilal: “Tidak aku ketahui sedikitpun sebabnya. Hanya, aku tidak berhadats dari sesuatu wudlu, melainkan aku mengerjakan dua raka’at shalat sesudahnya”. Keenam: dua raka’at ketika masuk dan ketika keluar dari rumah: Diriwayatkan Abu Hurairah ra dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila engkau keluar dari rumah, maka kerjakanlah shalat 2 raka’at, yang akan mencegah engkau dari tempat keluar yang jahat. Dan apabila engkau masuk ke rumah, maka kerjakanlah shalat 2 raka’at, yang akan mencegah engkau dari tempat masuk yang jahat”. Dan searti dengan itu, tiap-tiap pekerjaan dimulai, pekerjaan mana yang mempunyai arti penting. Dari itu, telah datang hadits yang menerangkan: 2 raka’at ketika melakukan ihram (hajji dan ‘umrah), 2 raka’at ketika permulaan bermusafir dan 2 raka’at ketika kembali dari bermusafir di dalam masjid, sebelum masuk ke rumah. Semuanya itu, diambil dari perbuatan Nabi saw. Dan adalah sebagian orang-orang shalih, apabila memakan suatu makanan, lalu bershalat 2 raka’at. Dan apabila meminum suatu minuman, lalu bershalat 2 raka’at. Begitu juga pada tiap-tiap perbuatan yang dikerjakannya. Dan seyogya lah memulai segala perbuatan, dengan mengambil barakah, dengan menyebutkan nama Allah ‘Azza wa Jalla. Yaitu atas 3 tingkat: 1. Sebahagian, berulang-ulang berkali-kali, seperti makan dan minum. Maka mulailah dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla. Bersabda Nabi saw: “Tiap-tiap pekerjaan penting, yang tidak dimulai dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang (artinya: dengan membaca: Bismillaahir-rahmaanir-rahiim), maka adalah kurang berkatnya (barakahnya)”. 2. Yang tidak banyak berulang-ulang, tetapi mempunyai arti yang mendalam, seperti melangsungkan perkawinan, memulai nasehat pengajaran dan bermusyawarah. Maka disunatkan pada segala perbuatan tersebut, dimulai dengan memujikan Allah Ta’ala. Yaitu, orang yang mengawinkan itu membaca: “Alhamdu lillaah, washshalaatu ‘alaa Rasulillaah saw” Aku kawinkan engkau akan anak perempuanku”. Menjawab yang menerima aqad nikah: “Alhamdulillaah, washshalaatu ‘alaa Rasuulillah saw” Aku terima akan nikahnya”. Dan adalah menjadi adat kebiasaan para shahabat ra pada permulaan surat, nasehat dan musyawarah, dengan mendahulukan: memujikan Allah (membaca Alhamdu lillaah). 3. Yang tidak banyak berulang-ulang dan apabila terjadi, maka berjalan lama dan mempunyai arti yang mendalam, seperti bermusafir, membeli rumah baru, melakukan ihram dan lain-lain sebagainya. Maka disunatkan mendahulukan pekerjaan itu dengan 2 raka’at shalat. Dan sekurang-kurangnya dari pekerjaan tersebut, ialah keluar dan masuk ke rumah, sebab ini termasuk semacam bermusafir yang dekat. Ketujuh: shalat istikharah (memohon kebajikan): Siapa yang bercita-cita hendak melangsungkan sesuatu pekerjaan dan tidak diketahuinya akan akibat dari pekerjaan tersebut, apakah baik ditinggalkan atau baik diteruskan, maka dalam menghadapi pekerjaan yang seperti ini, disuruh oleh Nabi saw supaya mengerjakan shalat 2 raka’at, di mana dibacakan pada raka’at pertama surat Al-Fatihah dan Qul yaa ayyuhal-kaafiruun dan pada raka’at kedua surat Al-Fatihah dan Qul huwallaahu ahad. Apabila telah selesai dari shalat, lalu berdo’a dengan membacakan: “Ya Allah, ya Tuhanku! Sesungguhnya aku memohon kebajikan dari Engkau dengan ilmu Engkau, aku memohon tenaga dengan qudrah Engkau, aku meminta pada Engkau dengan kurnia Engkau yang Maha Besar. Sesungguhnya Engkaulah yang berkuasa dan aku tidaklah berkuasa, Engkaulah yang Maha Tahu dan aku tidaklah mengetahui dan Engkaulah yang lebih mengetahui dengan segala yang tersembunyi. Ya Allah, ya Tuhanku! Jika adalah Engkau mengetahui, bahwa pekerjaan ini, baik bagiku, pada agamaku, duniaku dan akibat perbuatanku, yang segera dan yang nanti, maka anugerahilah bagiku kesanggupan dan berkatkanlah bagiku padanya, kemudian mudahkanlah perbuatan itu bagiku. Dan jika adalah Engkau mengetahui, bahwa pekerjaan ini, buruk bagiku, pada agamaku, duniaku dan perbuatanku, yang segera dan yang nanti, maka hindarkanlah aku dari perbuatan itu dan hindarkanlah perbuatan itu daripadaku dan anugerahilah bagiku kesanggupan berbuat kebajikan, di manapun adanya kebajikan itu. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”. Do’a tersebut, diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir: “Adalah Rasulullah saw mengajari kami, memohon kebajikan pada seluruh perbuatan, sebagaimana mengajari kami, akan sesuatu surat daripada Al-Qur’an. Bersabda Nabi saw: “Apabila bercita-cita seorang kamu suatu hal, maka bershalatlah 2 raka’at, kemudian sebutkanlah nama Allah pada perbuatan itu dan berdo’alah dengan apa yang telah kami sebutkan”. Berkata setengah ahli hikmah: “Siapa yang diberikan 4, niscaya tidak tecegah daripada empat: 1. Siapa yang dianugerahkan tahu berterima kasih (bersyukur), niscaya ia tidak tercegah daripada memperoleh kelebihan. 2. Siapa yang dianugerahkan bertobat, niscaya tidak tercegah daripada diterima tobatnya. 3. Siapa yang dianugerahkan meminta kebajikan, niscaya tidak tercegah daripada memperoleh kebajikan. 4. Siapa yang dianugerahkan bermusyawarah, niscaya tidak tercegah daripada memperoleh kebenaran. Kedelapan: shalat hajat: Siapa yang memperoleh kesulitan dalam menghadapi persoalan, di mana ia memerlukan demi kebaikan agamanya dan dunianya, kepada persoalan yang sukar diatasinya itu, maka hendaklah ia mengerjakan shalat hajat. Diriwayatkan dari Wuhaib bin Al-Ward, di mana Wuhaib berkata: “Sesungguhnya sebahagian daripada do’a yang tidak ditolak, ialah: bershalat seorang hamba sebanyak 12 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah, ayat Kursy dan Qul huwallaahu ahad. Apabila telah selesai, lalu bersujudlah ia, di mana ia membaca: “Maha Suci Tuhan yang memakai akan kemuliaan dan berfirman dengan dia. Maha Suci Tuhan yang bersifat dengan kebesaran dan kemurahan. Maha Suci Tuhan yang menghinggakan bilangan tiap-tiap sesuatu dengan ilmu Allah. Maha Suci Tuhan yang tiada seyogyalah bertasbih, selain untuk Allah. Maha Suci Tuhan yang mempunyai nikmat dan kurnia. Maha Suci Tuhan yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Maha Suci Tuhan yang mempunyai kekuasaan. Aku bermohon kepada ENGKAU dengan segala tempat kemuliaan dari ‘Arasy-MU, dengan rahmat yang setinggi-tingginya dari kitabMU, dengan namaMU Yang Maha Agung, kesungguhanMU yang Maha Tinggi dan kalimat-kalimatMU yang sempurna lagi melengkapi, yang tidak dilampaui oleh orang yang berbuat kebajikan dan yang berbuat kejahatan. Bahwa ENGKAU anugerahkan rahmat kiranya kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad”. Setelah selesai dari itu, maka bermohonlah sesuatu hajat, yang tidak mengandung kemaksiatan. Insya Allah Ta’ala akan diterima. Berkata Wuhaib: “Telah sampai riwayat kepada kami bahwa dikatakan, supaya tidak diajarkan shalat itu kepada orang-orang yang tidak baik. Nanti diperguna kannya untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wa jalla”. Kesembilan: shalat Tasbih: “Shalat ini dinukilkan dalam bentuknya, yang tidak ditentukan dengan sesuatu waktu dan sesuatu sebab. Disunatkan, bahwa tiada minggu yang tidak dikerjakan shalat tasbih sekali atau sebulan sekali. Diriwayatkan oleh ‘Akramah daripada Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda kepada Abbas bin Abdul Muttalib: “Tidaklah aku berikan kepadamu, tidaklah aku serahkan kepadamu, tidakkah aku datangkan kepadamu, sesuatu, di mana apabila engkau kerjakan, niscaya diampunkan Allah dosa engkau, yang awal dan yang akhir, yang lama dan yang baru, yang salah dan yang sengaja, yang sembunyi dan yang nyata? Yaitu: engkau kerjakan shalat 4 raka’at, di mana engkau bacakan pada tiap-tiap raka’at, surat Al-Fatihah dan suatu surat dari Al-Qur'an. Apabila telah selesai daripada bacaan pada awal raka’at dan engkau sedang berdiri, maka bacalah: “Subhaanallaah walhamdulillaah wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar” 15 X . Kemudian engkau ruku’, di mana engkau baca sedang ruku’ itu, yang tadi, 10 X . Kemudian, engkau bangkit daripada ruku’, lalu engkau baca yang tadi sedang berdiri, 10 X . Kemudian, engkau sujud, di mana engkau bacakan yang tadi, 10 X . Kemudian engkau bangkit daripada sujud, lalu engkau bacakan yang tadi sedang duduk, 10 X . Kemudian engkau sujud lagi, lalu bacakan yang tadi, di mana engkau sedang sujud, 10 X . Kemudian, engkau bangkit daripada sujud, lalu engkau bacakan yang tadi, 10 X . Jadi semuanya, 75 X pada tiap-tiap raka’at yang engkau kerjakan itu, dalam 4 rak’at. Kalau sanggup, engkau kerjakan shalat tasbih itu, pada tiap-tiap hari sekali, maka kerjakanlah! Kalau tidak sanggup, maka tiap-tiap Jum’at (minggu) sekali. Kalau tidak juga sanggup, maka tiap-tiap bulan sekali. Kalau tidak juga sanggup, maka pada tiap-tiap tahun sekali”. Pada riwayat yang lain, dibacakan pada permulaan shalat: “Maha suci Engkau wahai Tuhanku! Dan dengan pujian Engkau dan maha suci nama Engkau dan maha tinggi kesungguhan Engkau dan maha qudus nama Engkau. Dan tiada Tuhan selain Engkau”. Kemudian, dibacakan tasbih 15 X. Sebelum pembacaan Al-Fatihah dan surat dari Al-Qur’an dan 10 X sesudah pembacaan. Yang masih tinggal (sisanya) seperti dahulu juga, sepuluh-sepuluh. Dan tidak dibacakan tasbih sesudah sujud yang penghabisan, ketika sedang duduk. Cara inilah yang terbaik, yang dipilih oleh Ibnul Mubarak. Dan jumlah tasbih pada ke-4 raka’at itu, ialah 300 X , pada kedua macam riwayat tadi. Kalau shalat tasbih itu dilakukan pada siang hari, maka dengan sekali salam saja. Dan kalau dilakukan pada malam hari, maka lebih baik dengan dua kali salam, karena tersebut dalam hadits: “Bahwa shalat malam itu, dua-dua”. Kalau ditambahkan sesudah tasbih, bacaan: “Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adhiim”, maka adalah baik. Telah datang yang demikian dalam setengah riwayat. Inilah, shalat-shalat yang dinukilkan. Dan tidak disunatkan satupun dari shalat-shalat sunat ini, pada waktu yang dimakruhkan, selain shalat tahiyyat masjid. Dan apa yang kami sebutkan sesudah tahiyyat masjid, yaitu: 2 raka’at wudlu, shalat bermusafir, keluar dari rumah dan istikharah, maka tidak disunatkan pada waktu yang dimakruhkan. Karena larangannya lebih kuat dan sebab-sebab tersebut adalah lemah. Maka tidak sampai ia kepada derajat shalat gerhana, minta hujan dan tahiyyat masjid. Aku melihat sebagian kaum shufi, mengerjakan 2 raka’at shalat sunat wudlu, pada waktu-waktu yang dimakruhkan. Dan ini, adalah amat jauh daripada kebenaran. Karena wudlu tidaklah sebab bagi shalat, tetapi shalat adalah sebab bagi wudlu. Maka seyogyalah wudlu, untuk bershalat. Tidaklah bershalat, karena telah berwudlu. Tiap-tiap orang yang berhadats, yang bermaksud mengerjakan shalat pada waktu dimakruhkan, maka tiada jalan baginya, selain ia berwudlu dan bershalat. Maka tidak ada lagi artinya bagi kemakruhan. Dan tidak layaklah ia meniatkan 2 raka’at wudlu, sebagaimana ia meniatkan 2 raka’at tahiyyat masjid. Tetapi apabila ia berwudlu, lalu bershalat 2 raka’at, untuk amalan sunat, supaya tidak kosong wudlunya, seperti yang dikerjakan Bilal. Maka itu adalah amalan sunat semata-mata, yang dilakukan sesudah wudlu. Hadits yang diriwayatkan Bilal itu, tidaklah menunjukkan bahwa wudlu adalah suatu sebab, seperti gerhana dan tahiyyat masjid, sehingga ia niatkan 2 raka’at wudlu. Maka mustahillah diniatkan dengan shalat, akan wudlu, tetapi seyogyalah diniatkan dengan wudlu akan sholat. Bagaimanakah dapat teratur, untuk ia mengatakan pada wudlunya “aku wudlu untuk sholatku” dan ia mengatakan pada shalatnya: “aku bershalat untuk wudluku ?”. Tetapi orang yang bermaksud menjaga wudlunya dari kekosongan pada waktu dimakruhkan itu, hendaklah ia meniatkan qodlo jika mungkin ada dalam tanggungan nya sesuatu sholat, yang belum dilaksanakan karena sesuatu sebab. Dan mengkodokan sholat pada waktu-waktu dimakruhkan, adalah tidak makruh. Adapun niat berbuat sunat, maka tidak adalah cara baginya. Mengenai larangan pada waktu-waktu yang dimakruhkan, mempunyai 3 hal penting: 1. Menjaga daripada penyerupaan dengan penyembah-penyembah matahari. 2. Menjaga daripada bertebaran setan-setan, karena sabda Nabi saw: “Sesungguhnya matahari itu terbit dan bersamanya disertai setan. Apabila ia terbit, maka setan menyertainya dan apabila matahari itu meninggi, lalu memisahkan diri daripadanya. Ketika tengah hari setan itu menyertai matahari lagi. Apabila telah gelincir, lalu setan itu memisahkann diri daripadanya. Dan apabila matahari itu hampir terbenam, maka setan itu menyertainya. Dan apabila telah terbenam, lalu setan itu memisahkan diri daripadanya”. Nabi saw melarang shalat pada waktu-waktu yang tersebut serta diberitahukan sebab-sebabnya. 3. Bahwa mereka yang berjalan pada jalan akhirat, senantiasa rajin mengerjakan shalat pada segala waktu. Dan kerajinan atas sesuatu bentuk daripada beberapa ibadah, mendatangkan kebosanan. Maka manakala datang larangan daripada ibadah itu pada suatu saat, niscaya bertambahlah semangat dan bangkitlah kemauan yang mendorong untuk mengerjakannya. Dan manusia itu amat suka mengerjakan sesuatu yang dilarang. Maka dalam pengosongan segala waktu tersebut, adalah menambahkan kemauan dan hasrat, untuk menunggu habisnya waktu itu. Dari itu, ditentukan segala waktu ini, dengan bertasbih dan beristighfar. Karena menjaga daripada kebosanan dengan terus-menerus dengan semacam ibadah dan memperoleh kegembiraan dengan berpindah daripada semacam ibadah kepada macam yang lain. Maka dalam perpindahan pekerjaan dan pembaharuannya, datanglah kesenangan dan kerajinan. Dan dalam tetapnya bekerja dengan sesuatu pekerjaan, datanglah perasaan berat dan bosan. Dari itu, tidaklah shalat, semata-mata sujud, tidaklah semata-mata ruku’ dan semata-mata berdiri. Tetapi segala ibadah itu, adalah tersusun daripada bermacam-macam amal perbuatan dan berbagai macam dzikir. Karena hati memperoleh kelezatan baru daripada berbuat dengan amalan dan bacaan tadi, ketika berpindah kepadanya. Kalau dibiasakan kepada semacam saja niscaya segeralah datang kebosanan. Apabila 3 perkara yang tersebut itu, adalah hal-hal yang penting, tentang terlarang mengerjakan shalat pada waktu-waktu yang dimakruhkan dan lain-lain sebagainya, dari kunci-kunci rahasia yang tidak dapat diketahui, menurut kekuatan otak manusia, hanya Allah dan RasulNYAlah yang mengetahuinya, maka hal-hal yang penting itu, tidaklah dibiarkan begitu saja, kecuali dengan sebab-sebab yang penting pula pada agama. Seumpama mengqodokan shalat-shalat, shalat minta hujan, shalat gerhana bulan dan shalat tahiyyat masjid. Adapun apa yang lemah daripadanya, maka tidak layaklah maksud dari larangan itu dilanggar. Inilah, yang lebih kuat menurut pendapat kami! Wallahu a’lam! (Allah Yang Maha Tahu!). telah selesailah “Kitab Rahasia-rahasia Shalat”, dari “Kitab Ihya’ Ulumiddin”, yang akan disambung, insya Allah, dengan “Kitab Rahasia-rahasia Zakat”, dengan segala pujian kepada Allah, atas pertolongan dan kebaikan taufiq Allah. Segala pujian bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan rahmat Allah kepada sebaik-baik makhluk Allah Muhammad dan kepada keluarga serta sekalian shahabatnya, dengan kesejahteraan yang sebanyak-banyaknya!.

Tidak ada komentar: